Bab 74 ~ Doa

208 82 6
                                    

Hari demi hari berlalu. Siang dan malam Vilnar mendayung tanpa henti menyusuri Sungai Ordelahr menembus gelapnya rimba.

Sekarang sudah lewat pertengahan musim gugur, jadi ia dan Ailene harus secepatnya menyeberangi hutan sampai ke selatan sebelum cuaca semakin buruk dan permukaan sungai berubah menjadi es.

Untungnya sejauh ini tidak ada halangan berarti. Mereka sudah cukup jauh memasuki hutan dan kelihatannya perjalanan akan lancar sampai ke tujuan. Mereka bahkan sudah mulai lega dan bisa bercanda.

Namun di hari ketujuh Vilnar menghentikan dayungannya dan menatap Ailene, tegang. Ia berkata lirih, "Ada yang mengikuti kita."

"Siapa?" Ailene menoleh ke belakang.

Ailene tak akan bisa melihat apa-apa, tetapi mungkin bisa mendengar suara sayup-sayup beberapa orang yang terdengar di kejauhan.

"Mungkin orang-orang dari sukuku," jawab Vilnar. "Sepertinya, begitu sadar kita menghilang, esoknya mereka langsung mengejar."

"Tapi, kenapa?" tanya Ailene ketakutan. "Kenapa masih mengejar kita?"

"Mungkin ... sebenarnya mereka tidak bermaksud apa-apa." Vilnar bingung harus menjawab apa. "Tapi sebaiknya kita melakukan sesuatu."

Vilnar mendayung membawa perahunya ke tepi sungai. Ia tidak ingin memberitahu lebih banyak kepada Ailene tentang siapa yang datang, tapi ia tahu kalau para pengejarnya pastilah orang-orang dari sukunya sendiri dan mungkin salah seorang kakaknya, Tarnar atau Erenar, ada di antara mereka.

Berdasarkan pengalamannya Vilnar bahkan yakin jumlah perahu yang mengejar ada lebih dari dua perahu besar, yang berarti jumlah prajurit di dalamnya ada lebih dari dua puluh orang. Dengan jumlah pasukan sebesar itu, sudah pasti mereka bermaksud mencelakai ia dan keluarganya.

Jadi rupanya beginilah, akhir yang harus terjadi antara Vilnar dan sukunya sendiri. Ia menggeleng-geleng kecewa, bibirnya bergetar dan giginya bergemeretak menahan emosi. Mencoba mencari jawaban,

Beginikah takdir yang ditentukan oleh para dewa?

Setelah semua usaha yang ia lakukan sejauh ini?

Ya, sepertinya begitu. Vilnar bisa merasakannya.

Dan jika memang seperti ini, maka ia harus siap.

Kini ia harus membuat keputusannya yang terakhir. Yang terpenting dari semuanya. Bahwa dari semua ini, ternyata bukan dirinya yang terpenting.

Ada yang lebih penting dari dirinya di sini.

Dan untuk merekalah dia ada di sini.

Ailene bisa melihat perubahan di raut wajah Vilnar. Dari gelisah, sedih, kecewa, hingga akhirnya kembali tenang dan yakin.

Ailene menggeleng, tampaknya masih belum percaya apa yang terjadi. Kali ini sepertinya ia tahu apa yang dipikirkan oleh Vilnar, tetapi ia masih tetap diam, menunggu apa yang akan dikatakan oleh Vilnar.

Ketika kemudian Vilnar menatapnya dengan mata berair tetapi sambil tersenyum, barulah Ailene menangis bahkan sebelum Vilnar berkata-kata.

Di sekeliling mereka alam seolah ikut bersedih.

Di pucuk-pucuk pepohonan, burung-burung tak lagi bernyanyi. Dalam hening hanya tiupan angin dingin dan rintihan dahan pohon yang bisa terdengar bersama gemercik aliran sungai.

