Bab 67 ~ Ancaman Terbesar

215 84 1
                                    

"Apa?!" Vilnar naik pitam mendengar ucapan Tarnar dan hampir terlompat dari kursinya.

"Tarnar, Vilnar, tenanglah!" Erenar buru-buru mengangkat tangan. Sementara Radnar terhenyak di kursinya. "Vilnar, kita semua menyesal. Kita tidak bisa menyalahkan Kronar, dan kuharap kau juga tidak menyalahkan kami. Tapi jika memang kau ingin melakukan itu, salahkan saja aku karena tidak memberi Kronar peringatan. Kau tidak berada di sana, tidak tahu bagaimana perasaan kami melihat Kronar tewas di sana."

"Oh, kuharap aku ada di sana untuk membereskan semuanya," sahut Vilnar geram. "Memastikan semuanya berjalan seperti seharusnya!"

Erenar menjawab dengan hati-hati, "Kalau kau ingin lebih yakin tentang apa yang terjadi, kau bisa bertanya langsung pada para prajurit."

"Vilnar, sudahlah," Radnar akhirnya berkata.

"Tidak. Masih ada satu lagi." Vilnar masih belum puas. "Mengapa orang-orang Andranir datang terlambat? Bukankah letak desa mereka ke medan tempur sebenarnya lebih dekat daripada desa kita ke sana?"

Erenar tercenung, lalu menggeleng, "Soal itu aku tidak tahu."

"Mungkin mereka terlambat menerima kabar dari kita," Radnar yang menjawab. Mata tuanya bergerak-gerak dan dahinya berkerut, menunjukkan kalau ia mulai memikirkan sesuatu.

"Siapa yang memimpin pasukan mereka?" tanya Vilnar.

"Kabarnya Federag, putra Patarag," jawab Erenar.

Vilnar mengangguk-angguk, lalu menoleh. "Ayah, aku akan mendatangi Patarag di Andranir untuk menanyakan ini."

"Ke Andranir?" Radnar menatapnya ragu. "Kau yakin?"

"Kalau Patarag memang sekutu kita, tak ada yang perlu ditakutkan," jawab Vilnar.

"Bagaimana jika ternyata mereka sudah berubah?" tanya Radnar.

"Kalau begitu aku akan membereskannya," jawab Vilnar dingin.

Semua orang saling menatap. Vilnar memperhatikan wajah Tarnar dan Erenar, berusaha menebak apa yang ada dalam pikiran kedua kakaknya itu, tapi bahkan Tarnar yang biasanya ekspresif pun kini tak menampakkan perubahan wajah.

Radnar bertanya lagi, "Berapa orang yang ingin kau bawa?"

"Aku pergi sendirian saja. Kalau Patarag tidak bermaksud jahat, maka aku juga tidak ingin membuatnya merasa terancam."

"Ini berbahaya." Radnar menggelengkan kepala.

"Ayah, cepat atau lambat kita harus bicara dengannya. Ayah tidak usah khawatir, aku bisa menjaga diri. Aku cuma minta agar kepergianku dirahasiakan. Untuk berjaga-jaga." Vilnar menatap Tarnar dan Erenar bergantian.

"Baiklah." Radnar akhirnya mengangguk setuju.

"Kau tenang saja. Tidak ada orang lain yang tahu selain kita," kata Erenar.

"Ya." Tarnar hanya berkata singkat.

Vilnar mengangguk. "Aku akan pergi malam ini juga."

Radnar termenung mendengar keputusan itu, lalu berkata pada Tarnar dan Erenar, "Kalian berdua pulang dan beristirahatlah. Aku mau bicara dengan Vilnar sebelum ia pergi."

Tarnar dan Erenar menjawab bersamaan, "Ya, Ayah."

Keduanya bangkit dan berjalan pergi meninggalkan Vilnar dan Radnar yang masih saling duduk berhadapan.

Setelah pintu ditutup Radnar berdiri. Ia mematikan dua buah obor sehingga kini hanya ada dua obor lainnya yang menerangi ruangan.

Ia lalu duduk lagi, kali ini tepat di sebelah Vilnar. "Vilnar, aku baru saja kehilangan kakakmu. Aku berat mengijinkanmu pergi."

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang