Bab 10 ~ Ajakan Rogas

452 132 2
                                    

Untuk tidak membuat Muriel semakin bertambah kesal William memberi senyuman terlebih dulu pada gadis itu, sebelum berkata lagi pada Rogas, "Hei, sebaiknya kita bicara di luar saja, supaya tidak perlu teriak-teriak."

Pemuda itu mengajak Rogas keluar lalu berjalan menjauh dari bengkel.

Di tengah halaman, setelah berada cukup jauh dari pintu bengkel dan tidak berisik lagi, William berkata, "Ada orang yang mencarimu."

Rogas mengerutkan dahi begitu mendengarnya. 

Bahkan tidak hanya itu ekspresinya. Laki-laki itu memiliki ciri khas. Dia memiliki raut wajah ekspresif yang bisa berubah-ubah secara drastis. Kadang-kadang ceria, dan kalau sedang tertawa garis matanya melengkung seolah tertawa. Namun kalau sedang marah atau kesal, wajah itu bisa berubah menyeramkan dengan emosi yang seolah ingin meledak. Hal terakhir ini biasanya cukup sering terjadi kalau dia sedang mabuk. 

Tadi, waktu dia mengucapkan duka cita, kesedihannya tampak tulus, hampir seperti anak kecil. Kini, ketika William memberitahunya kalau ada seseorang yang mencari dirinya, wajah Rogas berubah menjadi curiga. Matanya menusuk tajam, senyumannya berubah masam.

"Siapa?" tanya laki-laki itu.

"Mornitz, orang yang kemarin memesan pedang di sini. Dia mencari prajurit bayaran untuk membantunya menangkap penjahat. Dia mencari orang yang pandai menggunakan pedang."

Ekspresi curiga di wajah Rogas berganti dengan rasa ingin tahu. "Memangnya dia mau bayar berapa?"

"Sepertinya besar. Dia kemarin memberiku dua keping sazet, dan akan memberi lagi tiga keping jika kau bersedia ikut dengannya," William menjawab dengan jujur. 

Sesaat kemudian ia bertanya-tanya sendiri, kenapa ia harus begitu jujur dengan mengatakan hal ini pada Rogas? Mestinya Rogas tak perlu tahu soal dua dan tiga keping ini, 'kan?

"Dia bilang apa lagi?" tanya Rogas.

"Kalau tertarik, kau harus menemuinya di Kedai Horsling malam ini."

"Hmm. Kapan dia meminta ini?"

"Dua hari yang lalu."

"Kenapa dia tidak langsung minta bertemu di hari yang sama?"

"Mungkin dia pergi dulu entah ke mana. Mana aku tahu?"

Rogas menggaruk-garuk dagunya. Matanya menatap William tanpa berkedip. 

"Boleh dicoba. Kalau tawarannya menarik, akan kuambil. Kalau tidak, aku kembali ke Alton dan bergabung lagi dengan pasukan kerajaan."

"Hmm ... ya, semoga sukses."

Alis Rogas terangkat, matanya menatap heran. "Kau tidak mau ikut ke kota? Bukannya dia akan memberimu uang lagi?"

William termangu ragu, lalu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Terus terang, awalnya aku bahkan tertarik ingin ikut jadi prajurit bayaran, tapi sekarang kurasa tidak lagi. Kau saja yang pergi."

"Hei, kalau menurutku justru sebaiknya kau tetap pergi. Paling tidak kau ikut denganku sampai ke Kedai Horsling, lalu menerima uang itu darinya. Setelah itu kau bisa pulang kalau kau mau. Bagaimana? Ayolah. Lumayan, kan? Kau bisa dapat tiga keping untuk sedikit bersenang-senang!"

William termenung. Ya, itu betul juga, pikirnya. Tak ada ruginya sekadar datang ke Kedai Horsling. Ia cukup mendapatkan uang itu, lalu pulang, tidak usah ikut pergi bersama mereka. Toh yang penting uangnya.

Akhirnya ia mengangguk. "Boleh juga ..."

"Bagus. Jika berangkat sekarang, kita bisa sampai di kedai tak lama setelah matahari terbenam." 

Rogas menepuk bahu William sambil tersenyum lebar. "Hei, aku beri tahu ya, jika seseorang sedang berada di saat-saatnya yang paling sedih, itulah justru waktu yang paling tepat juga untuk melepaskan sedikit beban dan coba bersenang-senang. Ikutlah denganku, kita bersantai sebentar di sana. Kau akan merasa lebih baik nanti, percayalah."

