Bab 92 ~ Mencoba Lolos

214 76 3
                                    

William memperhatikan sungai yang terletak sekitar dua puluh meter dari tempat persembunyian rakit-rakit itu. "Sepertinya sungainya aman. Sejak tadi kita tidak melihat ada orang-orang Logenir, kan?"

Vida menggeleng. "Aman saat ini, belum tentu nanti. Perginya orang-orang Logenir berarti kemungkinan besar orang-orang Vallanir sudah dekat. Kita bisa terlihat saat terang begini, jadi lebih baik kita bersembunyi di sini sampai petang, setelah itu baru kita mendayung."

William mengangguk setuju. Sepertinya memang lebih aman bergerak saat malam. Keduanya bersembunyi lagi di rongga gua kecil tempat penyimpanan rakit. Tempat itu memang kalah nyaman dibanding gua mereka sebelumnya di balik air terjun, tetapi tidak masalah, karena toh hanya untuk beristirahat sebentar.

Setelah tidur sekitar satu atau dua jam, begitu matahari terbenam mereka bergerak lagi. Keduanya menyeret rakit ke sungai, dan langsung mendayung ke utara.

William dan Vida mendayung dengan cepat tetapi tetap berhati-hati. Tak ada orang lain yang terlihat sejauh ini, termasuk ketika keduanya melewati tepian sungai tempat dua hari lalu mereka mendarat. Vida mengarahkan rakitnya ke sisi kanan sungai, di mana pohon-pohonnya rimbun dan daun-daunnya menjuntai ke bawah. Rakit bergerak maju, tetapi tersembunyi di bawah dedaunan itu.

"Sebentar lagi kita sampai di Vallanir," kata Vida. "Desanya nanti di sebelah kiri sungai, sementara sungainya lebarnya tiga puluh meter. Dalam gelap kita tidak akan terlihat jika tetap bergerak melalui sisi kanan."

William tidak yakin. Ia punya perasaan bahwa keberuntungan mereka lama-lama akan habis. Pada akhirnya mereka akan ketahuan. Jauh di depannya titik-titik cahaya berwarna jingga mulai tampak. Desa itu sudah dekat.

Tanpa disangka, suara teriakan terdengar justru dari arah belakang.

"Vidaaa! Williaaam!"

Vida yang duduk di depan menoleh ke belakang, kaget. William dan gadis itu melihat melalui sela-sela dedaunan yang menjuntai. Di kejauhan tampak sebuah perahu yang di ujungnya dipasang obor. Dalam kegelapan malam belum kelihatan berapa orang kira-kira yang ada di dalam perahu tersebut. Namun jelas, Freya pasti ada di sana. Itu suaranya tadi.

William dan Vida menoleh, saling menatap.

"Freya ... bisa melihat kita dari sana?" tanya William tak percaya. "Apa ini termasuk salah satu kemampuan melihatnya yang aneh itu?"

"Tidak." Vida menggeleng. "Mungkin kita yang kurang hati-hati ..."

"Jadi, bagaimana sekarang?"

Gadis itu tercenung, lalu menjawab pelan, "Kita keluar. Bagaimana lagi?"

"Kita ngebut saja terus ke utara. Kita pura-pura tidak mendengar."

"Jangan bercanda."

"Vida ..."

"Kita keluar, William. Tak ada lagi yang bisa kita lakukan."

"Apa maksudmu tidak ada? Kamu lupa semua rencana kita?"

"Aku tidak lupa! Kita keluar, menemui mereka, dan lakukan yang terbaik. Kumohon, William, jangan bertindak gegabah atau melakukan sesuatu yang akan membuat mereka curiga. Nanti kamu malah akan memperburuk keadaan. Ikuti saja aku. Masih ada cara lain yang bisa kita lakukan."

William menarik napas, mencoba untuk kembali tenang.

Terus terang saja, ini situasi yang membuatnya sangat gelisah. Sebentar lagi ia akan pergi ke desa orang-orang Hualeg, dan setelah itu akan disuruh menikah dengan Freya. Jika menolak, ia bisa dihukum, di tengah-tengah orang asing yang tidak dikenalnya. Gawat.

Namun, seperti kata Vida, mungkin saja nanti akan baik-baik saja. William tinggal balik lagi ke rencananya yang paling awal; membela diri dan berkata jujur apa adanya. Jika memang nanti ia disuruh menikahi Freya, ia bisa bilang pada mereka, bahwa ia sudah lebih dulu jatuh hati pada Vida dan gadis itulah yang ingin ia nikahi. Ini justru kesempatan emas. Toh seperti halnya Freya, Vida juga anak kepala suku. Bahkan Vida adalah sang kakak, seharusnya posisinya lebih tinggi. William melepaskan seluruh ketegangannya.

Mereka membawa rakit keluar dari balik rimbun pepohonan, menunggu kedatangan Freya. Napas William tertahan, begitu menyadari bahwa di belakang perahu Freya ternyata ada empat perahu lainnya. Jika dijumlahkan orang-orang di dalamnya, seluruhnya berarti lima puluh orang.

William heran. Bagaimana semua orang itu tadi bisa tidak terlihat? Apakah berarti pasukan ini baru datang dari selatan?

"Haiiii!" Senyuman Freya terkembang lebar begitu ia datang.

Vida berdiri di rakitnya. William mengikutinya. Keduanya lalu pindah naik ke perahu Freya. Sementara rakit yang tadi mereka naiki kemudian dibawa oleh prajurit lain.

"Dari mana kalian?" tanya Vida.

William memperhatikan, gaya gadis itu kini sudah kembali seperti dirinya yang semula, yang tegas tetapi sedikit kaku. William tentu saja lebih suka gaya Vida ketika masih bersamanya di dalam gua, yang walaupun kadang galak tetapi banyak bermanja-manja. Ya, tapi William berharap apa? Itu tidak mungkin lagi.

"Kami seharian mengejar orang-orang Logenir," jawab Freya.

Dari kata-katanya, berarti saat William dan Vida tadi siang sampai di tempat penyimpanan rakit, rombongan Freya sudah lebih dulu melewati sungai dan sedang menuju ke selatan untuk mengejar musuh. Pantas saja mereka tadi tidak terlihat.

"Mereka berhasil lolos, jadi kami lalu cepat-cepat kembali ke utara. Perasaanku mengatakan aku akan menemukan kalian malam ini, dan ternyata benar." Freya memandangi William dan Vida bergantian.

"Kamu tahu apa yang terjadi pada kami?" tanya Vida.

"Kami sampai di tempat Helga kemarin sore. Rumahnya sudah terbakar, dan kami menemukan dua mayat. Kami sempat takut kalau itu kalian, tapi ternyata mereka orang Logenir, dan pasti kalian yang membunuhnya. Sampai malam kami mencari kalian ke mana-mana, aku yakin pasti kalian selamat dan bersembunyi di suatu tempat. Lalu pagi tadi prajurit kita melihat belasan orang Logenir turun dari hutan menuju sungai, mencoba kabur dengan memakai dua perahu. Kami mengejar mereka. Sayangnya mereka terlalu cepat. Setelah mengejar cukup jauh, menjelang sore kami memutuskan berhenti, daripada kami nanti terlalu dekat dengan wilayah suku Logenir dan terjebak di sana. Kami mendayung lagi sampai malam, sampai akhirnya menemukan kalian."

Freya tersenyum, memperhatikan William dan Vida lebih dalam. "Kalian tidak apa-apa? Kalian sembunyi di mana selama ini?"

"Di hutan," jawab Vida singkat, dan langsung mengalihkan pembicaraan ke soal lain. "Kami tidak apa-apa. Aku justru lebih memikirkan Helga. Saat kami datang dia tidak ada di rumah. Terus ada para bajingan Logenir ini. Aku takut mereka menangkapnya."

"Helga baik-baik saja. Dia ada di Vallanir."

Vida kaget. "Dia ada di desa?"

"Ya," sahut Freya. "Tidak biasanya, bukan? Ketika dua hari lalu aku datang ke desa untuk mengumpulkan orang, seseorang bilang kalau Helga baru datang juga. Aku sendiri belum menemuinya, tapi katanya dia baik-baik saja."

"Ah, itu bagus." Vida mengangguk-angguk gembira. "Mungkin dia sudah menyadari kalau orang-orang Logenir hendak mendatanginya, sehingga pergi lebih dulu." Ia menoleh ke arah William. "Biar dia memeriksamu besok."

"Terserah," William mengangkat bahunya sambil menggerutu.

"Ya, kita ke Helga besok." Freya meringis. "Tapi malam ini kita bertemu Ayah dulu. Sudah malam memang, tapi dia pasti masih bangun. Kamu akan menyukai ayahku," katanya pada William. "Aku yakin, ia juga pasti menyukaimu."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now