Bab 9 ~ Hari Pemakaman

477 141 1
                                    

William termenung di depan pusara ibunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

William termenung di depan pusara ibunya. 

Setelah berdoa Tuan Kanlon si kepala desa dan beberapa tetangga menghampiri, menyentuh bahu William serta mengatakan berbagai ungkapan belasungkawa, tetapi ia masih terdiam. Sejak pagi hingga menjelang siang ketika akhirnya jasad ibunya ditutup dengan tanah ia hampir tak mengucap satu pun kata.

Jika diingat-ingat mungkin hanya tadi pagi, saat ia akhirnya berhasil menguatkan diri untuk meninggalkan ibunya dan pergi ke rumah si kepala desa, lalu bilang padanya bahwa ibunya sudah wafat. Setelah itu Tuan Kanlonlah yang mengurus seluruh pemakaman.

Teringat akan hal itu, William mendongak dan berkata perlahan pada sang kepala desa, "Terima kasih ..." 

Sebenarnya ia ingin berkata lebih banyak, tetapi hanya dua kata itu yang bisa ucapkan.

"Kalau masih perlu apa-apa, jangan ragu bilang padaku," kata Tuan Kanlon. "Kami semua akan membantumu."

"Ya, Tuan."

Setelah itu mereka semua pergi, dan William kembali sendiri. Ia duduk mengusap tanah di depannya, lalu mengangkat wajah. Perhatiannya terpaku pada seekor burung mungil yang terbang kemudian hinggap di ranting pepohonan tak jauh di belakang makam ibunya, di antara bunga-bunga berwarna putih dan kuning keemasan. 

Burung lainnya datang menemani, dan kedua burung itu seolah berbincang di atas sana.

William menghela napasnya perlahan. Dua bulan telah berlalu sejak salju mencair. Di pertengahan musim semi setiap orang di desa, serta setiap makhluk lainnya, biasanya dipenuhi semangat baru. Ada banyak hal untuk dikerjakan, ada banyak keinginan untuk diraih. 

Demikian pula William sebenarnya, dua hari yang lalu. Saat itu seluruh keinginannya meluap-luap, dan ia begitu yakin pada dirinya sendiri. Ia merasa mampu menaklukkan dunia. Sekarang, apakah seluruh keinginan itu masih ada?

Kematian ibunya sungguh di luar perkiraan. Datang begitu cepat, seakan terjadi lalu berlalu begitu saja. Hal itu membuat William sadar bahwa pada akhirnya ada sesuatu yang jauh lebih berkuasa dibanding dirinya. 

Sesuatu yang seolah tak peduli pada keinginan yang dimiliki setiap orang, dan yang akan mengambil apa pun tanpa peduli kapan waktunya.

William tahu ibunya memendam sakit. Namun ia tetap sulit untuk percaya dan tak pernah membayangkan bahwa dia akan meninggal saat ini, dalam usia yang sebenarnya masih cukup muda. Dan membayangkan bahwa sakit ibunya mungkin menjadi lebih parah gara-gara ia bertanya soal ayahnya membuat hatinya dipenuhi rasa sesal. 

Mungkin seharusnya ia tidak bertanya, dan ibunya bisa tetap tenang sampai kapan pun.

William kembali sedih, tapi tak lagi menangis. Seluruh tangisnya sudah tumpah sejak malam hingga pagi. Atau mungkin, karena pada akhirnya ia bisa mengerti, bahwa ibunya meninggalkannya dengan hati tenang.

William berusaha mengingat kembali pesan ibunya tadi malam, dan lebih dari itu, senyumannya yang terakhir. Ia akhirnya ikut tersenyum. 

"Ibu, jaga diri Ibu juga baik-baik di sana. Ibu tak perlu khawatir, aku baik-baik saja di sini."

Ia berdiri, memandangi makam ibunya sekali lagi, kemudian berbalik. 

Ternyata Muriel masih berdiri menunggunya. Mata gadis berambut keriting itu masih memerah. Entah sebanyak apa dia menangis. Ketika William menatapnya, gadis itu hanya menelan ludah, tak mampu berkata-kata.

"Ayahmu belum pulang?" William bertanya pada gadis itu, walaupun tentu saja ia sendiri sudah tahu jawabannya.

"Belum," jawab Muriel pelan. "Ia belum tahu tentang ini .... Nanti aku bilang padanya."

William mengangguk, coba tersenyum. "Ayo, kita kembali ke bengkel."

Bundar mata Muriel membesar. "Kakak tetap mau bekerja hari ini?"

"Masih ada yang harus kukerjakan. Lagi pula, lebih baik aku melakukan sesuatu, daripada ..."

"Kakak tidak perlu memaksakan diri."

"Aku baik-baik saja," tukas William.

Muriel mengangguk dengan sedikit canggung. Keduanya berjalan berdampingan menuju bengkel kerja yang terletak di halaman samping rumah Bortez dan Muriel. 

Sepanjang perjalanan dari makam sampai melewati sisi ladang, beberapa penduduk desa yang mereka temui mengangguk pada William dan mengucapkan belasungkawa sekali lagi. William hanya tersenyum singkat dan mengucapkan terima kasih sebagai balasan.

Di bengkel ia bekerja tanpa bicara sambil berusaha melepaskan kesedihannya. Ia mengeluarkan peralatannya, kemudian mengumpulkan beberapa bongkah atau lempengan besi yang harus ia tempa, sisa pekerjaan kemarin. 

Ini adalah pesanan terakhir seorang pedagang dari timur. Sebagian sudah menjadi barang-barang setengah jadi, tinggal nanti digerinda dan diselesaikan oleh Bortez. Sebagian lagi masih harus ditempa.

Selama ia bekerja Muriel menemani dan membantunya memanaskan tungku. Melihat gadis itu tampak antusias dan ikut gembira, William lalu mengizinkannya untuk ganti menempa.

Muriel tersenyum lebar sambil melepaskan penyumpal di telinganya. "Aku boleh mencobanya? Tapi ... ayahku ..."

"Dia tidak akan tahu," kata William. "Dan kurasa dia tak akan marah, asal kamu benar melakukannya. Kamu bisa?"

"Bisa," kata Muriel sambil menarik lengan bajunya.

William tersenyum. Tubuh gadis itu dari luar tampak lemah, tapi jika sedang bekerja otot-ototnya seolah menyembul seperti laki-laki. Tak peduli umurnya baru lima belas tahun, mungkin jika sedang marah Muriel bisa merontokkan laki-laki dewasa dengan bogem mentahnya.

Setelah memakai penutup wajah dan terpal penutup tubuh, serta memasang lagi penyumpal telinganya, Muriel mulai menempa. Martilnya terayun dan menghantam logam di depannya. Irama logam beradu berdentang-dentang. 

Di sampingnya William memanaskan tungku dengan cara menaik-turunkan tuas untuk meniupkan angin, serta menambahkan kayu bakar.

Dalam waktu singkat suhu tungku dan ruangan semakin panas. Asap mengepul keluar melalui cerobong. Peluh William dan Muriel bercucuran semakin deras, tetapi keduanya tersenyum lebar. Ya, William yakin gadis itu pasti sedang tersenyum di balik penutup wajahnya. 

Dia gadis yang menyenangkan, dan pada saat-saat seperti ini William senang bisa bersamanya. Keberadaan Muriel membuat ia mampu melupakan kesedihannya.

Suara ketukan keras tiba-tiba terdengar di sela-sela dentangan logam. 

William menoleh ke arah pintu. Ia memperhatikan sosok laki-laki bertubuh tegap dan berbahu lebar yang berdiri sambil menyeringai lebar di depan pintu. Umur laki-laki itu tidak jelas, tetapi mungkin sekitar sepuluh tahun lebih tua dibanding William. Rambut dan janggut tipisnya berwarna jagung. Sorot matanya jenaka. 

Namun saat laki-laki itu beradu pandang selama beberapa saat dengan William, seringainya mereda dan dia berdehem.

William berjalan menghampirinya dan menyapa, "Rogas."

Laki-laki itu mengangguk. "William!" Suaranya keras, untuk menyaingi suara hantaman logam yang dibuat oleh Muriel. "Maaf! Aku baru saja dengar apa yang terjadi. Aku turut berduka!"

"Terima kasih."

"Kudengar kemarin kau mencariku? Kau ingin berlatih?"

"Bukan." William menoleh sebentar pada Muriel yang masih terus bekerja. 

Gadis itu menatapnya tajam.

Entah apa yang ada di dalam benak gadis itu ketika melihat William berbincang dengan Rogas. William mendapat perasaan bahwa Muriel tidak begitu suka dengan kehadiran laki-laki itu, bahkan mungkin Muriel sengaja terus bekerja dan tidak menghentikan suara-suara yang dibuatnya, supaya Rogas tidak betah dan pergi secepatnya. 

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang