Bab 83 ~ Percabangan Sungai

226 80 1
                                    

Bullock tampaknya mengerti maksud William dan kembali mengangguk.

Namun laki-laki tua itu tampaknya masih memiliki rasa penasaran yang lain. "Kau menemukan apa yang kau cari, di timur sana?"

"Kurang lebih," jawab William singkat. Namun ia yakin, Bullock pasti bisa menebak kalau William akhirnya menemukan bekas rumah ayahnya di timur, tanpa menemukan ayahnya. "Sempat ada pertempuran dengan orang-orang Hualeg di desa Thaluk, tapi itu sudah berlalu. Bukan masalah lagi. Setelah itu aku membantu Vida di pegunungan timur. Ini juga sudah beres."

Bullock manggut-manggut. "Jadi semuanya baik-baik saja? Aku ikut senang mendengarnya, kalau memang begitu, jika akhirnya kau bisa mendapatkan keinginanmu. Entah itu di timur, atau mungkin nanti, di utara."

William meringis. "Sebenarnya aku lebih suka pulang ke selatan."

"Oh ya? Ya, kau sendirilah yang paling tahu. Kau akan menemukannya nanti, apa yang sebenarnya kau inginkan, walau mungkin sebenarnya bukan sesuatu yang kau butuhkan. Maafkan aku, Nak, aku tak akan bertanya lagi soal itu padamu. Lebih baik aku bertanya hal lain yang lebih penting. Berapa banyak minumanku yang kalian butuhkan?" Bullock bertanya dengan sorot mata jenaka, bergantian ke arah William dan Vida. "Kalian telah pergi jauh sampai ke pegunungan timur, jadi pasti kekurangan minuman yang bagus. Betul?"

William tertawa. "Dua botol minuman hangat, kalau kau punya. Aku akan membayarnya, dengan sazet yang kudapat dari desa Thaluk."

"Kalau hanya dua, tak perlu membayar," tukas Bullock. "Kau temanku, jadi anggap itu sebagai pemberian seorang teman. Sudah kubilang, sejak dulu aku punya banyak minuman di sini. Yang aku tidak punya adalah orang yang bisa minum bersamaku."

"Kalau begitu tambahkan tiga botol lagi, supaya aku bisa membayarmu."

Kali ini Bullock setuju. Ia memberikan dua botol minumannya secara gratis, dan menerima bayaran untuk tiga botol berikutnya.

Laki-laki itu bilang dia punya stok lima botol lagi, dan kalau William mau, dia bersedia menjual semuanya.

William menolaknya. "Kau simpan dulu saja yang itu, Tuan," katanya. "Supaya kalau aku nanti datang lagi, kita masih bisa minum bersama."

William dan rekan-rekannya lalu melanjutkan perjalanan.

Mereka sampai di aliran utama Sungai Ordelahr menjelang malam. Di percabangan sungai itu, jika berbelok ke kiri mereka akan sampai di desa Thaluk pada hari berikutnya. William membayangkan, kepala desa Thaluk, Morrin, pasti akan menyambutnya seandainya ia pulang ke desa itu.

Namun tentu saja tujuan William kali ini bukan ke sana, melainkan ke kanan menuju utara. Ke aliran sungai yang masih asing baginya.

Vida bilang mereka akan berperahu selama beberapa hari menembus hutan, sebelum sampai di rumah dukun yang mereka tuju. Kegelisahan kembali menghampiri William begitu ia teringat pada pesan ibunya, yang memintanya agar jangan pergi ke tanah orang-orang utara, negeri tempat ayahnya berasal.

Namun jika mendengar penjelasan Vida, sepertinya rumah dukun itu belum sampai ke desa suku Vallanir. Artinya, mungkin kepergian William masih bisa dimaafkan, karena ia tidak betul-betul pergi sampai ke negeri Hualeg.

Dalam perjalanan berhari-hari itu mereka beristirahat selama delapan sampai sepuluh jam saat malam, sisanya dari fajar hingga menjelang petang terus mendayung tanpa henti. Sungai yang mereka lewati berkelok-kelok, kadang lebar hingga lebih dari dua puluh meter, kadang sempit kurang dari sepuluh meter. Jika lebar, maka arusnya relatif lebih lambat dan mereka bisa sedikit bersantai, tetapi jika sempit, mereka harus mendayung lebih waspada, agar tidak terantuk bebatuan yang menghadang di bawah permukaan air.

Pada hari ketujuh mereka tiba di ruas sungai yang lebarnya mencapai belasan meter. Dataran di tepiannya landai berbatu-batu dan cukup terbuka. Pohon-pohon di sana tidak selebat hutan yang mereka lewati sebelumnya. Suasana menjadi terlihat lebih terang, karena sinar matahari bisa bebas masuk tanpa terhalangi rimbunan pepohonan.

Awalnya William mengira mereka sudah keluar dari hutan dan mungkin tidak jauh lagi dari desa orang-orang Hualeg, tetapi Vida bilang mereka masih berada di dalam hutan.

"Sekarang kita harus lebih hati-hati," kata Vida. "Tak lama lagi kita sampai di percabangan sungai lainnya. Jika kita ke kanan, menuju utara, setelah beberapa hari kita akan sampai di desa Vallanir. Sementara cabang yang kiri mengarah ke Logenir dan suku-suku barat lainnya. Biasanya suku Logenir menempatkan pengamat di sekitar sini. Begitu melihat kita datang, mereka akan menyampaikan kabar itu ke desanya."

"Setelah dulu kalian membantuku menghancurkan pasukan mereka, mungkinkah mereka menunggumu di sini, untuk membalas dendam padamu?" tanya William.

Vida menggeleng. "Orang-orang Vallanir biasanya juga menaruh pengamat di sekitar sini. Kami akan tahu jika Logenir mendatangkan banyak orang, dan kami akan mengumpulkan orang juga. Jika Logenir nekat menyerang, kami akan datang juga. Perang terbuka akan terjadi, dan menurutku itu tidak akan terjadi. Logenir baru saja kehilangan banyak orang setelah bertempur denganmu. Tapi, mereka tetap bisa membunuh kita, dengan suatu cara, jika kita lengah. Jadi kita harus hati-hati."

"Kalau rumah dukun yang kalian cari itu, ada di mana?"

"Tak jauh setelah melewati percabangan. Ayo, maju," Vida berkata pada para prajuritnya. "Tetap waspada, tapi jangan melambat. Kita harus sampai di gubuk itu sebelum gelap."

Mereka terus mendayung. Sebagian dari mereka memperhatikan hutan di sebelah sisi sungai, sebagian lagi melihat ke kanan. Hutannya tidak lebat, tapi batang-batang pohonnya besar, cukup buat menjadi tempat bersembunyi para pemanah, jika seandainya mereka ada.

Seingat William, saat ia bertempur dengan orang-orang Hualeg dulu, mereka tak ada satu pun yang menggunakan panah. Mereka hanya bersenjatakan pedang atau kapak. Namun itu pastinya bukan karena mereka tidak punya pemanah, melainkan karena mereka menganggap enteng penduduk desa. Di sini kondisinya pasti berbeda.

Sesampainya di percabangan mereka berbelok ke kanan. Freya sempat berbisik, sepertinya ia melihat sesuatu di balik salah satu pohon di sisi kiri sungai. Semuanya bersiaga, siap dengan perisai seandainya ada serangan.

Namun ternyata setelah mereka lewat cukup jauh tidak terjadi apa-apa. Mungkin Freya memang melihat sesuatu. Mungkin ada pengamat dari suku Logenir di sana, tetapi dia hanya sendirian dan tak berani menyerang.

Tak lama mereka lalu menepi ke sisi sungai sebelah kanan. William memperhatikan bentuk tanah yang berbukit-bukit dengan jarak antar pepohonan yang cukup dekat, membuat tempat itu kelihatan lebih gelap.

"Kita berhenti di sini," kata Vida sambil berdiri dan bersiap menjejakkan kakinya di daratan. "Gubuk dukun kita ada di atas bukit. Letaknya tersembunyi, akan sulit dicari setelah hari gelap, jadi kita harus cepat naik."

"Kita semua naik ke sana?" tanya William, masih ragu.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now