020. Dong Lin

1.4K 337 57
                                    

˙˚ʚ('◡')ɞ˚˙
English Translator : Lianyin
Indonesian Translator : shenyue_gongzu
.
.
.

Cang Ji tidak bisa berkata-kata saat dia melihat Chen Caoyu. "Dia sangat kurus. Dia bahkan tidak cukup untuk mengisi celah di antara gigiku."

Jing Lin melangkah ke samping meja dan mendekati tempat tidur. Dia memandang gadis kecil yang tidur di bawah selimut. Wajahnya lebih kecil dari telapak tangan, dan dia sangat kurus sehingga tidak ada bedanya dengan sekantong tulang. Ujung jarinya dengan lembut menyentuh alis gadis kecil itu. Saat dia menyadari anyaman hitam kecilnya (alis gadis kecil itu), suara lonceng bergema di telinganya.

"Aku pernah melihatnya sebelumnya." Kata Jing Lin. "Di dalam mimpiku."

Asap tebal berangsur-angsur terurai, memperlihatkan Chen Caoyu dengan punggung menghadapnya saat dia bermain dengan lonceng. Dia melompat ke depan dengan semangat tinggi, sering melihat ke belakang untuk tersenyum pada Jing Lin dengan mata melengkung. Segala sesuatu di sekitarnya tiba-tiba berbalik. Jing Lin mendengar gemerincing lonceng tembaga sebelum dia mendengar Dong Lin berkata kepada Chen Caoyu.

"Perhatikan langkahmu"

"Paman Dong." Chen Caoyu memberi isyarat kepadanya. Lonceng tembaga berbunyi, dan dia berteriak, "Apa kau akan pergi ke tempat lain lagi? Aku ingin pergi juga. Paman Dong, maukah kau membawaku juga?"

Tangan Dong Lin menyentuh kepalanya. Jing Lin merasakan kasih sayang yang kuat di dalamnya. Kasih sayang itu tampak tertanam kuat di hati Dong Lin. Karena dia pernah kehilangan kesempatan sekali, dia memberikan semua kasih sayangnya kepada Chen Caoyu kali ini. Beban emosi ini begitu berat sehingga Jing Lin tanpa sadar mundur selangkah.

Seolah-olah dia pernah merasakannya sekali.

Lonceng tembaga berbunyi dengan berisik, membuat Jing Lin sakit kepala yang luar biasa. Dia melihat wajah Chen Caoyu memudar menjadi wajah lain yang dia kenal. Gadis kecil itu tidak lagi memanggilnya "Paman Dong" tetapi "Jiu Ge" saat dia memegang lonceng.

"Jing Lin?" Sebuah beban menekannya dari punggungnya. Dengan lengan memeluknya, Cang Ji melambaikan tangan di hadapannya. "Kenapa kau melamun?"

Jing Lin merasa seolah-olah dia baru saja bangun dari mimpi. Dia berkeringat deras. Dia tidak memedulikan wajah Cang Ji yang sangat dekat. Seolah dalam keadaan linglung, dia berkata, "Aku mengerti sekarang… Dong Lin bukanlah orang yang mencuri lonceng tembaga. Sebaliknya, lonceng tembagalah yang menemukan Dong Lin."

Cang Ji terkejut. "Aku tidak pernah menyadarinya. Lonceng tembaga menumbuhkan kaki juga?"

Cang Ji hendak melanjutkan ketika dia merasakan pria di antara lengannya berbalik dan mengencangkan cengkeramannya di pinggangnya. Jing Lin sebenarnya memeluknya. Cang Ji hampir menggigit lidahnya. Meskipun dia selalu berbicara kurang ajar, dia tidak pernah dipeluk. Di bawah kesombongannya, dia masih murni seperti selembar kertas kosong.

"Aku melihat kisah Dong Lin."

Tepat setelah Jing Lin berkata demikian, Cang Ji mendengar lonceng tembaga. Dalam sekejap, pemandangan di depannya pecah menjadi potongan cahaya sebelum direkonstruksi menjadi gambar lain.

Dia juga melihatnya.

Saat itu pada malam bersalju di suatu akhir musim gugur, dengan aliran hujan dingin yang tiada henti.

Menyeret kaki yang terasa seperti timah, Dong Lin meluncur dan jatuh di sepanjang tepi jembatan. Dia kusut, dan napasnya nyaris tak terlihat. Hujan menetes di punggungnya, menyebabkan dia sesekali terkesiap. Pandangan Dong Lin secara bertahap mengendur dan kesadarannya melayang. Dia telentang dengan cara ini, dengan tangan dan kakinya sudah putih karena basah kuyup.

[END] Nan Chan (南禅) | Bahasa IndonesiaWhere stories live. Discover now