Bab 68 ~ Sekutu di Utara

223 78 1
                                    

Desa suku Andranir terletak tepat di muara Sungai Ordelahr. Itu adalah desa paling utara di tanah Hualeg, yang dapat dicapai dalam waktu dua hari jika menggunakan perahu, sementara kalau berjalan kaki bisa lebih dari empat hari.

Sejak awal Vilnar mendayung perahunya dengan kecepatan tinggi dan berhenti hanya untuk tidur di malam kedua. Saat lewat tengah hari di hari selanjutnya ia sudah mendekati pemukiman suku Andranir. Di kejauhan tampak lautan utara yang membiru dengan bongkah es raksasa mengapung di kejauhan. Pemandangan yang menakjubkan, yang akan semakin indah saat musim dingin tiba nanti, di mana seluruh lautan berubah menjadi es.

Suhu di sini sangat dingin bagi orang-orang yang belum terbiasa. Bahkan Vilnar pun harus menggunakan mantel bulu yang paling tebal, yang cukup berguna juga untuk menutupi kapak yang tergantung di punggungnya.

Saat ia merapatkan perahunya di dermaga, belasan prajurit Andranir berjaga dengan sikap waspada. Tangan mereka menggenggam ujung pedang masing-masing. Para penduduk juga tampak. Ada yang mengintip dengan sembunyi-sembunyi, ada juga yang melongokkan kepalanya ingin tahu.

Setelah mengikat perahunya Vilnar naik ke dermaga dan menatap seluruh prajurit di depannya. Ia memperkenalkan diri.

"Namaku Vilnar, putra Radnar dari Vallanir. Aku ingin bertemu dengan Patarag, kepala suku Andranir."

Vilnar dari Vallanir. Nama itu rupanya mengagetkan mereka. Setelah empat tahun menghilang, namanya rupanya masih dikenal di seluruh Hualeg. Sebagian orang mengingatnya mungkin karena kagum, sebagian lagi karena takut.

Para prajurit berpandang-pandangan dan para penduduk saling berbisik.

Seorang prajurit membalas, "Tuan, kami akan menyampaikan kabar kedatangan Anda pada kepala suku. Silakan ikut kami."

Vilnar diantar menuju rumah tamu yang berjarak sekitar lima ratus meter dari dermaga. Di sana ia menunggu, dijaga beberapa prajurit.

Tak lama ia mendapat kabar bahwa Patarag siap menerimanya. Ia pun diantar menuju ke rumah sang kepala suku.

Di tempat itu seorang pengawal lain menyambutnya. "Tuan Vilnar, sebelum masuk, Anda bersedia menitipkan seluruh senjata Anda kepada kami?"

"Tentu saja." Vilnar membuka mantel dan meraih kapak perang yang tergantung di punggungnya, lalu menyerahkannya pada si pengawal.

Pengawal itu hanya bisa terkejut saat menerima kapak yang luar biasa beratnya itu, dan memilih menyandarkannya saja di dinding.

Vilnar memakai lagi mantelnya, dan masuk ke dalam.

Di dalam ruangan Patarag si kepala suku Andranir sudah menunggu di kursinya. Ia bertubuh tinggi kurus, dan berjanggut panjang warna putih. Seorang pemuda berambut cokelat dan bertubuh tegap duduk di sebelah kanannya. Itu pasti Federag, putra sulungnya. Sedangkan di sebelah kirinya duduk dua wanita cantik, pastilah istrinya dan Varda putrinya.

Sejumlah pemuka suku Andranir juga hadir.

Vilnar melirik sebentar ke arah Varda yang berambut warna emas. Gadis itu tersenyum ketika melihat Vilnar menatapnya. Benar kata orang-orang, dia mungkin gadis paling cantik di Hualeg. Namun Vilnar tidak merasakan apa pun di hatinya, tidak seperti ketika ia melihat Ailene saat pertama kali bertemu dahulu. Jadi ia tidak mempedulikannya, dan menatap Patarag kembali.

Patarag sang kepala suku memberi salam hangat. "Vilnar, senang bisa bertemu lagi denganmu. Silakan duduk."

"Tuan, senang bertemu lagi denganmu juga." Vilnar mengangguk memberi hormat, kemudian duduk di kursi yang telah disediakan di tengah ruangan, tepat di hadapan Patarag.

"Bagaimana kabar ayahmu, sudah lebih sehat?" tanya Patarag. "Aku terakhir bertemu dengannya setahun yang lalu."

