Bab 54 ~ Musuh Lama

263 87 1
                                    

Isakan tangis itu masih terdengar jelas.

Jeritan dan rintihan ketika satu per satu mereka menemui kematian.

Masih terasa di udara panasnya api yang berkobar dari setiap rumah. Terlihat pula mayat-mayat yang bertumpuk-tumpuk di atas rerumputan di setiap sudut desa, serta air sungai yang memerah oleh darah.

Lalu seorang anak kecil yang berada dalam pelukan ibunya. Sang anak menangis dan sang ibu memohon ampun, sampai saat-saat terakhir mereka.

Dan tidak ada yang bisa Vilnar lakukan.

Ada, seharusnya ada, jika ia bukan seorang pengecut.

Mati. Semuanya mati.

Tapi suara tangisan itu tak pernah hilang.

"Kita orang Hualeg," kata seseorang. "Inilah kita."

"Tidak!" Vilnar membalas. "Kita tidak seperti ini."

"Menurutmu begitu? Lalu apa yang akan kau lakukan?"

Vilnar tak mampu menjawab pertanyaan itu.

Ia menjawab dengan melakukan apa yang biasanya ia lakukan. Berkelahi.

Mungkin sampai mati, jika memang harus seperti itu.

Namun semuanya sudah terlambat.

Dan ia tahu, pada akhirnya bukan itu jawaban yang ia cari.

Selama suara tangisan dari masa lampau itu masih terdengar jelas di dalam kepalanya, tetap bukan itu jawabannya.

Vilnar terbangun dari mimpi, dengan napas tersengal dan dada berdebar kencang. Ketika ia terbangun, selalu hanya samar-samar yang bisa ia ingat dari mimpinya. Namun ketika kemudian ia memikirkannya ia pun teringat, pada kejadian yang terjadi lebih dari tiga tahun yang lalu.

Ingatan itu tidak akan pernah hilang, sampai kapan pun.

Matahari sudah terbit, bagaimanapun juga. Ini hari yang baru. Tidak ada gunanya memikirkan kejadian itu lagi. Lebih penting adalah apa yang bisa ia lakukan sekarang. Gadis dari selatan itu. Dia butuh bantuannya.

Mereka harus berangkat hari ini.

Kemarin Vilnar sudah melakukan semua yang ia bisa. Sesuatu yang mungkin sebenarnya tidak harus ia lakukan, tetapi tetap ia lakukan karena merasa ini adalah kewajibannya. Ia menggali lubang besar di tengah desa, kemudian mengumpulkan seluruh mayat yang ada. Pria, wanita, orang dewasa, anak-anak. Termasuk juga orang-orang Hualeg yang dibunuhnya.

Semua yang berhasil ia temukan ia kuburkan di dalam satu lubang.

Setelah itu ia menggendong Ailene dari tepian sungai di bawah air terjun naik ke desa di atasnya. Vilnar menemukan satu rumah yang bersih sebagai tempat beristirahat. Namun begitu gadis itu melihat kuburan massal di tengah desa dia minta diturunkan. Dia berlutut di samping kuburan, dan berdoa. Pada dewa-dewanya, mestinya. Dia tampak menangis, walau tanpa suara.

Kesedihan gadis itu tidak berlarut-larut. Setelah berdoa ia berusaha berdiri. Vilnar menggendongnya lagi, karena ternyata Ailene masih belum bisa berjalan karena luka di kakinya, dan membawa gadis itu ke rumah.

Malam itu Ailene tidur di dalam rumah, sementara Vilnar berjaga di luar. Tempat di mana ia kembali didatangi oleh mimpi yang berasal dari masa lalu. Tapi sekali lagi, mimpi itu tidak perlu lagi dipikirkan.

Maka pagi ini, seusai sarapan, keduanya memulai perjalanan.

Vilnar mendayung dengan kewaspadaan penuh. Rohgar dan kawanannya mungkin sudah berada di desa berikutnya, atau bisa juga tengah berkubu di suatu tempat. Jika benar mereka sedang berkubu, maka Vilnar akan bersembunyi jika bertemu dengan mereka, dan menunggu kesempatan yang lebih baik untuk mendayung lagi.

Namun jika orang-orang itu sudah sampai di suatu desa dan menyerang di sana, Vilnar akan memacu perahunya melewati sungai secara diam-diam, supaya bisa sampai di desa selanjutnya lebih dulu dibanding orang-orang itu. Ia terpaksa akan mengorbankan desa yang tengah diserang.