Orang dengan reputasi seperti Rogas bisa-bisanya memberi nasihat? 

William menatapnya curiga. "Kau mau mengajakku berjudi, ya?"

Rogas tertawa. "Kau tahu aku bisa membantumu mendapat keuntungan. Aku ahlinya. Tapi kalau kau tidak mau, ya tidak usah. Kita minum-minum saja. Bagaimana? Kudengar di sana minumannya lumayan enak, kau tahu?"

"Tidak tahu. Aku cuma tahu tempatnya, tapi belum pernah masuk."

"Nah, sekarang waktunya untuk tahu."

William belum menjawab. Tiba-tiba ia kembali ragu. Apakah memang sebaiknya ia pergi? 

Mestinya tidak masalah, kan? Bahkan minum-minum sedikit mestinya juga bukan masalah. Toh tidak ada yang dirugikan.

Akhirnya ia pun berkata, "Aku bilang dulu ke Muriel."

"Hah? Menurutku sih kau tidak perlu bilang. Memangnya dia itu ibu—" Rogas menahan ucapannya begitu menyadari sesuatu, kemudian menggerutu pelan. "Tapi terserah. Cepat, jangan terlalu lama. Kita harus segera pergi supaya tidak sampai di sana terlalu malam."

William berjalan ke dalam bengkel. Ia baru menyadari, bahwa sejak tadi suara dentangan logam yang dibuat Muriel ternyata sudah lama berhenti. Gadis itu kini sedang melepaskan sarung tangannya sambil merengut.

William membalasnya dengan cengiran lebar. "Sudah beres semua? Bukannya baru sebentar?" 

Tanpa merasa bersalah ia menghampiri gadis itu lalu memperhatikan lempengan besi panjang yang baru ditempa. "Ya, tinggal sedikit lagi, bagian ini kurang tipis. Biar nanti aku selesaikan."

"Mau apa dia kemari?" tanya Muriel ketus.

William memandanginya beberapa saat, lalu cepat-cepat meminta maaf, "Mmm ... maaf, aku meninggalkanmu bekerja tadi."

"Bukan itu masalahnya. Aku tidak suka dia. Ayah juga tidak. Ayah bilang, dia membawa pengaruh buruk buat kita. Buatmu."

"Aku baik-baik saja," tukas William sedikit kesal. 

Ia ingin bilang pada Muriel bahwa ayahnya mungkin terlalu jelek menilai Rogas, tetapi lalu mengurungkan niatnya. "Tuan Mornitz ingin bertemu dengannya. Rogas setuju menemuinya di Kedai Horsling. Kami berdua. Aku akan ikut ke sana."

"Itu kedai di utara kota, kan?" Muriel kaget. "Bukannya itu tempat buat orang-orang dewasa? Kalau ada ayahku, ia takkan memberimu izin!"

"Aku 'kan sudah dewasa juga. Aku bebas pergi ke mana pun aku mau," William membalas. "Ayahmu tahu itu. Dia malah bilang sebaiknya aku coba bersenang-senang di luar daripada terus bekerja di bengkel. Ya yang seperti ini contohnya."

Muriel langsung merengut lagi, antara percaya dan tidak percaya.

"Tenang saja, tidak akan ada apa-apa," lanjut William. "Teman-temanmu juga biasanya banyak yang pergi malam-malam, bahkan jauh sampai ke Prutton. Bisa jadi aku malah akan bertemu temanmu juga di kota."

"Kalau begitu aku ikut."

William ternganga. "Kamu? Ikut? Buat apa?"

"Untuk menjagamu supaya tidak berbuat yang bodoh-bodoh!"

"Nah, ini yang bodoh. Aku tak perlu kamu buat menjagaku!"

"Pokoknya aku ikut!" seru Muriel, justru tambah ngotot.

"Kamu serius?"

"Ya!"

"Tapi ... Hah, terserahlah." William mengangkat bahu. "Asal kamu juga tidak berbuat sesuatu yang bodoh." 

Dalam hati ia menyesal. Mungkin mestinya tadi ia tidak melarang Muriel terlalu keras. Gadis itu kalau dilarang justru malah akan semakin menantang. "Kalau ada ayahmu, ia takkan memberimu izin."

Muriel menjulurkan lidahnya mengejek. "Kan aku sudah besar juga. Jadi Kakak juga tidak perlu khawatir."

"Oh ya? Aku tidak percaya," William menggerutu. "Kamu masih kecil, dan sekarang aku harus menjagamu!"

Northmen SagaWhere stories live. Discover now