Bab 98 ~ Pengumuman

198 81 1
                                    

Bisa jadi inilah alasan kenapa William seharusnya tidak tahu mencari tahu soal masa lalu ayah dan ibunya. Itu hanya akan membuat hatinya sakit, pada akhirnya. Atau bolong sampai membuat pikirannya kosong tak mampu berpikir apa-apa lagi. Entah mana yang lebih buruk.

Kenyataan bahwa Vida ternyata adalah kakaknya membuat ia merasa semuanya tak ada lagi gunanya buat dipikirkan. Buat apa lagi ia tahu soal ayahnya? Buat apa lagi ia datang ke sini?

Inilah alasan kenapa siang tadi Vida tiba-tiba menangis dan lari meninggalkannya. Bisa jadi dia lebih terkejut, malu, dan sakit dibanding William. Setelah ini William tak yakin Vida akan mau menemuinya lagi. Semua yang terjadi di antara mereka sudah berakhir.

Tetap saja, William tak bisa berhenti memikirkan gadis itu. Ia tahu ini salah, ia tahu nanti harus berhenti melakukan ini, tapi sekarang, ia masih mencintai Vida. Sangat mencintainya. Artinya, paling tidak, satu perkiraannya sebelum ini benar. Gadis itu sudah membuatnya gila.

Sekarang, ketika ia datang ke rumah kepala suku untuk makan malam bersama mereka, apa yang akan ia lakukan? Jika Vida ada di sana, apa yang harus ia lakukan?

Tilda yang menyambut William begitu ia datang. Senyuman perempuan berambut kuning itu terkembang saat melihatnya.

"Vahnar, kami sudah menunggumu."

William berjalan mengikuti Tilda masuk ke ruangan makan. Di sana ada meja panjang yang di atasnya sudah penuh dengan makanan lezat. Di desanya dulu William adalah tukang makan, dan makan bersama selalu menjadi saat-saat yang paling ia tunggu. Kali ini ia benar-benar canggung.

Ia mengamati setiap orang yang duduk mengitari meja. Ada enam orang. Paling seberang, di bagian kepala, duduk Erenar sang kepala suku. Di sisi kanan Erenar duduk si perempuan berambut merah, Meralda, sementara di sisi kiri Erenar masih kosong, tentunya itu tempat duduk buat Tilda.

Di samping kanan Meralda ada anak lak-laki yang berumur sekitar sepuluh tahun. Di seberang anak itu, atau di samping kiri kursi buat Tilda, ada gadis kecil yang mungkin berumur enam tahun. Melihat rambut kedua anak itu yang kemerah-merahan, bisa jadi keduanya adalah adik Freya.

Freya sendiri duduk di samping kanan si anak laki-laki. Ia tersenyum gembira begitu melihat William datang. Sedangkan Vida duduk di seberang Freya, atau di kiri si gadis kecil berambut merah. Vida sama sekali tak menoleh saat William memasuki ruangan. Bahkan saat William dipersilakan duduk di dekatnya, di kursi ujung di antara Freya dan Vida, gadis berambut kuning itu tetap tak mau menoleh. Ekspresi wajahnya datar, dan dia hanya memandangi meja.

Erenar, si kepala suku, memandangi William yang duduk di seberangnya. William membalas dengan anggukan hormat, sedikit gugup. Apakah Tilda sudah memberitahu suaminya tentang siapa sebenarnya William?

Sepertinya belum.

Karena Tilda lalu berkata, "Sebelum kita makan, aku punya hal penting yang ingin kusampaikan pada kalian semua. Kabar yang sangat membahagiakan." Ia menoleh pada suaminya. "Tentu saja, jika dirimu tidak keberatan."

William melirik. Di sebelah kirinya, Freya yang semula tampak ceria, kini berubah heran, atau malah sedikit tidak senang.

Gadis itu menatap tajam Vida yang duduk di seberangnya. Jangan-jangan Freya sudah siap juga untuk berkata pada ayahnya, bahwa dia ingin menikah dengan William, dan mengira bahwa yang dimaksud sebagai 'kabar penting yang membahagiakan' adalah keinginan Vida, putri Tilda, untuk menikah dengan William. Jika benar begitu, wajar Freya marah, karena merasa didahului dan dikhianati.