"Ayahku sehat dan baik-baik saja. Terima kasih atas doa Anda."

"Maaf, aku belum memperkenalkan keluargaku. Ini putraku Federag, lalu ini istriku Freda dan ini putriku Varda. Kau belum pernah bertemu dengan mereka, tapi mungkin ayahmu sudah pernah bercerita."

Vilnar mengerti arah pembicaraan Patarag, dan menjawab dengan sopan, "Ayahku banyak bercerita tentang mereka, terutama tentang putrimu. Nanti aku akan membicarakan hal itu khusus dengan Anda, tapi sebelum itu aku ingin menyampaikan dulu tentang hal lainnya, kalau anda mengizinkan."

"Silakan," jawab Patarag.

Vilnar berkata tanpa basa-basi, "Ini tentang pertempuran yang baru saja terjadi antara pasukan kita melawan Malagar dari Logenir. Anda tidak keberatan aku mengatakannya langsung di sini?"

Patarag terdiam sesaat, kemudian membisikkan sesuatu pada istrinya. Istri dan putrinya berdiri, diikuti beberapa orang lainnya, lalu meninggalkan ruangan. Di dalam kini hanya tinggal lima orang: Vilnar, Patarag, Federag dan dua laki-laki lain.

Sudah jelas bahwa Patarag tidak ingin banyak orang tahu apa yang akan mereka bicarakan. Mungkin, memang ada sesuatu yang disembunyikan.

Patarag berkata, "Mengenai peperangan aku memang tak ingin terlalu banyak yang tahu, termasuk istri dan putriku. Di sini hanya ada tiga orang lainnya yang benar-benar terlibat langsung dalam pertempuran. Putraku Federag, adikku Aasrag dan pemimpin prajurit kami Aradril, putra Aasrag."

"Aku hargai keputusanmu, Tuan," kata Vilnar. "Maaf, kalau aku terlalu berterus terang. Anda tahu kita berhasil memenangkan perang melawan Logenir, tetapi kami kehilangan banyak orang, termasuk Kronar kakakku. Sebagai prajurit, aku paham bahwa mati di medan tempur adalah sesuatu yang bisa terjadi kapan saja. Namun, dua hal menggangguku, yang menurutku seharusnya tidak terjadi.

"Yang pertama, kenapa prajurit Andranir terlambat bergabung di pertempuran hari pertama. Kedua, kenapa prajurit Andranir mundur begitu cepat saat diserang Logenir di hari kedua, padahal prajurit kami sudah hampir sampai untuk menolong kalian. Akibatnya, pasukan kami terkepung, dan mengakibatkan banyak korban. Aku berharap bisa mendapatkan jawaban di sini."

Suasana hening selama beberapa saat.

Patarag kemudian menarik napasnya dan menjawab, "Vilnar, aku dan ayahmu lama bersahabat, lebih daripada sekadar sekutu biasa. Mengkhianati seorang sahabat tidak pernah terpikir dalam benak kami. Aku tahu kau tidak berniat meragukan kesetiaan kami, kau hanya ingin tahu kenapa semua itu bisa terjadi. Tapi, Vilnar, kita semua menyesal. Kita berharap itu tidak terjadi, tapi para dewa berkehendak lain.

"Untuk hal pertama, pasukan kami berangkat sehari lebih lambat dibanding pasukan kalian, karena informasi yang kami terima dari Vallanir juga terlambat. Selain itu perjalanan kami lebih lama karena kami memilih berjalan kaki dibanding naik perahu, sebab jika naik perahu kami akan lebih mudah diserang jika bertemu pasukan Logenir dari arah barat. Aku kira itu alasan yang bisa diterima.

"Untuk hal kedua, sepertinya ada salah komunikasi antara pihak kami dan Vallanir. Kami tidak tahu pasukan Vallanir akan datang membantu, sementara kami kalah jumlah dibanding pasukan Logenir. Pada saat itu pilihan terbaik bagi kami tentu saja adalah mundur."

"Adakah korban di pihak kalian?" tanya Vilnar.

Keempat lawan bicaranya terkejut, sepertinya mereka sama sekali tak menyangka Vilnar akan bertanya langsung seperti itu.

Federag sang putra kepala suku yang lalu berbicara, "Tidak ada. Kami semua berhasil pergi dengan selamat."

"Berarti kalian sama sekali tidak bertempur?" Suara Vilnar meninggi.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now