Bab 99 ~ Makan Malam Yang Buruk

220 83 3
                                    

Tilda menggeleng, sambil berkata lirih, "Tidak, Freya, dia tidak bohong."

Freya mengangguk-angguk. Matanya memejam beberapa saat. Ia berusaha menahan air matanya yang mulai mengalir. "Iya, maafkan aku, Ibu. Maafkan, aku tidak bermaksud berkata begitu padamu ..."

Kemudian ia berdiri, dan berjalan cepat keluar dari ruangan.

Semua orang di ruang makan terdiam.

Suasana hening tanpa suara.

"Kakak ke mana?" celetukan Vaya, si gadis kecil itu, terdengar.

Vida ikut berdiri. Ia membungkuk ke arah orang tuanya, "Maaf, aku minta izin, tidak bisa ikut makan juga malam ini."

"Vida ..." Tilda berusaha menahan, tetapi gadis itu sudah lebih dulu pergi meninggalkan ruangan.

Tilda tampak kebingungan, lalu tanpa berkata-kata memutuskan pergi juga menyusul putrinya, menyisakan Erenar, Meralda, William serta kedua bocah kecil.

Dalam hati William tertawa getir. Ini makan malam yang benar-benar buruk. Semuanya sudah salah sejak awal. Sudah salah, sejak dulu ia memutuskan untuk ikut pergi bersama Vida.

Ah, sial. Apakah berarti jatuh cintanya salah juga?

"Cinta memang bisa jadi mengerikan," komentar Erenar terdengar. Ia saling menatap dengan Meralda. "Kau sebaiknya bicara juga dengan putrimu."

Meralda mengangguk, lalu berdiri sambil tersenyum pada William. "William, ... Vahnar, aku minta maaf tidak bisa menemanimu makan. Aku pergi dulu."

"I—iya, Nyonya," jawab William gugup. "Aku minta maaf juga."

Meralda menggeleng. "Kamu tidak salah. Apa yang terjadi malam ini memang sedikit mengejutkan, tapi jangan terlalu dipikirkan. Ini semua hanya kesalahpahaman. Dan mulai sekarang jangan panggil aku dan Tilda dengan panggilan 'Nyonya'. Panggil kami 'Ibu'. Mengerti?"

"Iya, ... Ibu."

Perempuan berambut merah itu menunduk sopan, kemudian pergi.

Erenar tertawa pendek, dan memandangi William.

"Sama, mulai sekarang kamu juga harus memanggilku 'Ayah'. Mungkin agak aneh bagi orang-orang selatan, tapi kami di utara selalu memanggil paman atau ibu kami dengan sebutan ayah dan ibu juga. Terdengar lebih akrab dan menyenangkan. Bukan begitu, Vahnar? Dan kalian, Rennar dan Vaya, makanlah yang banyak. Habiskan saja itu jatah kakak-kakak kalian. Nanti kalau kalian sudah besar, jangan seperti mereka. Kalian tidak boleh meninggalkan makanan tersia-sia di meja seperti itu."

Kedua bocah kecil itu hanya mengangguk dan meneruskan makan. Mereka adalah harapan terakhir untuk membuat dunia ini tidak menjadi gila.

Erenar sepertinya termasuk yang belum menjadi gila. Sang kepala suku kelihatannya tidak begitu peduli dengan rentetan drama yang baru saja terjadi. Ia masih bisa santai, tertawa-tawa dengan kedua anaknya yang masih kecil, bercanda dengan mereka. Itu membuat William akhirnya merasa nyaman.

Ketika kedua bocah selesai makan dan meninggalkan ruangan, William tidak lagi merasa gugup, termasuk ketika Erenar berkata secara terus terang tanpa basa-basi.

"Kedua anak gadisku ternyata jatuh hati pada orang yang sama, ya?"

Si kepala suku tersenyum lebar. "Aku tidak heran. Kau mirip sekali dengan ayahmu dulu. Ia dulu juga sering menghadapi masalah yang sama saat seumurmu. Aku beruntung tidak punya masalah seperti itu, karena penampilanku pas-pasan." Ia tertawa.

William nyengir.

"Sekarang, sebelum kau bertanya seperti apa ayahmu, Vahnar, biar kujelaskan lebih dulu. Ayahmu dua tahun lebih muda dariku. Ia seorang yang tampan, kuat, jujur, adil, berani, dan pandai. Hampir seperti seorang pemuda yang sempurna. Tetapi ia punya kelemahan. Seringkali ia gegabah dan terlalu cepat emosi, bertindak tanpa berpikir panjang jika sudah menuruti emosinya itu. Aku tidak akan heran jika ternyata semua sifat itu menurun padamu."

"Ya, ... sepertinya aku tidak mungkin bisa bersembunyi darimu."

"Tapi, Vahnar, aku penasaran." Si kepala suku menatap William dengan pandangan menyelidik. "Jika benar kata-kata Freya, bahwa sejak awal kau sudah tahu siapa dirimu, dan juga ayahmu, lalu apa alasanmu ikut mereka sampai kemari? Kenapa kau menyembunyikan siapa dirimu dari mereka?"

"Aku hanya tahu nama ayahku, dan bahwa ia berasal dari Vallanir. Aku tidak tahu kalau ia adalah anak kepala suku. Aku tidak berani berkata terbuka pada Freya dan Vida, karena ibuku dulu berkata bahwa ayahku sempat berselisih dengan saudara-saudaranya. Jadi, aku putuskan, jika memang aku harus pergi ke utara bersama mereka, aku harus tahu lebih dulu masalah apa yang dulu dihadapi ayahku, baru kemudian bilang siapa sebenarnya aku."

Erenar termangu, tampak berpikir. "Ibumu bilang, ayahmu sempat berselisih dengan kakaknya? Ya, itu ada benarnya. Saat terakhir ia pergi, ia sempat bertengkar dengan Tarnar, kakakku. Tapi, jika kau memiliki saudara, kau pasti akan tahu, bahwa pertengkaran di antara saudara itu hal yang biasa dan bukan sesuatu yang harus dibesar-besarkan. Kau punya adik, Vahnar?"

"Aku anak ibuku satu-satunya."

"Begitulah. Walaupun bertengkar, kita adalah keluarga. Sebagai keluarga kita harus bersatu, karena kita punya musuh yang berbahaya di luar sana."

"Orang-orang Logenir?"

"Benar. Mereka selalu menjadi musuh, dan semakin lama semakin kuat. Kita tidak boleh lengah." Erenar memandangi William. "Kemarin Vida bercerita, kau dan pasukanmu mengalahkan orang Logenir di selatan. Berapa banyak yang kalian bunuh?"

"Seratus lima puluh orang, sekitar itu."

"Itu jumlah yang cukup banyak. Tapi mereka masih punya pasukan besar di barat. Sedikitnya lima ratus orang, dan jika sekutu-sekutu mereka bergabung, mungkin bisa mencapai seribu prajurit. Sementara kita, digabung dengan sekutu-sekutu terdekat, mungkin hanya delapan ratus prajurit. Sayangnya, jarak sekutu-sekutu kita itu cukup jauh, butuh waktu jika harus datang kemari. Jadi, jika seandainya orang Logenir datang menyerang secara mendadak saat ini, kita hanya bisa bergantung pada kekuatan kita sendiri, yang jauh di bawah mereka."

"Maksudmu, jika seandainya terjadi perang, kita akan kalah?"

"Vallanir tidak pernah menyerah, dan tidak pernah kalah. Tapi tentu saja, kemungkinan kalah itu ada. Dan ya, kemungkinannya lebih besar saat ini. Itulah kenapa, kehadiranmu benar-benar bantuan yang tak ternilai harganya."

"Saat aku datang kemari, aku tidak berpikir untuk berperang ..."

"Aku mengerti, Vida sudah cerita juga. Kau ikut untuk membantunya membunuh Ethrak. Sayangnya senjata pusakanya tidak ditemukan. Tetapi tidak apa-apa, karena pada akhirnya kami menemukan sesuatu yang lebih berharga. Kau, Vahnar. Kau ditakdirkan kembali ke Vallanir, untuk melindungi kami."

"Apa itu tidak berlebihan?" William merasa canggung dan tidak nyaman. "Melindungi diri sendiri saja aku masih kepayahan."

"Vida percaya pada kemampuanmu, dan aku percaya pada penilaiannya."

"Setelah kejadian hari ini, aku tidak yakin ia masih percaya padaku."

Erenar tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya, bisa kulihat, sepertinya masalahmu cukup pelik. Bicaralah padanya. Kuyakin, pada akhirnya Vida akan mau menerimamu ... sebagai adiknya."

Sebagai adik.

William merasakan hatinya seperti dipaku sekali lagi. Sakitnya ibarat ... ibarat tong anggur yang bocor, seandainya tong itu punya hati. Begini rasanya, saat tubuh mereka dibolongi dan isi anggurnya dikuras habis.

Pengandaian yang buruk.

"Akan kupikirkan," jawab William pelan.

Erenar mengangguk. "Jangan terlalu lama berpikir, Vahnar. Kami membutuhkanmu secepatnya. Kaulah harapan terbaik Vallanir saat ini. Mulai besok kau akan mendampingiku. Aku akan memperkenalkanmu ke seluruh rakyat kita. Mulai malam ini kau juga akan tinggal di rumah ini, tidak lagi di Rumah Tamu. Kau bukan lagi tamu, kau bagian dari keluarga ini."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now