Bab 26 ~ Benda Keberuntungan

342 93 1
                                    

William bengong mendengar penjelasan Rogas. Yang barusan diucapkan oleh laki-laki itu adalah rencana yang lumayan dahsyat dan mengerikan. Bukan sesuatu yang main-main. 

Ia tak menyangka Rogas punya pikiran sampai ke sana. Jadi di balik niatnya ikut dalam pasukan Taupin, ternyata Rogas sudah merencanakan sesuatu yang lebih besar? Membuat pasukan dan melakukan serangan balik ke markas penjahat yang cukup berkuasa di Alton?

"Kau yakin mau melakukan ini?" tanya William, masih tak percaya. "Memangnya kau sudah tahu kekuatan musuhmu?"

"Aku tahu," jawab Rogas yakin. "Dengan tiga puluh orang prajurit, asalkan semuanya terampil dan mau mengikuti setiap kata-kataku, aku bisa menghancurkan mereka."

"Hmm ... ya, bagus, kalau bisa begitu ..."

"Cukup pintar, kan?"

"Lumayan." William mengangguk-angguk. "Tapi ... aku tidak akan percaya kalau hanya itu rencanamu. Hanya sekadar menumpas mereka? Tidak. Ujung-ujungnya, kau pasti hendak merampok Bellion. Ya! Kau sebenarnya berencana membuat kawanan perampokmu sendiri!"

"Ah, pikiranmu selalu negatif." Rogas mencibir. "Dengar, dalam perang, pampasan perang itu biasa. Dan lagi, mereka itu perampok. Kita hanya akan merampok perampok. Hasilnya bisa kita bagi ke orang-orang yang sebelumnya mereka rampok. Apa menurutmu itu bukan tindakan mulia?"

William terdiam.

Ya, sepertinya itu tindakan yang baik. Tapi rasanya tetap ada yang salah.

"Sekarang kau paham, bukan?" lanjut Rogas. "Aku punya rencana yang cukup bagus. Jadi kau pastinya mau ikut juga denganku."

William mengangkat bahu. "Asal bayarannya pas."

Rogas tertawa. "Nah! Itu baru namanya prajurit bayaran! Kau sudah belajar dengan baik! Masa depan kita cerah, kau setuju?"

"Asal kau tidak bertindak bodoh."

"Bukan. Asal keberuntungan tetap berpihak pada kita."

"Terserah kaulah," tukas William.

Ia menegakkan tubuh hendak beranjak dari duduknya. Matahari sudah hampir terbenam di balik bukit. Seluruh prajurit yang tadi berkumpul di halaman sudah membubarkan diri. Mereka yang tinggal di Orulion pulang ke rumah masing-masing, sementara yang berasal dari desa-desa lain pergi ke beranda depan dan samping rumah Taupin, untuk tidur di sana. Besok pagi semuanya akan berkumpul lagi di tempat ini, sebelum memulai perjalanan ke utara.

"Aku mau tidur," kata William. "Jika beruntung, mungkin aku akan mendapat mimpi indah, di mana sudah pasti tidak ada kau di dalamnya."

"Kau berharap ada siapa di dalam mimpimu? Muriel? Hei, aku bisa membantumu."

"Diam!"

Rogas tertawa, kemudian menahan William yang hendak pergi. "Aku serius. Jika kau memang mengharapkan keberuntungan, aku bisa memberimu sesuatu."

"Oh ya?" William menatap curiga.

"Lihat ini." Rogas merogoh kantong celananya, lalu mengeluarkan sebuah cincin logam berwarna kuning kemerahan. "Setiap kali kupakai, keberuntungan tak pernah lari dariku. Aku selalu menang saat berjudi, tidak pernah kalah dalam pertempuran, dan juga ... selalu beruntung dengan para gadis." Ia terkekeh.

"Hmm ... kalau itu membuatmu merasa beruntung, kenapa kau tidak memakainya dan malah menyimpannya di kantung?"

"Aku sering memakainya, dulu."

"Aku tidak pernah melihatnya."

"Ah, itu sih salahmu kalau tidak melihat," tukas Rogas. "Tapi aku serius, ini cincin keberuntungan. Kalau kau mau, akan kuberikan padamu."

William mengambil cincin itu, mengamatinya. Di luar ucapan Rogas soal keberuntungan, itu memang cincin yang menarik dan mungkin berharga cukup mahal. "Boleh juga. Tapi kalau kau memberikannya padaku, berarti keberuntunganmu hilang."

"Aku punya benda keberuntungan yang lain." Rogas kembali nyengir sambil menunjukkan kalungnya. Kalung itu berwarna hitam dan di depannya tergantung tiga kuku beruang seukuran jempol. "Ini lebih hebat. Dengan cincin itu aku pernah menang sepuluh sazet, tapi dengan kalung ini aku menang sampai tiga puluh!" Rogas tertawa. 

Sesaat kemudian, raut wajahnya berubah. "Jeleknya, saat memakai keduanya, aku kalah lima puluh sazet! Keterlaluan! Sejak itu aku tak pernah memakainya bersamaan. Cincin itu akhirnya jarang kupakai lagi. Sekarang, daripada mubazir, aku tawarkan kepadamu saja."

"Omonganmu seperti omong kosong lain yang kau ucapkan kemarin," kata William. "Aku tidak percaya. Tapi, jika kau memang ingin memberikannya, aku berterima kasih."

"Aku memberikannya padamu."

"Oke, terima kasih."

"Pakailah." Rogas memperhatikan William yang masih tetap ragu. "Lalu besok ceritakan, apa yang kaulakukan bersama Muriel dalam mimpimu." Ia kembali tertawa sekeras-kerasnya.

William memakai cincin itu, sambil berpikir, mungkin tidak ada salahnya. Siapa tahu omongan Rogas kali ini benar.

Ternyata, pada akhirnya itu tetap omong kosong. 

Ketika esoknya terbangun, William hampir tidak percaya kalau semalam ia benar-benar berharap mendapat mimpi indah hanya gara-gara ia memakai cincin pemberian Rogas. Nyatanya William tertidur lelap seperti bayi. Sama sekali tak ada mimpi yang datang. 

Atau, jangan-jangan ia harus menganggap dirinya beruntung karena tidak mendapat mimpi buruk dan bisa bangun dengan tubuh kembali segar? William memandangi cincin yang di jarinya, lalu beranjak dari dipannya dan membiarkan cincin itu tetap terpasang di jarinya.

Seluruh prajurit sudah berkumpul. Tiga puluh orang. Ditambah William, Rogas dan Taupin. Senjata dibagikan, kemudian mereka langsung berangkat ke utara menyusuri Sungai Ordelahr dengan menggunakan enam buah perahu. 

Tak ada ritual pelepasan dengan penduduk desa. Padahal ada kemungkinan mereka nanti pulang hanya tinggal nama, seandainya pertempuran benar-benar terjadi dan mereka tidak beruntung. Tetapi mungkin, jika kesedihan itu memang ada, mereka sudah melepaskannya kemarin di rumah masing-masing.

Saat mendayung sebersit perasaan aneh menghampiri William. Ia teringat pada pesan ibunya yang tak menginginkan dirinya kembali ke utara. Kini ia benar-benar pergi ke sana. 

Lebih dari itu, ia pergi untuk menghadapi orang-orang Hualeg. William memiliki separuh darah Hualeg dalam tubuhnya, dan kini ia hendak memerangi mereka. Perasaannya gelisah, tetapi anehnya, sekaligus juga bersemangat. Ia tahu, apa pun yang terjadi nanti, ia tetap ingin melihat wajah orang-orang utara itu, walaupun mereka datang sebagai musuh.

Sungai Ordelahr mengalir dari pegunungan di selatan menuju lautan dingin di utara. Melewati hutan tebal, yang jika diteruskan akan sampai di tanah orang-orang Hualeg. Karena searah aliran sungai keenam perahu bisa melaju cepat. 

Menjelang matahari terbenam mereka tiba di desa berikutnya. Lalu esoknya sepuluh orang dari desa itu bergabung dan mereka melanjutkan ke utara.

William bersama rekan-rekannya mendayung selama beberapa hari dan mampir di banyak desa. Ketika akhirnya tiba di Thaluk, desa terakhir di utara, delapan puluh orang telah bergabung. Dua puluh penduduk Thaluk lalu ikut bergabung. 

Sebuah bangunan tua di atas tebing dijadikan markas. Dari tempat itu mereka bisa memandang jauh ke utara, ke aliran sungai yang berkelok-kelok dan kemudian menghilang di balik hutan.

William mendengar seseorang bercerita. Dulu sekali pernah ada desa-desa lainnya, yang artinya Thaluk sebenarnya bukanlah desa paling utara di wilayah ini. 

Namun seluruh desa itu sudah hancur. Hanya Thaluk yang tetap bertahan, berkat letaknya yang cukup strategis di dataran tinggi. Di sini, saat orang-orang Hualeg datang, para penduduk bisa melihat dari jauh dan punya kesempatan untuk lari ke perbukitan di sebelah timur. Harta mereka di desa memang bakalan dirampok, tetapi paling tidak nyawa mereka selamat.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now