Bab 3 ~ Pandai Besi

1.1K 221 5
                                    

Dua bulan sebelumnya

Dua bulan sebelumnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"William!"

Bortez si pandai besi memanggil muridnya, pemuda jangkung bertubuh tegap yang tengah menempa bilah besi panjang dengan menggunakan martil berukuran besar. 

Bunyi hantamannya terdengar bertalu-talu memekakkan telinga, menggetarkan seisi bengkel kerja yang gelap, pengap dan panas. Tanpa henti. Tampaknya dia sama sekali tidak mendengar panggilan Bortez.

Si pandai besi tahu William bukan seorang yang lemah pendengaran. Telinga pemuda itu bisa sangat tajam kalau dia mau. Walaupun di sela-sela suara hantaman logam dan juga sedang memakai penutup telinga, dia biasanya bisa mendengar panggilannya. 

Jadi Bortez yakin kalau William sekarang tidak mendengar itu bukan karena dia tuli, melainkan karena dia telah kembali ke kebiasaan buruknya selama ini: melamun sambil bekerja.

Maka ia pun memanggil sekali lagi, "William!"

Kali ini pemuda berambut hitam tebal kecokelatan itu menghentikan pekerjaannya. Bunyi hantaman mereda. Dia menoleh ke belakang, menunjukkan wajahnya yang seolah polos tanpa dosa.

"Ya, Paman? Ada sesuatu?"

"Besimu masih merah! Masih terlalu keras buat ditempa. Buang-buang tenaga! Coba panaskan lagi, tunggu sampai warnanya berubah jadi kuning. Sudah kubilang beratus kali. Aku tahu kau senang memukul-mukul, tapi sisakan tenagamu untuk pekerjaan atau hal-hal lain yang juga penting!"

"Ya, ya, Paman, maaf." William malah menyeringai. "Tapi, selain pekerjaan, hal lain yang juga penting itu misalnya apa?"

"Kau cari tahu saja sendiri. Lihat saja apa yang teman-temanmu lakukan di luar sana!"

"Berladang, beternak, mencari kayu," William menukas. "Sayangnya, belakangan aku baru saja sadar bahwa semua itu membosankan."

Bortez manggut-manggut memikirkannya, lalu terkekeh. "Ya, kau tidak salah. "

"Tapi, ada satu yang tidak. Bepergian dengan gadis-gadis di desa." William menyeringai. "Ah, ya, mungkin aku akan melakukannya. Menurut Paman, boleh aku mengajak Muriel?"

Bortez melotot begitu nama putrinya disebut. "Setelah kupikir-pikir, lebih baik kau tetap di sini saja! Lagi pula, ini pekerjaan terbaik untukmu."

William hanya tertawa kecil, kemudian tampak melamun lagi.

Sepertinya memang ada sesuatu yang mengusik pikirannya.

Bortez pun menyerah. "Sudahlah, lebih baik kau istirahat saja. Hari ini cukup sampai di sini."

Kini ganti William yang menatapnya heran. "Kita tutup lebih cepat? Bagaimana dengan pesanan Tuan ... Tuan Hitam—siapa itu namanya?"

"Mornitz? Sudah selesai." Bortez menunjuk sebuah pedang yang terbungkus kain tebal di pojokan bengkel. "Dia tidak minta dibuatkan sarung. Katanya pedang saja cukup."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now