Bab 60 ~ Vallanir

242 91 4
                                    

Vilnar membawa istri dan anaknya mengarungi Sungai Ordelahr selama berhari-hari. Mereka menerobos hutan gelap melalui sungai yang berliku-liku.

Untungnya, walaupun suasana tampak menyeramkan dengan pohon-pohon besar dan dedaunan yang menjuntai di kiri dan kanan, sebenarnya tidak banyak binatang buas yang berdiam di dalam hutan ini.

Hanya beruang dan ular yang cukup berbahaya, itu pun jarang terlihat di sekitar sungai. Sisanya hanyalah kucing hutan, yang lebih suka bersembunyi dan beberapa jenis kera. Selama hewan-hewan itu tidak merasa terganggu, mereka tidak akan menyerang.

Sepanjang perjalanan dua buah obor dinyalakan dan diletakkan di depan serta di belakang perahu, siang maupun malam, sebagai penerangan sekaligus pengusir binatang buas, jika pada akhirnya binatang-binatang itu merasa terganggu.

Vilnar juga tetap mendayung saat malam. Ia hanya beristirahat dan tidur saat siang, kala Ailene terjaga. Sejauh ini semuanya berjalan lancar.

Vilnar tahu perjalanan berhari-hari di sungai bukan sesuatu yang ringan. Tetapi ia gembira karena Ailene ternyata menghadapinya tanpa mengeluh.

Ketika Ailene termenung, Vilnar bernyanyi untuk menggembirakan hatinya, sebaliknya ketika Vilnar terdiam karena lelah, Ailene membalasnya dengan menyanyikan lagu-lagu negeri selatan, yang jauh lebih indah. Bahkan kadang dia ikut mendayung membantu Vilnar.

Sementara ibunya menyanyi, putra mereka memandangi dengan matanya yang besar sambil tertawa-tawa.

Setelah dua minggu mereka mulai keluar dari hutan lebat. Pemandangan yang mereka temui hampir sama dengan sungai di selatan. Hijaunya pepohonan dan birunya air sungai. Bedanya hawanya jauh lebih dingin dan langitnya lebih gelap, bahkan saat siang hari.

Mereka sampai di delta sungai utama, di mana aliran sungai ke kanan akan membawa mereka ke tempat tinggal suku Vallanir, sementara yang ke kiri adalah ke tempat tinggal suku Logenir.

Vilnar menoleh dan melihat ketegangan di wajah Ailene.

Ia pun berusaha menenangkannya. "Sebentar lagi kita sampai di desaku, desa suku Vallanir. Semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu kau takutkan."

Ailene mengangguk. Tangan kanannya memeluk putranya, sementara tangan kirinya menyentuh air sungai yang mengalir di samping perahu.

"Ini dingin ... seperti es," katanya.

"Ya. Saat musim dingin sungai bahkan akan membeku sampai jauh ke dalam hutan, seperti lautan di utara. Saat itu datang, tidak ada orang yang bisa keluar masuk negeri ini. Tapi tenang saja, hal itu masih tiga bulan lagi."

"Langitnya ... apakah nanti akan semakin gelap juga?"

"Matahari akan bersinar semakin singkat. Di puncak musim dingin, matahari tidak tampak sama sekali, sehari penuh."

"Apakah hawanya akan menjadi dingin sekali?" Ailene mengerutkan tubuhnya di balik mantel dan meringkuk di ujung perahu.

Vilnar tersenyum sambil tetap mengayuh dayung. "Cukup dingin, tapi kami lahir dan besar di sini, dan hampir tak pernah ada orang yang mati karena kedinginan. Selimut tebal dan perapian di dalam rumah akan menjadi teman kita sepanjang musim dingin. Kau akan terbiasa, dan tubuh Vahnar akan semakin kuat di sini."

"Ya ..." Ailene mengangguk perlahan, masih tampak khawatir.

Vilnar menghentikan sejenak dayungannya. "Ailene, yang pasti, aku tak ingin melihat kalian menderita. Jadi, jika kulihat kalian sulit menyesuaikan diri dengan cuaca di Hualeg sepanjang musim gugur ini, maka sebelum musim dingin datang aku akan membawa kalian keluar dan pulang ke rumah kita di selatan. Itu janjiku."

"Aku tahu. Kau sudah pernah mengatakan itu sebelumnya."

Vilnar tersenyum. "Aku mengatakannya sekali lagi."

Mereka meneruskan perjalanan.

Menjelang petang mereka mendekati pemukiman penduduk. Beberapa rumah berdinding kayu terlihat tak jauh dari tepi sungai. Penghuninya tak banyak yang tampak, tetapi mereka semua telah menyalakan obor di berbagai sudut desa, membuat suhu di tempat itu jadi terasa lebih hangat, dan suasananya pun menjadi terlihat cukup terang.

"Vallanir," Vilnar berkata, lebih kepada dirinya sendiri, sambil mendayung perahunya ke dermaga.

Ia lalu menambatkan perahunya pada sebuah pasak, bersebelahan dengan banyak perahu lain yang sudah berjajar di sana.

Ia menuntun istrinya menginjakkan kaki di tanah Hualeg.

Beberapa penduduk desa mengamati kedatangan mereka. Awalnya orang-orang itu belum mengenali Vilnar, tetapi begitu bisa melihat wajahnya dari dekat mereka mengangguk hormat, tanpa berkata-kata sedikit pun.

Kabar kedatangan Vilnar menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru desa, dan akhirnya mengundang kedatangan banyak penduduk yang lain. Berbondong-bondong mereka keluar dari rumah kemudian berdatangan ke dermaga. Beberapa prajurit juga tampak.

Namun sejauh ini mereka semua tidak banyak berkata-kata, seakan-akan mereka keluar menemui Vilnar hanya karena ingin menunjukkan penghormatan, selain rasa ingin tahu mereka.

Vilnar berjalan menerobos kerumunan penduduk yang berkumpul hampir di sepanjang jalan, diikuti oleh Ailene yang memeluk Vahnar erat-erat di dadanya. Mantel kulit istrinya, yang tebal dan berlapis-lapis sampai menutupi kepala, membuat wajah Ailene tak terlihat dan sulit untuk dikenali.

Mereka berjalan menuju sebuah rumah yang paling besar di tengah desa.

Rumah itu bertingkat dua. Jika dilihat dari jauh akan terlihat bentuknya yang kotak simetris dan memanjang ke belakang. Lantai dasarnya lebih tinggi dibanding halaman dan semua bangunan di sekitarnya, serta dihubungkan dengan sederet anak tangga. Atap kayunya dari kiri dan kanan bersilangan di puncak rumah. Pintu depannya yang besar terbuka lebar, dan sebuah kepala rusa kutub bertanduk yang telah diawetkan tergantung di atasnya.

Dua orang pengawal berdiri di samping anak tangga paling bawah. Ekspresi wajah mereka campuran antara waspada dan gembira.

"Salam. Aku Vilnar. Aku ingin menemui ayahku."

"Kepala suku sudah menunggu, Tuanku. Silakan masuk."

Vilnar mengangguk. Ia mengerti, setelah mendayung berhari-berhari di sungai, para pengamat pasti sudah melihatnya sejak ia masih berada di dalam hutam kemudian memberitahukan soal kedatangannya ini kepada ayahnya. Mudah-mudahan mereka semua akan menyambutnya dengan baik.

Vilnar menarik napas lambat-lambat, lalu berjalan menaiki anak tangga, diikuti oleh Ailene di belakangnya. Ketika mereka sampai di beranda terlihatlah bahwa ternyata rumah itu sudah dipenuhi oleh lebih dari dua puluh orang. Laki-laki maupun wanita, para tetua desa dan juga keluarganya.

Orang-orang itu memberi jalan saat Vilnar berjalan memasuki ruangan, sehingga ia dapat melihat dengan jelas sampai ke ujung.

Di ujung ruangan terdapat sebuah kursi besar, yang terletak di lantai yang lebih tinggi dibandingkan lantai di sekitarnya. Seorang laki-laki tua duduk di sana. Tubuhnya besar, sisa-sisa kegagahannya di masa lalu, tetapi kini sudah tampak ringkih. Dialah Radnar kepala suku Vallanir, ayah Vilnar.

Di samping kanan sang kepala suku berdiri putra sulungnya Kronar, yang bertubuh paling besar di ruangan itu. Sementara di samping kiri Radnar berdiri dua orang pemuda lainnya, yang walaupun juga terlihat besar, tetapi tubuh mereka masih lebih kecil dibandingkan dengan Vilnar. Mereka adalah kakak Vilnar yang kedua dan ketiga: Tarnar dan Erenar.

Northmen SagaOnde as histórias ganham vida. Descobre agora