097. Punishment by Flogging

1.1K 269 159
                                    

˙˚ʚ('◡')ɞ˚˙
Author : T97
English Translator : Lianyin
Indonesian Translator : shenyue_gongzu
.
.
.

Jing Lin memerintahkan murid yang tersisa untuk melindungi rakyat jelata dan memindahkan mereka ke selatan, lalu mendirikan jimat spiritual untuk menghalangi Laut Darah. Setelah semuanya beres, dia melepaskan pedangnya, menyerah, dan membiarkan Li Rong menahan dan mengantarnya kembali ke sekte.

Hujan sore turun dengan deras. Musim gugur akan segera berakhir. Sebelum memasuki halaman, Li Rong berdiri selama satu jam. Akhirnya, dengan mata memerah, dia menginstruksikan Jing Lin dengan suara serak, "Saat kau bertemu Ayah nanti, lepaskan mahkotamu dan berlututlah."

Tanpa mahkota peraknya, rambut hitam Jing Lin tersebar di pundaknya. Selain belati Tao Zhi, yang dipakainya di sisi pinggangnya, dia tidak membawa senjata lain. Bahkan Yan Quan telah diambil oleh Li Rong. Mendengar ini, Jing Lin mengangguk untuk menunjukkan pengertiannya.

Mereka masih belum dipanggil untuk masuk ke dalam halaman. Gerbang perunggu tetap tertutup rapat, dan hujan deras terus berlanjut tanpa henti. Keduanya berdiri berdampingan di tengah hujan. Li Rong melihat ke depan dan terus bertanya dengan suara serak. "Apa kau menyadari kesalahanmu?"

Jing Lin tidak menjawab.

Perlahan-lahan, suara Li Rong tercekat karena emosi. Dia tiba-tiba berbalik dengan punggungnya menghadap Jing Lin. Setelah sekian lama, dia berkata, "Meskipun dia pantas mati karena dosa-dosanya, kau seharusnya menyerahkannya kepada Ayah untuk ditangani. Bahkan jika kau tidak berpikir itu merendahkan martabatmu, kau tetap seharusnya tidak melakukannya."

Jing Lin berkata, "Bagaimana dia bisa sampai ke titik ini hari ini jika bukan karena Ayah selalu melindunginya setiap saat? Kau memukulinya sampai seluruh tubuhnya dipenuhi luka dan memar. Bukankah itu sendiri merupakan langkah sementara untuk menenangkan Linlang? Jika dia berhasil kembali ke rumah, dia tidak akan mati."

Li Rong segera berbalik di tengah hujan dengan mata memerah. Dia menahan kata-katanya. "Kita adalah saudara dari keluarga yang sama. Bagaimana kau bisa memaksakan diri untuk membunuhnya ?!"

Jing Lin sedikit memiringkan tubuhnya. Rambutnya sudah basah kuyup, menutupi matanya dengan berantakan. Dia tidak berdalih atau membela dirinya sendiri. Sebaliknya, dia berkata dengan lelah, "Aku bisa."

Li Rong mengertakkan gigi. Dia tiba-tiba mendekat selangkah lebih dekat dan menatap tajam ke arah Jing Lin. Ekspresi Jing Lin berubah menjadi pucat saat dia bertukar tatapan dengan Li Rong sejenak.

Pada titik kritis ini, gerbang perunggu tiba-tiba terbuka lebar. Di tengah hujan, tempat tinggal itu tampak tertutup lapisan abu. Semua saudara berdiri di bawah atap dan melihat ke arah mereka bersama-sama, tetapi tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Seluruh pintu dan jendela di halaman itu terbuka lebar. Lord Jiu Tian duduk sendirian di kursi. Lentera putih yang baru saja diturunkan digantung lagi. Lentera itu memancarkan cahaya pucat ke wajah Lord Jiu Tian, ​​menerangi kesedihannya yang dalam.

*Lentera kertas putih dengan kata “奠” dian biasanya digantung untuk menunjukkan kematian dalam keluarga.

Li Rong masuk lebih dulu. Lord Jiu Tian menunggu sampai dia memberi hormat sebelum menunjukkan jarinya untuk memberi isyarat agar dia berdiri di samping. Li Rong awalnya ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat ini, dia hanya bisa bersujud tanpa sepatah kata pun dan mundur ke beranda.

Beberapa pasang mata menatap Jing Lin. Jing Lin perlahan mengangkat jubahnya dan melangkah melewati pintu. Dia menuruni tangga di tengah hujan dan berlutut sendirian untuk memberi hormat. Lututnya membentur batu lempengan dan dengan cepat menjadi basah kuyup. Tidak ada yang melindungi punggungnya dari hujan, dan rambutnya tergerai hingga ke tanah.

[END] Nan Chan (南禅) | Bahasa IndonesiaWhere stories live. Discover now