Bab 62 ~ Ayah dan Anak

255 87 1
                                    

Di tengah semua orang yang kini memperhatikannya Vilnar tahu ia harus berhati-hati. Ia tidak boleh berkata-kata atau bertindak ceroboh, sekaligus juga ia tidak boleh terlambat menilai situasi.

Ia sudah terlalu lama meninggalkan negerinya. Kini ia harus mempelajari dengan cepat, siapa orang-orang yang masih bisa ia percayai dan siapa yang berpotensi untuk mencelakainya.

Radnar berkata pelan di sampingnya, membuyarkan pikiran Vilnar, "Vilnar, biarlah Tilda mengantar istri dan anakmu ke kamar kalian. Biar mereka berdua beristirahat. Sementara itu aku ingin bicara denganmu."

Vilnar menoleh ke arah wanita berambut kuning yang tersenyum di dekatnya. Tilda adalah istri Kronar, dan sudah dikenal oleh Vilnar sejak kecil. Sejak dulu dia orang yang baik dan bisa dipercaya, jadi mestinya Vilnar tidak perlu merasa khawatir.

Ailene dan putranya lalu diantar oleh Tilda. Kamar mereka terletak di lantai dua rumah besar itu. Ada empat kamar lainnya di atas: kamar Radnar dan tiga kamar lain yang dulu ditempati ketiga kakaknya. Tiga kamar itu kosong sekarang karena semua kakaknya sudah pindah ke rumah mereka masing-masing. Jadi rumah besar itu sekarang hanya ditempati oleh Radnar, serta beberapa pelayan.

Setelah pertemuan selesai dan semua orang pulang ke rumah masing-masing Vilnar mengantar ayahnya ke kamar. Radnar berbaring pelan-pelan, sementara Vilnar menutup tirai untuk menghalangi masuknya angin malam.

Vilnar menyalakan lilin di atas meja di samping tempat tidur. Satu buah lilin sudah cukup untuk mereka.

"Duduklah di sampingku," pinta sang kepala suku dengan senyum lemah. "Ceritakan seluruh pengalamanmu, sejak kau pergi ... empat tahun yang lalu."

Vilnar memenuhi permintaan ayahnya. Ia menjelaskan dari awal bagaimana ia memulai kehidupannya di tepi sungai sampai akhirnya menjelajahi desa-desa di selatan.

Cukup banyak yang ia ceritakan, termasuk pendapatnya mengenai orang-orang selatan, tetapi ia hanya menyebutkan sekilas pertemuannya dengan Ailene, yang dikatakannya ditemukan di salah satu desa. Ia sama sekali tak menceritakan pertemuannya dengan Rohgar, dan bagaimana ia kemudian membunuhnya.

Radnar menggeleng-geleng sedih. "Permintaan maaf dariku tak akan cukup karena telah membuatmu menderita. Aku selalu bertanya-tanya apakah telah membuat pilihan yang benar dengan mengirimmu keluar."

Vilnar menepuk-nepuk dengan lembut lengan ayahnya. "Ayah, percayalah, bagiku kau telah membuat keputusan yang sangat benar. Keputusanmu itulah yang telah membuat hidupku berubah dan menjadi lebih bernilai, dengan adanya istri dan anak yang kumiliki saat ini."

Ayahnya tersenyum, tampak lebih bahagia sekarang. "Vilnar, kau selalu menjadi anak yang paling bisa kubanggakan. Dibanding ketiga kakakmu, kaulah yang paling kuat, paling pandai, paling adil, dan yang lebih penting, paling dicintai oleh rakyat. Mereka tak pernah melupakanmu walau kau pergi selama bertahun-tahun. Kau anak terbaik yang bisa dimiliki oleh seorang kepala suku. Seorang ayah. Dan kau adalah harapan terbesarku sekarang."

Vilnar memandangi ayahnya lekat-lekat, mulai curiga bahwa ada sesuatu yang penting ingin dikatakan oleh Radnar.

Ia tak ingin menduga-duga, dan bertanya dengan hati-hati, "Ayah, sebenarnya apa yang ingin kau katakan?"

Radnar menghela napas panjang. "Dengar. Setelah aku mati, yang mungkin tidak akan lama lagi, nasib suku Vallanir akan bergantung kepadamu."

Vilnar menggeleng. "Ayahku yang perkasa tidak akan mati secepat itu."

"Waktu itu akan datang, Vilnar. Dan aku bisa merasakannya. Maka, sebelum waktu itu tiba, tentu saja aku harus mempersiapkan semuanya."

