Bab 108 ~ Suara-Suara

193 75 1
                                    

"Vahnar! Omong kosong apa kau?" seru Krennar marah sambil berdiri.

"Siapa yang omong kosong?" balas William. "Mornir bilang begitu!"

"Dia itu penipu! Orang licik! Seharusnya kau tidak mendengar omongannya!"

"Hei, hei, sudahlah," tukas Erenar. "Sepertinya Vahnar sudah benar-benar mabuk dan harus beristirahat. Svenar, bisa tolong bawa dia ke rumahku?"

"Siap." Si raksasa berdiri mendekati William, lalu mengajaknya berdiri.

"Aku bisa jalan sendiri!" seru William sambil menepis tangan Svenar.

"Biar aku yang menemaninya," kata Vida.

William berdiri dengan keseimbangan seadanya. Tahu-tahu gadis itu sudah ada di dekatnya dan memapahnya dari samping. Keduanya berjalan meninggalkan lapangan. William tidak begitu sadar apa yang terjadi, tapi sepertinya ia mendengar gadis itu sempat berbisik.

"Anak bodoh, apa kau tidak bisa menjaga mulutmu? Benar-benar bodoh."

Setelah itu William kehilangan kesadarannya.

Esoknya, bangun-bangun William merasakan kepalanya sakit bukan kepalang. Tubuhnya terbaring, belum jelas di mana, tetapi sepertinya sudah di kamarnya sendiri. William memilih tetap memejamkan mata, inginnya tidur lebih lama. Namun isi perutnya terasa berputar-putar, entah karena lapar atau mual. Ia terus berbaring, lalu tidur lagi.

Lama setelah itu—mungkin—ia terbangun. Masih belum merasa lebih baik dan bertenaga, ia kembali tidur.

Seseorang mendatanginya dalam mimpi, mengucapkan berbagai macam omong kosong. Suara laki-laki terus mendatanginya, sampai William tak mampu lagi membedakan apakah itu masih di dalam mimpi atau sudah di alam nyata. Orang itu berkata tanpa henti, "Bunuh dia. Bunuh dia. Bunuh dia. Dia sudah membunuh ayahmu. Bunuh dia."

Dendam memenuhi hatinya. Menggelegak. Naik ke ubun-ubun.

William membuka mata. Ia menoleh, dan menemukan sosok laki-laki duduk di sampingnya. Awalnya masih kabur, tetapi kemudian terlihat jelas.

Erenar.

William tahu, ia bisa bangun dan membunuh laki-laki itu saat ini juga.

Kemudian ia sadar, tak satu pun bagian tubuhnya mampu ia gerakkan. Tangan, kaki, kepala, bahkan jemarinya. Hanya kelopak dan bola matanya yang bisa. Apa yang terjadi?

Bersama dendam, kini kebingungan dan ketakutan ikut hadir, begitu pikirannya mulai sadar.

"Apa ...?" William sedikit lega, karena mulutnya masih bisa bersuara.

Namun hanya itu. Bangsat. Siapa yang melakukan ini pada tubuhnya?

Erenar? Diakah?

"Vahnar," laki-laki itu berkata.

William melirik, ke arah laki-laki itu, lalu ke seisi ruangan kamar. Tak ada orang lain di sini. Hanya mereka berdua.

"Maaf, aku harus melakukan ini padamu," kata Erenar. "Aku hanya takut kau nanti mencelakai kami semua. Jika itu sampai terjadi, aku yakin, kau juga pasti akan sangat menyesal."

"Kau ... membuatku lumpuh?" balas William marah, bercampur takut.

"Hanya sebentar saja, sampai kau menjadi lebih tenang."

"Bangsat." William ingin berteriak, tapi hanya suara pelan yang bisa keluar dari mulutnya. "Seharusnya aku langsung membunuhmu tadi malam ..."

Erenar menggeleng. "Itu sudah tiga hari yang lalu. Dan kuyakin, jika kau sampai melakukan itu, kau akan menyesal. Rasa sakit di hatimu akan terbalas, tapi kau akan mendapat rasa sakit hati yang lain. Yang tidak hanya akan dirasakan olehmu, tapi juga banyak orang lain di sekitarmu. Jadi, sekali lagi aku minta maaf, karena membuatmu tertidur dan tak bisa bergerak seperti ini. Jangan khawatir, efeknya hanya sementara, kau akan baik-baik saja nanti. Aku melakukan ini, supaya kau bisa mendengarkan ucapanku lebih dulu."

"Kau yang membuat ayahku mati, kau yang merencanakan semuanya," balas William penuh kebencian. "Kau yang dulu menghasut kakakmu untuk menyerang ayahku, sehingga mereka lalu saling membunuh. Dengan begitu kau bisa menjadi kepala suku. Setelah itu kau berbohong pada semua orang, membuat mereka percaya pada ceritamu, bahwa orang-orang Logenirlah yang telah membunuh Tarnar. Kau pantas mati, dan aku pantas membunuhmu."

Erenar mendesah panjang. "Vahnar, aku telah membuat kesalahan besar yang tak termaafkan di masa lalu, dan tak pernah sehari pun aku tidak menyesal karena telah melakukannya. Bayang-bayang semua saudaraku, dan ayahku, selalu menghantui setiap kali aku tidur. Tak pernah satu malam pun aku bisa tidur dengan nyenyak, sejak dulu hingga hari ini. Dengan cara itu Odaran menghukumku, sebelum ia nanti menghancurkan jiwaku. Aku hanya bisa berharap, semoga semua saudaraku, dan ayahku, bisa memaafkanku dan menerimaku nanti. Namun jika ternyata tidak, aku akan menerimanya. Itulah hukuman untukku. Aku, mungkin, juga tak bisa memohon maaf darimu. Tapi, aku tetap harus mencobanya. Aku minta maaf padamu. Aku menyesal."

William menggeleng. "Aku tidak akan memaafkanmu."

Di dalam kepalanya suara-suara itu terus terdengar, semakin keras.

'Bunuh dia. Bunuh dia. Bunuh dia!'

Tubuhnya menghangat. Ujung-ujung jarinya mulai bisa digerakkan.

"Aku akan membunuhmu," kata William.

Erenar mengangguk sedih. "Vahnar, wajar kau membenciku. Tapi apa kau sadar, apa yang terjadi kalau kau sampai membunuhku? Semua orang akan berbalik membencimu. Tak peduli apa pun alasanmu, kau telah menghancurkan keluarga ini. Kau telah menghancurkan siapa pun yang sebelumnya menyayangimu. Apa yang kulakukan dulu sudah cukup buruk. Jika kau melakukan hal serupa, Vallanir tak akan mampu bertahan. Kita bukan Logenir, di mana hal-hal buruk seperti ini sudah biasa terjadi. Kita Vallanir."

Bunuh dia! Jangan biarkan dia mempengaruhimu!

William berhasil menggerakkan setiap jemarinya. Sedikit lagi.

"Aku telah membangun suku ini dengan berbagai kebaikan, dengan keadilan, cinta dan pengampunan," lanjut Erenar. "Dengan cara inilah suku-suku lain yang menjunjung nilai yang sama mau bergabung dengan kami. Dengan cara ini kami bertahan dari Logenir dan suku-suku lain di barat. Menurutmu apa yang akan terjadi setelah kau membunuhku? Tak akan ada lagi yang mempercayai Vallanir. Satu demi satu mereka akan menjauhkan diri, dan akhirnya semua akan hancur, diserbu oleh Logenir atau hancur dengan sendirinya. Kau mau seperti ini?

"Vahnar, aku tahu kesalahanku tak termaafkan, tapi aku ingin kau melihat ini. Pada warisan yang telah kuusahakan dengan susah payah selama ini, yang pada akhirnya akan kutinggalkan pada generasi Vallanir berikutnya. Pada kalian, dan anak cucu kalian. Vahnar, aku mengatakan ini karena percaya padamu. Aku sudah memikirkannya baik-baik, apa yang terbaik buat Vallanir, dan sampai pada kesimpulan, padamulah aku hendak menyerahkan—"

William sudah berhasil menggerakkan tangannya, bahkan tubuhnya.

Ia berhasil lepas sepenuhnya dari pengaruh ramuan entah apa yang selama ini mengikatnya. Dengan cepat ia bangkit, mencengkeram leher laki-laki di sampingnya, kemudian mendorong tubuh laki-laki itu sampai terdorong menghantam dinding kayu.

Bunuh dia. Bunuh dia. Bunuh dia!

Ia menatap laki-laki itu garang. "Kaupikir segala macam kebaikan yang kau lakukan ini bisa menutupi kejahatan yang kau buat di masa lalu? Tidak, kau harus mendapat balasan yang setimpal lebih dulu!"

"William! Hentikan!" teriakan-teriakan terdengar.

William tak memperhatikan. Entah bagaimana Freya, Vida, dan entah siapa lagi, kini sudah ada di dalam kamar. Mereka berusaha menarik William.

Tak ada yang bisa. Tak ada yang cukup buat menahannya.

Bunuh dia. Bunuh dia. Bunuh dia!

Suara-suara itu semakin keras.

William mempererat cengkeramannya di leher Erenar. Laki-laki itu sudah menyerah, sudah siap mati. Memang pantas. Dia pantas mati!

"Matilah kau!" William meraung.

Seketika itu pula sesuatu menghantam kepalanya.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now