Bab 45 ~ Menghilang

267 92 1
                                    

William menatap sosok Rogas yang menghilang di balik kegelapan, kemudian memperhatikan kalung di tangannya. Dalam hati ia bertanya-tanya, jika memang benda ini benar-benar bisa menghadirkan keberuntungan, keberuntungan macam apa yang bisa ia harapkan dalam waktu dekat?

Lolos dari berbagai pertempuran lagi? Atau malah terhindar dari segala macam pertempuran itu? Yang terakhir itu pastinya lebih baik.

Atau mungkin bukan itu semua.

William menyandarkan tubuh dan lehernya ke tepi perahu, kemudian memejamkan mata. Pikirannya melayang. Sesuatu terlintas di benaknya. Tadi Rogas sempat menggodanya dengan menyebut si gadis berambut merah. Gadis berhidung mancung, yang jika sedang tersenyum terlihat sangat cantik.

Kemudian ia terbayang juga pada kakaknya yang berambut kuning, Vida, yang berwajah rupawan, tetapi hampir selalu serius dan tak pernah tersenyum. Gadis ini pandai, ia sepertinya tahu banyak mengenai segala sesuatu, dan karenanya William benar-benar ingin tahu lebih banyak tentang dia.

Berikutnya, ia teringat pada Muriel, yang gayanya kadang manja, kadang keras kepala, dan sudah William tinggalkan di Ortleg. William ingat pada janjinya, bahwa suatu hari nanti ia akan pulang untuk menemui gadis itu.

Memikirkan ketiganya mendatangkan kerumitan yang sebelumnya tak terbayangkan. William tertawa-tawa sendiri. Tampaknya akan lebih bagus jika malam ini ia tidur tanpa harus bermimpi tentang salah satu dari mereka.

Ketika William terbangun keesokan paginya ia sudah lupa pada segala hal tentang gadis-gadis itu. Satu hal yang membuatnya lega, sudah tak ada lagi musuh yang datang untuk mengganggunya. Rogas juga memenuhi ucapannya semalam. Dua prajurit ikut berjaga bersamanya di tepi sungai, dan pagi ini keduanya memberi William roti dan minuman hangat untuk sarapan.

Berhubung Taupin masih terluka dan Rogas belum kelihatan batang hidungnya, William mengambil alih komando. Ia memeriksa kondisi pasukan, dan meminta seluruh penduduk yang mengungsi di bukit untuk kembali.

Orang-orang yang terluka dan mati dikumpulkan. Ia menghitung, prajurit yang masih bugar berjumlah tiga puluh orang, yang terluka dua puluh tiga, dan yang mati enam puluh tujuh, jika dihitung sejak awal mereka tiba di sini. Jumlah yang mati begitu banyak, tapi mereka tak boleh terus sedih.

Seluruh mayat dikuburkan di satu tempat dalam sebuah lubang besar. Pekerjaan yang panjang dan berat, dan baru selesai lewat tengah hari.

Semua orang lalu beristirahat sejenak, kemudian lanjut membersihkan desa dari puing-puing bekas pertempuran. Saat matahari terbenam desa sudah tenang dan nyaman.

Malam kedua setelah pertempuran pun berlalu dalam damai.

Esok paginya kebingungan baru muncul. Rogas tetap belum kelihatan.

"Siapa yang terakhir melihat dia?" tanya William setelah mengumpulkan beberapa orang.

Para prajurit itu saling memandang kebingungan.

William menunjuk dua orang yang menemaninya berjaga dua malam yang lalu di tepi sungai. "Kalian yang terakhir bicara dengannya?"

"Benar," kata seorang prajurit. "Ia meminta kami berjaga bersamamu di sungai. Tapi hanya itu. Setelah itu kami tidak melihatnya lagi."

"Aku sudah memeriksa," prajurit lain berkata. "Satu perahu kita lenyap."

Thom menyahut, setengah bercanda, "Kurasa dia sudah bosan di utara, dan ingin kembali bersenang-senang di selatan. Dia pernah bilang begitu."

"Maksudmu, dia meninggalkan kita?" tanya seorang prajurit.

"Kalau memang ingin pergi, dia pasti bilang," tukas William.

"Menurutmu begitu?" Thom bertanya, tampak tidak yakin.

William terdiam. Benarkah Rogas akan bilang kalau memang ingin pergi?

Mungkin tidak. Rogas selalu sulit untuk ditebak. Dan jika benar-benar pergi, apakah keputusannya itu mendadak, atau sudah direncanakan jauh-jauh hari? William tetap yakin Rogas tak akan pergi begitu saja. Tidak sebelum dia menerima pembayaran berikutnya dari Taupin, yang saat ini masih terluka.

"Menurutku, kalau memang dia mau pergi, ya sudah, biarkan saja," Thom berkata. "Selanjutnya biar Tuck—maksudku, William—yang memimpin kita di sini. Kurasa itu malah lebih baik. Benar, teman-teman?"

Seluruh prajurit mengangguk-angguk setuju. Sepertinya kepergian Rogas bukan hal yang terlalu penting buat mereka. Sebaliknya bagi William, hal ini tetap terasa aneh. Mungkin ia memang tidak sepenuhnya mengenal Rogas.

William akhirnya memutuskan untuk kembali pada tugas-tugasnya. Ia memerintahkan para prajurit untuk menyiapkan jaring dan perangkap yang akan dipasang di dalam sungai, untuk berjaga-jaga seandainya ada lagi pasukan Hualeg yang datang. Sekelompok prajurit juga ia kirim ke utara untuk mengawasi.

Sementara di desa ia ikut bekerja bersama seluruh penduduk untuk memperbaiki rumah-rumah yang sebelumnya dirusak oleh orang-orang Hualeg.

Saat ia sedang mengawasi mereka, Boulder datang menemuinya.

Laki-laki berkepala plontos itu berkata, "Saat aku sedang patroli di sungai pagi tadi aku bertemu seseorang. Dia ingin bertemu denganmu."

"Siapa?" tanya William heran.

Ia merasa tidak menunggu seseorang. Siapa yang ingin bertemu dengannya di tempat ini?

"Gadis dari Hualeg itu, yang jangkung."

Vida? William tertegun. Apakah masalah dengan Mornir belum selesai?

Ataukah ... gadis itu hanya ingin bertemu?

"Di mana?" William bertanya.

"Tak jauh di selatan," jawab Boulder.

Bukan di utara? William terus bertanya-tanya dalam hati.

Apakah berarti gadis itu berhasil menyusuri sungai sampai ke selatan dan melewati desa tanpa terlihat oleh para prajuritnya yang berjaga?

William langsung menegur Thom yang berada tak jauh di sampingnya, "Kau yakin para prajurit sama sekali tidak lengah?"

"Aku yakin," Thom menjawab, tapi tampak sedikit ragu. "Akan kutanyakan lagi nanti. Mungkin mereka lelah saat malam."

"Bilang pada mereka, ini bukan masalah kecil," tukas William. "Mereka beruntung, karena yang lewat sekarang bukan musuh. Besok-besok mungkin tidak akan seberuntung itu. Dan kita semua akan menerima akibatnya."

"Aku mengerti. Aku juga tidak suka kalau mereka lengah," kata Thom.

"Ya. Aku pergi dulu. Sementara itu, kau yang bertanggung jawab di sini, Thom." William lalu menoleh pada Boulder. "Bawa aku ke sana."

Keduanya pergi ke selatan dengan menggunakan perahu kecil. William mendayung di depan, sementara Boulder di belakangnya.

Mereka menyusuri sungai sampai cukup jauh dari desa, hingga akhirnya berbelok ke kiri, menuju anak sungai kecil yang dinaungi oleh rerimbunan dedaunan lebat.

"Kau yakin di sini tempatnya?" William bertanya tanpa menoleh ke belakang. Ia memperhatikan ke sekelilingnya, mencari-cari sosok Vida.

"Ya. Aku melihat gadis itu di sini tadi pagi. Dia bilang ingin bertemu kau di sini," sahut Boulder. "Aku tidak paham kenapa sekarang tidak ada."

William menatap hutan di depannya. Sinar matahari menyusup di antara dedaunan, membuat anak sungai masih terlihat terang.

"Ayo, kita maju."

William dan Boulder terus mendayung, kini lebih pelan dan berhati-hati. William menoleh ke kiri dan ke kanan, terus mencari sosok Vida yang mungkin bersembunyi di satu tempat. Namun setelah cukup jauh ia mulai ragu.

"Mungkin dia sudah pergi, entah kenapa," kata William.

Dalam hati ia sedikit kecewa, sekaligus juga bertanya-tanya, apa yang membuat Vida ingin bertemu dengannya di tempat ini. Mungkin sebenarnya tidak terlalu penting. Itulah kenapa gadis itu kemudian pergi lagi.

Ia pun berkata, "Kurasa, sebaiknya kita kemba—"

Sebuah benda keras menghentak kepalanya dari belakang.

Seketika kesadarannya lenyap.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now