Bab 88 ~ Melepaskan Semuanya

230 80 1
                                    

Keduanya saling menatap.

William nyengir. Vida mendengus.

"Aku tidak mau membicarakan ini," kata gadis itu.

"Kenapa? Kenapa tidak mau?" kejar William. "Ini justru lebih menarik buat kita. Lebih menarik dibanding membicarakan orang lain. Lupakan Freya atau yang lain. Kita bicara tentang kita. Pertama, kamu dulu, setelah itu aku. Apa kamu sudah punya pacar?" Ia meringis.

"Itu bukan urusanmu."

"Biar kujadikan itu urusanku, karena aku suka—"

"Diaam! Kamu mau dipukul?" Vida melotot sambil mengepalkan tangan.

William tertawa. "Vida, si cantik, dengan segala jenis ancamannya. Baik, jika dengan dipukul bisa membuatku diterima olehmu, maka aku bersedia."

Tanpa aba-aba Vida langsung menjotos rahangnya. William langsung terjengkang, hampir saja kepalanya membentur batu di belakang.

Sialaaan! Keras sekali! Rasanya seperti dihantam martil!

Untung saja, walaupun sakit bukan kepalang, William masih lumayan sadar. Dia bisa melihat tangan kiri Vida yang kembali terayun, dan baru teringat bahwa gadis itu kidal; itulah kenapa William tadi gagal mengantisipasi gerakannya.

Namun tidak kali ini. Dengan sigap William menangkap lengan kiri gadis itu. Tangan kanan Vida yang coba menyerang berhasil ia tangkap pula. Tanpa ragu William menarik gadis itu, hingga tubuh dan wajah keduanya merapat.

"Kamu memukulku? Sakit, tahu!" seru William kesal, tetapi kemudian ia nyengir. "Tapi terima kasih, karena itu artinya, kamu, Vida, mau menerimaku."

Vida semakin melotot. "Lepaskan. Atau kugigit hidungmu sampai putus."

"Astaga, ancamanmu semakin menyeramkan."

William melepaskan kedua tangan gadis itu. Vida menarik tubuhnya menjauh, lalu bersandar ke dinding batu. Sudut itu lebih gelap dibanding sekitarnya, sehingga wajahnya kini tak bisa kelihatan dengan jelas.

William pelan-pelan ikut duduk, memandangi Vida beberapa lama. "Maaf, kalau kamu sampai marah. Ya, aku berlebihan tadi."

Vida belum menanggapinya, maka William memutuskan terus bicara. "Tapi yang pertama mengangkat masalah ini kamu. Setelah itu aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan. Bukankah seperti itu mestinya laki-laki, seperti yang kamu bilang? Berbicara jujur tentang apa yang diinginkan? Aku tidak paham kenapa kemudian kamu sampai marah. Apa memang selalu begini, kamu tidak pernah mau membiarkan orang lain mengenalmu dari dekat? Atau hanya karena aku? Hmm, oke, aku tak akan membicarakannya lagi."

"Freya adikku." Terdengar jawaban gadis itu.

William terdiam, berusaha mencerna apa maksud ucapan itu.

Yang jadi masalah adalah ia tidak bisa melihat wajah Vida, yang masih tersembunyi dalam gelap, jadi ia tak bisa mempelajari ekspresi apa yang mungkin muncul di wajah itu. Namun Vida menjawab, itu artinya pertanda bagus. Mungkin akhirnya gadis itu mau membuka diri.

Dengan hati-hati William berkata, "Ya, dia adikmu, tetapi bukan berarti dia yang paling penting. Bagimu, tetap dirimu sendiri yang mestinya paling penting. Benar? Apa yang kamu mau, apa yang ingin kamu capai, apa yang kamu suka, apa yang ada di hatimu. Itu yang seharusnya paling penting buatmu. Apakah di Hualeg hanya laki-laki yang bisa mengatakan apa yang mereka mau, sementara perempuan sepertimu tidak bisa?"

"Kami bisa."

"Terus? Kenapa?"

"Aku memilih tidak melakukannya."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now