"Kalau memang saatnya tiba, Ayah tak perlu khawatir. Vallanir akan bergantung pada Kronar. Dia yang akan menggantikanmu. Dia seorang yang kuat dan juga dapat dipercaya. Rakyat kita akan aman bersamanya."

Radnar menggeleng. "Kronar seorang yang kuat dan ditakuti banyak orang, tapi, kau tahu, ia telah membunuh terlalu banyak di masa lalu. Musuhnya ada di mana-mana, dan mereka membencinya sedemikian rupa sehingga selalu mencari cara untuk membunuhnya. Para dewa tahu aku selalu berdoa setiap malam supaya ia bisa hidup lebih lama daripada aku!"

Vilnar termangu, tak menyangka ayahnya akan mengatakan hal itu. Apakah benar musuh-musuh mereka masih berusaha membunuh Kronar hingga saat ini? Ketakutan Radnar mungkin terlalu berlebihan, walau demikian Vilnar tak ingin membantahnya.

Ia berkata, "Bagaimana dengan Tarnar? Dia yang seharusnya nanti menggantikanmu, jika terjadi apa-apa dengan Kronar."

Radnar tertawa kecil. "Ayolah, Vilnar, aku tahu kau tidak pernah menyukai Tarnar. Dan bukan cuma kau, banyak rakyat kita juga tidak suka. Aku memang bangga dengan semangatnya, tetapi ia seorang yang bertemperamen tinggi, dan telah banyak menyinggung orang lain dan juga telah melanggar banyak janji yang diucapkannya. Kebanyakan rakyat kita tidak akan mau dipimpin oleh seorang yang ceroboh dan tidak bisa menjaga perkataannya."

"Bagaimana dengan Erenar?"

Radnar terdiam sejenak, tampaknya berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Erenar ... dia anak yang pandai. Ia banyak belajar dari para tetua. Ia juga cukup terampil memainkan pedang. Tapi rakyat belum pernah melihat pencapaian yang luar biasa darinya, jadi mereka tak pernah memandangnya. Dan jika rakyatnya sendiri tidak memandangnya, apalagi musuh-musuh kita? Ia masih terlalu banyak diam, tak pernah mau menunjukkan diri."

"Masih ada kesempatan, bukan?"

"Tentu saja, jika aku tidak mati lebih dulu."

"Ayah ..."

"Vilnar, apa kau sudah mengerti sekarang?"

Vilnar mulai paham ke arah mana ayahnya ingin berkata, dan segera membalas, "Ayah, kau tahu aku tak pernah berminat menjadi kepala suku."

Radnar, yang tampak senang karena Vilnar mengerti, menatapnya dengan pandangan menantang. "Kau boleh berkata begitu, tetapi, di dalam hatimu aku tahu, kau memiliki tanggung jawab atas hal ini. Rasa tanggung jawab dan keadilanmu berkata, bahwa nanti setelah aku tiada, hanya kau satu-satunya yang mampu menjaga kelangsungan hidup rakyat kita."

Vilnar mengerutkan dahinya, kemudian menggeleng pelan. Ia justru kini tak bisa menutupi rasa khawatirnya.

"Ayah, aku datang kemari karena ingin menjengukmu, karena Kronar berkata kau sedang sakit. Dan aku senang karena ternyata Ayah masih cukup sehat. Tapi ternyata Ayah sudah punya rencana sendiri untukku. Aku sudah pergi selama empat tahun, mengapa kau masih berani mempercayaiku? Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Adakah suatu hal penting yang membuat ini harus dibicarakan sekarang?"

Radnar menghela napasnya panjang. "Akan kuceritakan sedikit apa yang terjadi. Tak lama setelah kau pergi, suku kita dan suku Logenir akhirnya berdamai dan membagi daerah perburuan. Selama empat tahun kita semua hidup tenang dan damai. Tapi awal musim panas ini Malagar naik menjadi kepala suku Logenir, menggantikan ayahnya. Ia adalah adik Rohgar. Kau pasti ingat mereka berdua. Rohgar sudah menghilang selama setahun di selatan, jadi Malagar yang kemudian naik menjadi kepala suku Logenir."

"Aku tahu Malagar, tapi aku belum pernah bertemu dengannya."

Sementara mengenai Rohgar, Vilnar tetap belum mau memberitahu Radnar apa yang terjadi di selatan. Sebenarnya Vilnar tidak takut mengakui bahwa ia telah membunuh musuh bebuyutannya itu, tapi tampaknya akan lebih bijak jika hal itu tetap disembunyikan dahulu, untuk saat ini.

Jika Malagar tahu Vilnar yang telah membunuh kakaknya, mungkin dia akan menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Vallanir, dan perang akan terjadi lagi.

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang