Bab 17 ~ Tidak Ada Jalan Lain

362 118 4
                                    

William tak mampu berkata-kata. Seluruh ucapan Rogas benar-benar mengusik hatinya. Kabur dari desa ini ... adalah satu-satunya jalan?

Apakah tidak ada jalan lain?

Di sampingnya Muriel mulai terisak.

Yang langsung dibalas oleh Rogas dengan cara yang paling menyebalkan, "Hei, kau menangis untuk William? Tidak usah repot-repot. Kau tidak mengerti? Kau juga punya masalah! Kalau kau pulang ke rumahmu, suatu saat Mornitz juga akan menemukanmu di sana. Mungkin akan membunuhmu juga."

Muriel terpana.

William langsung naik pitam. "Muriel tidak ada hubungannya! Kenapa dia diincar juga?"

"Apa boleh buat. Kalau Mornitz mengenali wajahnya malam ini, dia dalam bahaya," jawab Rogas dengan senyum masam.

William menoleh, memandangi gadis bertubuh kecil dan berambut keriting di sampingnya yang semakin panik. "Apa ... apa Mornitz tadi melihatmu? Muriel! Apa dia melihatmu?"

Mata gadis itu mengerjap-ngerjap. "Tidak ..." bibirnya bergetar gugup. "Kurasa tidak. Dia tidak melihatku ..."

"Kamu yakin?"

"Tadi gelap ..." Muriel tampak tidak yakin. "Saat dia lari melewatiku, kurasa aku masih bersembunyi. I—iya ... kurasa begitu. Dia tidak melihatku!"

William menarik napas lega. Hanya lega sesaat, tentu saja.

Mudah-mudah Muriel benar tidak terlihat tadi. 

Sayangnya, pada akhirnya ia tetap takut membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi pada Muriel, pada ayah gadis itu, dan juga pada dirinya sendiri, jika ia salah membuat keputusan malam ini. Bagaimana jika benar suatu hari nanti Mornitz datang lagi bersama kawanannya, tidak hanya ke rumah William, tapi juga ke rumah Muriel? 

William mungkin bisa membela diri. Ya, ia harus bisa membela diri! Tapi bagaimana dengan Muriel? Benar-benar mimpi buruk!

Tidak! Mudah-mudahan tidak seperti itu.

Rogas memperhatikan William yang kebingungan. "Kalau menurutmu Muriel akan baik-baik saja, terserah. Aku sudah memperingatkan. Ya, mudah-mudahan dia selamat nanti! Gadis ini biar sekarang pulang ke rumahnya, dan lupakan semuanya. Betul, Muriel?"

Muriel diam saja, tak mau menjawab. Namun ia menatap benci ke arah laki-laki menyebalkan itu.

Rogas tak mempedulikannya. "Sementara dia pulang, kita harus segera pergi, William, sejauh mungkin. Sekarang. Aku yakin Mornitz tidak akan menganggapku remeh lagi. Dia akan datang dengan lebih banyak cecunguk. Kita harus hati-hati."

"Pergi ... pergi ke mana?" tanya William pelan.

"Hmm. Biar kupikirkan dulu ..."

"Ke selatan?" tanya William. Pikirannya masih belum jernih, dan hanya itu solusi yang bisa ia pikirkan saat ini.

"Selatan?" Rogas menatapnya heran.

"Di selatan, kalau kau kembali ke pasukan kerajaan, mungkin akan aman," kata William, merasa mulai menemukan secercah harapan. "Ya! Aku juga mungkin bisa ikut bergabung dengan pasukan ..."

Rogas menggeleng. "Tidak. Itu ide buruk. Sebelum sampai ke ibukota, kita pasti sudah dihadang lebih dulu di Milliton."

"Oleh Mornitz?"

"Ke utara lebih aman. Sementara ini."

"Utara?" William tertegun.

Tiba-tiba ia teringat. Seperti kata ibunya, bukankah dirinya adalah orang utara? Ia dilahirkan di sana, dan ayahnya pun berasal dari utara. Akan seberapa jauh ia pergi? Apakah akan sampai ke tanah Hualeg? 

William teringat, ibunya sudah berpesan agar ia jangan kembali ke utara. Apa yang akan terjadi nanti jika ia sampai melanggar pesan ibunya?

"Siapkan perahunya, William," kata Rogas. "Kita berangkat."

"Naik perahu?"

"Tentu saja naik perahu!" kata Rogas dengan wajah kesal. "Kau pikir aku bisa berjalan dengan kaki luka seperti ini? Bodoh."

Itu sudah cukup! William tak mampu menahan diri dan langsung meninju keras-keras wajah Rogas. 

Laki-laki itu terjengkang. Hidungnya berdarah, dan ia menatap William tak percaya sambil memegangi hidungnya.

"Kenapa ... kenapa kau memukulku?!" jeritnya histeris.

"Terkutuk dengan lukamu, keparat!" balas William. "Kau beruntung aku hanya memukul wajahmu dan bukan menginjak luka di kakimu!"

"Hei ..."

"Kau penyebab semua masalah ini! Bukannya minta maaf, kau malah terus membuat aku dan Muriel kesal dengan kata-katamu yang menyebalkan!"

"Tapi ... tapi kau juga salah!" bantah Rogas. "Kaulah yang membawaku menemui Mornitz! Demi dua keping? Atau tiga?"

"Bangsat." William mengangkat tinjunya, siap menghajar lagi.

"Hei, aku minta maaf!" Rogas mengangkat kedua tangannya.

William membuang muka. Untuk sesaat dia benar-benar muak melihat wajah Rogas. Dadanya bergemuruh menahan amarah. Ia bahkan sampai merasa tidak enak pada Muriel.

Ketiganya terdiam. 

William kemudian memandangi belati panjang milik Tuan Horsling yang tergeletak tak jauh darinya.

Belati itu. Benar juga. Mungkin ada yang bisa ia lakukan.

Ia berlari mengambil belati itu. Perlahan rasa kesalnya menurun. Ia menengok ke arah Rogas. Temannya itu mengangkat tangan.

"Aku minta maaf ..." laki-laki itu berkata, "pada kalian berdua. Oke? Apa itu belum cukup? Dengar, kalian boleh marah kepadaku, sebanyak yang kalian suka, tapi semua kata-kataku tadi benar, William. Kita harus pergi sebelum Mornitz kembali."

"Aku akan mengantar Muriel pulang dulu," tukas William.

"Waktu kita sedikit!" kata Rogas kesal.

"Kakak." Muriel menyentuh lengan William. William memandanginya, gadis itu tampak sudah lebih tenang. "Aku bisa pulang sendiri, Kakak tidak perlu khawatir."

"Aku tidak akan bisa tenang jika membiarkanmu pulang sendiri."

"Aku justru khawatir pada Kakak ..."

"Ya ... maafkan aku, seharusnya tidak seperti ini ..."

"Hei, cepatlah." Rogas semakin tidak sabar.

"Diam!" William langsung mendampratnya. Lalu ia menatap Muriel lagi dan memegangi bahu gadis itu. "Aku akan mengantarmu sampai ke Kedai Horsling. Setelah itu kamu bisa pulang sendiri. Kali ini, benar-benar pulang. Jangan mengikutiku lagi."

"Maaf ..." Muriel terisak.

"Sudahlah." William menggeleng pelan, marah pada dirinya sendiri. Ia yang salah, kenapa tadi malah menyalahkan Muriel? "Ayo, kita pergi."

"Lho, lho? Terus aku bagaimana?" seru Rogas.

"Tunggu aku di sini," tukas William.

"Berapa lama? Bagaimana kalau Mornitz datang sambil membawa cecunguknya yang lain ? Aku masih belum bisa berlari. Kau mau aku mati?"

"Ya sembunyi saja!" balas William kesal. "Terserah di mana. Di balik pohon, di balik batu, aku tidak peduli. Kalau ternyata kau mati sebelum aku kembali, aku akan pergi sendiri ke utara."

Rogas memaki. "Kalau begitu lebih baik aku pergi sendiri saja sekarang! Aku juga tidak perlu peduli padamu, kan?"

"Terserah. Berarti aku akan mencarimu nanti," William mengancam. "Kau mendapat tambahan satu musuh lagi. Aku."

Rogas terperangah. "Kupikir aku temanmu! Ya sudah, cepat! Aku tak ingin menunggu lama-lama di sini. Aku serius!"

William menggenggam erat lengan Muriel lalu bergegas mengajak gadis itu pergi. 

Untuk saat ini ia benar-benar tidak peduli pada Rogas. Hanya Muriel yang ada di benaknya. 

Ditambah laki-laki itu, si pemilik kedai yang telah meminjaminya belati. William berharap orang itu mau bertanggung jawab. Dialah yang telah membawa William masuk ke dalam semua masalah ini! 

Northmen SagaWhere stories live. Discover now