Bab 114 ~ Perjalanan

220 75 1
                                    

William mendayung perahunya, mengarungi lautan dingin menuju daratan es di utara. Sebuah perjalanan yang tak pernah dilakukan oleh siapa pun sejak awal masa. Leluhur bangsa Hualeg—Madnar dan Fyrsta—justru dulu pergi ke arah sebaliknya, ke selatan, karena tak mungkin keturunan mereka bisa hidup di daratan utara. Sekarang, William malah pergi ke utara.

Karenanya wajar jika saat ia menyatakan niatnya, semua orang langsung keberatan dan berusaha menahannya. Hampir semuanya menangis.

Terutama keluarganya. Terutama Tilda. Perempuan itu baru saja kehilangan seorang anak, mana bisa dia kehilangan satu lagi? Mereka juga baru saja mengangkat William sebagai kepala suku, dengan berbagai pertimbangan yang sudah dipikirkan matang-matang. Kini apakah mereka harus kehilangan itu? Seolah-olah semua yang telah mereka lakukan sia-sia belaka.

Menanggapi mereka, William tidak menjelaskan apa-apa. Ia hanya bilang bahwa ia harus melakukan perjalanan ini, dan bahwa jika nanti ia tidak kembali, semua orang harus menerimanya. Mereka juga harus menerima Freya sebagai kepala suku Vallanir yang baru, sesuai keinginan William.

Freya lalu berkata di depan semua orang, bahwa ia sudah siap jika itu terjadi, tetapi meminta semuanya tetap berdoa, agar William bisa pulang dengan selamat. Freya melakukan itu sesuai dengan janjinya, yang bersedia ikut menanggung beban William. Syukurlah, karena sebelumnya Freya sempat menangis habis-habisan, dan meminta William jangan pergi sekarang.

Apa pun, semua itu sudah berlalu. Tak perlu lagi dipikirkan.

William sudah tiba di dunia lain. Hanya ini yang perlu ia pikirkan.

Ia menjejakkan kakinya di daratan es. Perahunya ditinggalkan dan ia mulai melangkah. Tujuannya ke mana, ia belum tahu. Helga bilang, hatinya akan menunjukkannya nanti. Maka William hanya mencoba berjalan, sejauh yang ia bisa. Lalu, mudah-mudahan hatinya nanti menunjukkan sesuatu.

Untungnya sekarang masih musim gugur, jadi tempat ini masih disinari matahari. Kalau musim dingin, tempat ini tidak akan dikunjungi matahari selama berbulan-bulan.

Kali ini, saat siang, yang lamanya hanya beberapa jam, matahari bergerak dari posisinya di timur, lalu ke selatan, lalu ke barat, tetapi selalu bertengger sedikit di atas cakrawala, membuat hari selalu terasa seperti menjelang petang. Setelah terbenam cahaya matahari itu juga tetap terlihat sepanjang malam, mengintip dari balik cakrawala, bergeser dari posisinya di barat, lalu ke utara, lalu kembali ke timur.

Sebuah fenomena, yang William pikir mungkin bisa menunjukkan bahwa dunia sebenarnya berbentuk bulat.

Soal gelap, jika belum masuk musim dingin tempat ini juga tidak semengerikan yang dibayangkan William sebelumnya. Sedangkan mengenai suhunya, betul, orang biasa tidak akan tahan dengan dinginnya yang membekukan. Namun William, seperti pernah dikatakan Vida, seolah punya api di dalam tubuhnya, yang membuatnya tahan pada suhu yang dingin.

Kemungkinan pendapat itu berlebihan. William yakin, hal semacam ini pasti ada batasnya. Akan ada suatu tempat di daratan ini, mungkin di ujung dunia, yang pasti akan membuatnya tidak tahan, dan karenanya itu membuatnya takut. Namun ia lalu menguatkan diri. Ia pasti bisa melewati ini, atau paling tidak, berusaha sekuat yang ia bisa.

William terus berjalan. Saat lelah ia lalu berhenti, memakan sedikit bekal yang ia bawa, dan berbaring di hamparan es yang luas dan seolah tak berbatas. Dari ujung ke ujung, ke mana pun matanya memandang, hanya ada warna putih. Batas cakrawalanya, yang memisahkan langit dan daratan, semakin lama juga semakin kabur.

Mungkin itu hanya perasaannya, dan penglihatannya menipu, tetapi tetap saja, akhirnya membuatnya berpikir bahwa ia telah benar-benar pergi ke dunia lain.

Ia sudah tertidur beberapa kali, seingatnya, dan setiap kali bangun ia selalu bingung berapa lama ia tertidur. Apakah hanya beberapa jam, atau malah sudah lewat satu hari.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now