Memang pilihan yang menyedihkan, tapi hanya dengan cara itu ia bisa memperingatkan desa-desa berikutnya dari ancaman Rohgar, sekaligus mengantarkan Ailene dengan selamat sampai ke selatan.

Namun sepanjang hari itu untungnya Vilnar tak melihat tanda-tanda keberadaan musuhnya. Desa-desa lainnya di selatan juga belum tampak. Sejauh ini yang dilaluinya masih sungai yang sepi dan damai. Hanya ada kicauan burung di pucuk pepohonan di sisi sungai, atau suara-suara kera di kejauhan.

Hari pertama berlalu dengan tenang.

Barulah di hari kedua suasana terasa lebih menegangkan.

Vilnar yakin gerombolan Rohgar mestinya berada tak jauh lagi. Matanya terus menatap tajam ke depan, hampir tak pernah menoleh ke arah Ailene yang duduk di belakangnya. Sesekali ia menghentikan kayuhan dan menepi, lalu menajamkan pendengaran untuk mengenali suara-suara yang mencurigakan.

Semakin dekat. Vilnar bisa merasakannya.

Menjelang tengah hari ia akhirnya melihat kepulan asap di balik pepohonan. Orang-orang Logenir itu sudah sampai di desa berikutnya. Sorak-sorai terdengar, dibarengi suara denting logam beradu.

Siapa yang sedang bertempur di sana? Memangnya penduduk desa ini berani menghadapi Rohgar dan kawanannya?

Sesuai rencana mestinya Vilnar langsung saja memacu perahunya ke selatan dan tak perlu mempedulikan desa itu, sambil berharap tak ada anak buah Rohgar yang melihatnya dari daratan.

Namun suara pertempuran itu mengusik hatinya. Bagaimana jika penduduk desa membutuhkan bantuannya?

Dan ... bukankah ini kesempatan Vilnar buat membunuh Rohgar?

Sekali lagi, hatinya menang. Vilnar merapatkan perahunya ke tepi sungai, lalu meraih kapaknya yang ia sembunyikan di bawah tempat duduk.

Ia menatap Ailene lekat-lekat. "Kau tunggu di sini. Aku segera kembali."

Ailene jelas tak mengerti ucapannya, dan ia tampak ketakutan, apalagi begitu melihat kapak besar di tangan Vilnar. Namun gadis itu mengangguk. Tangannya terulur mengusap lembut wajah Vilnar, sambil mengucap beberapa kalimat.

Vilnar meringis. "Kedengarannya seperti doa. Terima kasih."

Ia melompat dari atas perahu dan berlari menuju desa.

Suara teriakan dan senjata beradu semakin jelas terdengar.

Vilnar menerobos pepohonan lebat dan melompati beberapa parit, sebelum akhirnya tiba di pinggir tanah lapang di samping desa.

Di sana pertempuran memang sedang terjadi, tetapi tampaknya sudah berlangsung cukup lama. Belasan prajurit Hualeg terbaring tewas di berbagai sudut, dan belasan lainnya masih mengepung tiga orang laki-laki yang menjadi lawan mereka.

Ketiga orang itu sungguh tangguh. Dua orang menggunakan pedang dan satunya lagi memakai tombak. Gerakan mereka cepat, ayunan pedangnya bertenaga dan tusukan tombaknya akurat. Mereka juga mampu saling membantu dan menutup celah saat bertahan, sehingga orang-orang Logenir yang mengepung mereka tak mampu mengambil kesempatan saat ketiga orang itu menyerang.

Dengan hanya memperhatikan sekilas saja Vilnar langsung bisa menilai, dan sadar, seumur hidupnya ia belum pernah melihat keterampilan memainkan senjata yang lebih baik daripada ketiga orang itu.

Namun orang-orang dari suku Logenir juga bukan prajurit sembarangan. Mereka kuat dan tak kenal takut, dan Vilnar tahu, bagi mereka mati dalam pertempuran justru adalah sesuatu yang mereka tunggu-tunggu. Melihat rekan-rekannya tumbang malah membuat mereka semakin ganas. Mereka mengepung dan mendesak ketiga lawannya sampai ke kaki bukit berbatu.

Pemimpin mereka, yang berambut merah dan menggenggam pedang besar, memberi komando pada bawahannya, "Serang! Serang terus, bangsat! Mereka sudah lelah!"

Darah Vilnar langsung menggelegak begitu ia mengenali orang Hualeg berambut merah itu.

Dialah Rohgar, musuh lamanya dari suku Logenir.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now