Tentu saja, William tahu bukan itu yang dimaksud oleh Tilda. Walaupun hasilnya nanti akan sama mengejutkannya.

William melirik ke kanan, ingin melihat reaksi Vida. Sekali lagi gadis itu seolah tak peduli. Ekspresi wajahnya tak berubah.

William menjerit dalam hati, ingin berbicara pada gadis itu. Apakah Vida sudah benar-benar tak mau peduli lagi? Padahal tadi pagi semuanya masih baik-baik saja! Dalam waktu singkat semuanya berubah!

William benar-benar menyesal, begitu sadar bahwa bisa jadi semua ini adalah kesalahannya. Jika saja sejak awal ia sudah bilang pada Vida siapa sebenarnya dirinya, mungkin mereka tidak akan terjebak saling jatuh hati seperti begini. Semua hal indah yang pernah mereka lalui bersama di dalam gua itu tidak perlu terjadi. Mungkin ... itu akan lebih baik.

"Silakan, aku tidak keberatan," Erenar menjawab ucapan Tilda, lalu menoleh pada istrinya yang satu lagi, yang berambut merah. "Bagaimana menurutmu, Meralda? Sekarang saja, atau setelah makan?"

Meralda tersenyum. "Jika ini kabar bahagia, kenapa harus menunggu?"

"Itu jawabannya," Erenar menyahut.

"Terima kasih." Tilda mengangguk pada keduanya, lalu berkata pada semua orang, "Ini ... adalah kabar bahagia yang tidak biasa, dan sangat penting bagi keluarga kita. Dahulu, saat Vida masih kecil, dan kalian bertiga, Freya, Rennar dan Vaya, belum lahir, ayah kalian mempunyai seorang adik bernama Vilnar. Paman kalian ini tinggal di selatan. Ia tinggal di sana selama beberapa tahun, kemudian menikah dan istrinya melahirkan seorang putra.

"Selama ini kami tak tahu apa yang terjadi pada mereka. Hari ini aku tahu. Paman kalian dan istrinya sudah meninggal, tetapi putranya masih hidup, dan telah menjadi pemuda yang luar biasa. Pemuda ini, yang selama ini kalian kenal dengan nama William, adalah Vahnar, putra paman kalian itu."

Dentingan nyaring langsung terdengar, begitu Freya menjatuhkan sendok di tangannya. Gadis itu menoleh, menatap tak percaya ke arah William.

Lalu ia bergantian menatap ibunya, ayahnya, Tilda dan juga Vida–yang masih membisu—sebelum kembali menatap William.

"Maksudnya, ... berarti ... selama ini kamu membohongi kami?" tanya Freya. "Membohongi aku ... dan juga Vida?"

"Aku tidak berbohong," jawab William. "Aku juga baru tahu hari ini."

Freya menggeleng-geleng, matanya terpejam, napasnya memburu menahan emosi. Saat matanya terbuka ia menyerang, "Kamu berbohong. Kurasa kamu sudah tahu sejak awal, bahwa kamu berasal dari Vallanir, dan juga tahu bahwa ayahmu bernama Vilnar. Tapi kamu menyembunyikannya dari kami. Kamu berbohong padaku. Kamu berbohong pada Vida."

Mata gadis itu tampak berair, tetapi ia tertawa getir. "Lihat, aku saja sampai seperti ini mendengar berita itu, apalagi kakakku. Wajahnya pucat seperti mayat. Kamu, William, yang membuatnya seperti ini."

"Freya, sudahlah ..." Meralda, sang ibu, tampaknya paham ada sesuatu yang tengah terjadi di antara Freya, Vida serta William. dan karenanya berusaha menghentikan omongan gadis itu.

Sementara Erenar dan Tilda terpaku, tak menyangka dengan perkembangan yang terjadi setelah pengumuman tadi.

"Atau malah, sebenarnya kamu berbohong pada kami saat ini?" Freya tak mau berhenti. "Setelah pembicaraan kita tadi siang, sekarang kamu ingin menghindariku, dengan cara berbohong pada Ibu Tilda, mengaku-ngaku sebagai putra paman kami." Ia menoleh pada Tilda. "Bisa saja, kan? Dia membohongimu, berpura-pura menjadi putra paman. Bisa, kan?"

Northmen SagaWhere stories live. Discover now