Bab 85 ~ Suara Bisikan

210 82 1
                                    

Tengah malam William terbangun, dan merasakan sesuatu yang hangat merapat di samping kirinya.

Napasnya tertahan, begitu ia sadar bahwa sesuatu itu ternyata tubuh Vida yang sedang tertidur nyenyak, memunggunginya dengan jarak yang sangat rapat. Awalnya William terpikir untuk bergeser menjauh, supaya nanti gadis itu tidak merasa malu jika seandainya dia bangun.

Namun kemudian ia mengurungkan niat, karena ... ya, kenapa ia harus menjauh? 

Terus terang saja, situasi ini membuatnya senang. 

Maksudnya, hangat. 

Lagi pula, Vida berada dekat begini, pasti karena dia yang ingin menghangatkan diri, bukan William yang minta. 

Dan terus memangnya kenapa? Toh mereka tidak berbuat apa-apa. 

Toh ... tidak ada orang lain yang melihat. 

Jadi William pun membiarkannya. Lalu berusaha tidur lagi.

Agak sulit. Jika ada seorang gadis tidur begitu dekat seperti itu.

Akhirnya William membuka mata lagi, dan kini memperhatikan ruangan di sekelilingnya. Semua lilin sudah mati. Sepertinya Vida sengaja mematikan semuanya, mungkin karena tidak ingin menghabiskannya. Akibatnya, ruangan jadi terasa agak lebih dingin. 

Tapi, apa dinginnya sampai membuat Vida benar-benar menggigil sehingga merasa perlu tidur merapat begini? Mestinya tidak, karena William sendiri tidak merasa kedinginan. Padahal ia orang selatan yang mestinya tidak lebih tahan dingin dibanding orang utara seperti Vida.

Dan bukankah seharusnya, seperti kata Vida, dia akan membangunkan William supaya bisa gantian berjaga? Kenapa dia tidak melakukannya? Sejauh yang William tahu, gadis itu selalu melakukan apa yang dia ucapkan. 

Apa menurut Vida sekarang mereka tidak perlu lagi berjaga karena memang tidak ada bahaya di sini? Atau karena dia memang sudah lelah, dan merasa tidak enak jika membangunkan William yang tengah tertidur lelap? 

Ya, ada banyak kemungkinan. Pada akhirnya toh Vida manusia biasa. Gadis biasa. Jadi ...

Sebentar. Bau apa itu?

William mencium bau harum di udara. Ia yakin saat sebelum tidur tadi ia tidak mencium bau semacam itu. Apakah ada kotak ramuan yang bocor, dan membuat aromanya menyebar sampai ke seluruh ruangan?

Aromanya cukup tajam.

Lalu ... suara apa itu?

Awalnya tidak jelas, tetapi begitu William memilah-milah berbagai suara tipis yang muncul di antara keheningan malam, kemudian menyingkirkan suara-suara lain yang tidak perlu, ia mampu mendengarkan suara-suara bisikan di luar sana.

"Ada berapa orang?" kata seseorang.

"Dua," kata yang lain. "Sudah tertidur lelap seperti bayi."

"Gadis itu?"

"Ya, dan seorang lagi, entah siapa. Kapan lagi ada kesempatan begini?"

"Pintunya?"

"Hanya dipalang biasa. Gampang, bisa kita angkat dari luar."

"Baik, beri tahu semuanya supaya bersiap."

Seluruh tubuh William menegang.

Bangsat. Siapa orang-orang itu?

Mau apa mereka? Menyerang masuk?

Perlahan tangan William bergeser, memegang gagang pedang di samping kanannya. Ia tidak langsung bangun, karena yakin orang-orang itu tengah mengintip dari luar rumah. Lebih baik ia menunggu mereka masuk, dan balik mengejutkan mereka.

Mudah-mudahan ini pilihan yang benar. Jika tidak, ia bakalan mati.

Tapi, bagaimana dengan Vida? Apa sebaiknya dia dibangunkan?

Suara langkah kaki lembut terdengar di depan pintu. Ruangan di dalam rumah cukup gelap, tetapi William bisa melihat palang kecil di depan pintu terangkat naik, mungkin ditarik dengan menggunakan kawat melalui sela-sela pintu. Palang itu kemudian jatuh dengan suara berdebam.

Namun orang-orang itu tampaknya tidak peduli, mungkin karena menganggap Vida dan William sudah tertidur lelap. Jangan-jangan bau harum tadi adalah semacam ramuan yang bisa membuat penghirupnya kehilangan kesadaran! Itulah kenapa orang-orang itu tidak takut palangnya jatuh.

Anehnya, atau untungnya, William berhasil lolos dari pengaruh ramuan itu, entah bagaimana.

Pelan-pelan pintu depan terbuka, membawa hawa dingin masuk ke dalam rumah. Posisi tidur William lurus dengan kedua kaki mengarah ke pintu itu, jadi ia bisa melirik ke bawah, melihat siapa yang datang. Ada dua laki-laki. Satu orang membawa pedang di tangan kanan, satunya lagi membawa gulungan tali.

Dari pembicaraan orang-orang itu tadi sepertinya mereka mengenal Vida. Gadis itulah yang menjadi incaran mereka. Apa berarti mereka orang-orang Logenir yang hendak menjadikan Vida sebagai tawanan?

Apa pun itu, mereka mencari mati.

Kedua orang itu masuk, pelan-pelan melewati meja pendek di dekat pintu. Di belakang mereka tampak nyala obor yang dibawa oleh orang ketiga.

"Ikat gadis itu. Bunuh yang lainnya."

Oke, itu cukup.

William menggenggam erat pedangnya, kemudian bangkit dan langsung menghunjamkan ujung pedangnya tepat ke arah orang pertama yang membawa pedang. Orang itu terkejut bukan kepalang, tak mampu bereaksi sama sekali dan hanya bisa melihat pedang menembus perutnya. Pedang di tangannya langsung lepas. Sementara orang kedua di sampingnya, yang membawa tali, menjerit kencang memecah keheningan malam.

William mencabut pedangnya dari perut orang pertama, kemudian tanpa basa-basi mengayunkannya ke samping untuk membelah perut si orang kedua. William melompat berdiri, bersamaan dengan tumbangnya kedua orang itu di kiri dan kanannya. Orang ketiga di depan pintu tampak panik. Dia melepaskan obornya ke lantai kayu, berusaha menarik pedang dari samping pinggangnya, tapi William terlalu cepat baginya. Ia melompati meja pendek, lalu menusukkan pedangnya tepat ke leher musuhnya. Orang itu rontok.

Teriakan-teriakan lain terdengar. William menggeram.

Ada berapa banyak musuh lainnya di luar sana? Apa sebaiknya ia menunggu mereka semua datang kemari?

Tidak, itu pilihan yang buruk. Rumah ini tempat bertahan yang buruk.

Ia berbalik, berjongkok, berusaha membangunkan Vida. "Vida! Vida!"

Maaf, katanya dalam hati, sebelum kemudian ia menampar pipi gadis itu.

Gadis itu menggeliat, tetapi matanya tetap terpejam, lalu melanjutkan tidurnya. Segera William meraih botol minuman dari atas meja. Untung masih ada isinya. Ia segera menuangkannya ke wajah Vida.

Kali ini, begitu merasakan air di wajahnya, gadis itu pun gelagapan. Mulutnya terbuka, begitu pula matanya. Dia tampak kaget dan panik, tetapi kemudian meringis seraya memegangi kepala dengan kedua tangannya.

"Apaa ...? Aaarrggh! Kepalaku ..."

"Vida!" William mengguncang bahu gadis itu, berusaha menyadarkannya, karena sepertinya dia mau tidur lagi. "Ada yang mau membunuh kita!"

Vida membuka matanya lebih lebar, tapi masih tampak kesakitan.

"Kita harus keluar! Rumahnya mau terbakar!" William memandangi api obor yang kini mulai membakar dinding dan lantai kayu. "Ayo! Bergerak!"

Tidak sabar, ia mengangkat tubuh gadis itu, bermaksud memapahnya.

Vida membiarkan William menariknya, tapi tetap berusaha berdiri sendiri. Tidak berhasil, karena ia hampir roboh lagi.

William cepat-cepat memeluknya.

"Oke ..." kata gadis itu tersengal. "Sebentar. Mereka ... ada berapa?"

"Tidak tahu! Pokoknya—" Belum sempat William melanjutkan, ia melihat bayangan seseorang di luar rumah. Mereka sudah datang.

Buru-buru ia melepaskan Vida, kemudian lari ke luar rumah. Begitu sebuah pedang mendekati lehernya William menunduk, lalu berputar mengayunkan pedangnya. 

Musuhnya terkejut, mundur satu langkah.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now