Vilnar berusaha menahan perasaannya, "Ailene, dengar, aku mau kau pergi lebih dulu bersama Vahnar ke selatan. Mendayunglah sekuat dan secepat yang kau bisa. Aku akan tinggal di sini untuk mengetahui apa yang mereka inginkan. Aku akan menahan mereka supaya kalian bisa pergi dengan tenang. Jangan tunggu aku. Jika semua baik-baik saja, aku akan segera menyusulmu. Ingatlah, apa pun yang terjadi, jangan pernah menengok ke belakang. Yang telah terjadi, memang harus terjadi. Tak ada yang perlu disesali. Hidup masih terbentang luas di depanmu, di depan putra kita. Kau bisa mengerti?"

Ailene terisak. "Tapi ... mengapa harus begini jadinya?"

"Mengapa, katamu?" Vilnar menggeleng dan berkata lebih keras. "Jangan lagi kau pikirkan! Tak ada sesal, Ailene. Ingat, tak ada sesal. Mengerti?"

Ailene menggeleng masih sambil menangis, tapi sepertinya ia mengerti harus menjawab apa. "Aku mengerti."

Vilnar mencium bibir istrinya sepenuh hati, melepaskan semua emosinya, kemudian bergegas meraih kapak perangnya dan meloncat turun ke sungai.

"Aku mencintaimu, Ailene. Jaga dirimu." Sekuat tenaga Vilnar mendorong perahu yang ditumpangi istri dan anaknya ke tengah sungai.

Melihat istrinya masih menangis dan belum juga mendayung, ia berseru, "Dayung, Ailene! Dayung! Ingat semua kata-kataku! Jika Odaran dan Tuhanmu mengijinkan, kita akan bertemu lagi."

"Aku mencintaimu. Aku akan menunggumu." Ailene berusaha menghentikan tangisnya dan mulai mendayung ke arah selatan.

Perlahan-lahan perahunya bergerak menjauh.

Vilnar mengamatinya terus sampai perahu itu benar-benar menghilang dari pandangan. Ia berkata lirih, "Pergilah, Ailene. Hiduplah! Jangan menoleh ke belakang. Relakan aku di sini, maka aku akan kuat merelakanmu pergi."

Ia menangis dalam hati. Jika memang kekhawatirannya terbukti, bisa jadi ini adalah saat terakhir ia melihat istri dan anaknya.

Saat itulah, barulah ia teringat bahwa tadi ia belum sempat mencium anaknya untuk yang terakhir kali.

Ia menyesal, dan tiba-tiba ingin mengejar mereka lagi.

Namun ia segera mengurungkan niat dan menguatkan dirinya kembali. Para pengejar sudah semakin dekat. Istri dan anaknya harus pergi secepat mungkin, Vilnar tak boleh memperlambat keduanya. Ia kini hanya bisa berdoa dan mengucapkan selamat tinggal dalam hati kepada anaknya.

"Wahai Odaran yang perkasa, hanya ini yang bisa kuminta darimu. Lindungilah istri dan anakku. Beri mereka kehidupan yang indah dan damai. Jadikan anakku kebanggaan dan cahaya bagi ibunya. Jadikan ia laki-laki yang lebih kuat, lebih bijak dan lebih baik daripada aku. Jangan biarkan ia menoleh ke belakang dan melihat apa yang terjadi pada ayahnya di sini. Seluruh urusan ayahnya akan aku selesaikan saat ini juga, dan tak perlu ia ungkit-ungkit lagi nanti. Jangan biarkan ia kembali kemari dan mendapat kepedihan yang sama seperti yang dialami orang tuanya. Wahai Odaran, sampaikan ucapan selamat tinggalku pada istri dan anakku. Buatlah mereka mendengar kata-kataku. Jika kau tak bisa menyampaikannya, sampaikan melalui Tuhan istriku. Dan aku akan menghadapmu dengan tenang."

Vilnar bahkan tak berdoa untuk dirinya sendiri.

Setelah berdoa ia merasa lebih baik. Ia kini siap menghadapi kemungkinan apa pun. Ayahnya pernah berkata bahwa cinta pada istri dan anaknya akan menjadi kekuatannya yang terbesar, bukan kelemahannya.

Kini Vilnar akan membuktikannya.

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang