Bab 46 ~ Kalung Jelek

265 88 1
                                    

William baru tersadar entah berapa lama kemudian. Ranting-ranting pohon lebat terlihat di atasnya, dan ia merasakan tubuhnya terbaring di tanah berumput. Ia heran ketika mendapati kedua tangannya terikat di belakang punggung.

Ia berguling dan mencoba untuk duduk. Saat kepalanya mendongak, seseorang tampak menyeringai di depannya. Seringai yang sudah lama tak ia lihat, dari seseorang yang selalu memakai jubah berwarna hitam.

Mornitz.

"Akhirnya, bangun juga kau, bocah," kata laki-laki itu. "Bagus. Aku jadi tak perlu menyiram wajahmu. Tapi dari yang kudengar, sepertinya kau tak cocok lagi dipanggil bocah. Kau sudah berbuat layaknya orang dewasa di sini."

William mengedarkan pandangannya, karena ia mendengar suara tawa di dekatnya. Mereka sedang berada di tepi sungai di dalam hutan, dan ternyata memang ada beberapa orang lainnya di tempat itu.

Duduk di samping kiri Mornitz ada pemuda dengan rambut-rambut liar di sekitar dagu dan bibirnya. Hidungnya tampak bengkok, dan dia meringis sehingga wajahnya jadi kelihatan lebih menyebalkan dibanding Mornitz.

Di belakang pemuda itu ada laki-laki lain yang rambutnya sudah memutih. Ia mengenakan kain penutup kepala sampai ke leher. Tubuhnya kurus, wajahnya tirus. Yang satu ini hanya memandang tajam ke arah William.

Lalu di belakangnya ada dua laki-laki lain, bertampang kasar, yang tampaknya adalah para bawahan. Keduanya yang tertawa paling keras, mungkin karena yang paling bodoh dibandingkan dengan orang-orang lainnya.

Sejauh ini William belum mau mengakui bahwa mungkin dirinya justru adalah yang paling bodoh, karena bisa sampai tertangkap di sini.

Ia lalu teringat pada Boulder. Di mana dia? Apa dia ... mati?

"Apa yang kau inginkan?" tanya William hati-hati pada Mornitz. Ia melirik setiap musuhnya satu per satu. "Rogas? Dia sudah pergi dari Thaluk ..."

"Maka kita akan mencarinya, lagi. Ke mana pun, sampai dia mati. Kami akan membunuhmu lebih dulu, jadi dia bisa menyusulmu nanti, di neraka."

"Bukan dia lagi yang kita inginkan," suara serak membalas ucapan Mornitz, berassal dari laki-laki tua kurus yang menggunakan penutup kepala. "Rogas bukan urusan kita lagi."

Mornitz langsung menjawab dengan ketus, "Dia tetap jadi urusan kita! Sampai kapan pun."

Ia menatap pemuda di sampingnya dan berkata, "Rogas yang memukul hidungmu jadi seperti ini, Tuan. Masih ingat? Apa kau tidak mau memberinya pembalasan yang setimpal?"

"Kau tidak perlu menyebut-nyebut hidungku!" seru si pemuda kesal.

"Tuan Darron," si laki-laki tua berkata, "kita tidak jauh-jauh datang kemari hanya untuk memburu laki-laki tak berguna itu. Kalau kau melakukan ini semua dengan cara seperti yang dilakukan oleh Mornitz, kau akan merugikan dirimu sendiri. Percuma aku mengajarimu macam-macam."

Mornitz menggeleng-geleng geram. "Heh, kau pikir dirimu ini pintar, Brenis? Kau mau mengajari anak ini untuk jadi pengampun atau pelupa? Tuan Bellion tak pernah melakukan kesalahan seperti itu. Ia selalu membunuh jika seseorang menghalangi jalannya. Itulah yang membuat dia ditakuti."

"Jangan dengarkan dia," laki-laki bernama Brenis itu berkata lagi pada si pemuda berhidung bengkok. "Jangan buang-buang tenaga dan waktu untuk membalas dendam. Suatu hari kau akan jadi orang yang lebih besar dan lebih baik daripada ayahmu, percayalah."

Mornitz langsung tertawa. "Tuan Bellion saja sudah tidak percaya padamu dan mengusirmu pergi, kenapa orang lain harus percaya?"

"Tuan Bellion tidak mengusirku. Ia masih sangat percaya," balas Brenis dingin. "Jika kau tak mengerti masalah, tak usah banyak omong."

"Hei, kalian berdua, aku mengerti!" si pemuda bernama Darron berteriak kesal. "Kalian yang tidak usah banyak omong dan terus berbicara seolah-olah hanya kalian yang paling benar. Aku tahu apa yang kulakukan!"

Mornitz tersenyum masam, sementara si laki-laki tua mengangguk, tampaknya senang mendengar ucapan pemuda berhidung bengkok itu.

William lalu memandangi si pemuda dan berusaha mengembalikan ingatannya. Darron ini anak Tuan Bellion, kalau William tak salah ingat. Dialah, yang menurut Rogas, dulu memimpin gerombolan perampok dan bertempur melawan Rogas di selatan. Di tempat itu Darron terluka dan kabur. Gara-gara insiden itu Tuan Bellion menyuruh orang-orangnya mengejar Rogas sampai ke utara.

Tentu saja itu cerita dari sisi Rogas. Dari obrolan orang-orang di hadapannya ini, William yakin masalahnya tidaklah sesederhana itu.

"Kalau begitu silakan, Tuan," Mornitz berkata pada Darron. "Lakukan apa yang menurutmu paling benar."

Darron menatap William lekat-lekat. "William. Ehm, itu namamu, kan?"

William memandangi pemuda itu, yang tampak gugup. "Apa maumu?"

"Mmm ... Barangku. Aku percaya kau menyimpannya. Mana?"

"Barang?"

"Kalung!" suara Darron meninggi. "Yang diberi Rogas padamu!"

Dahi William berkerut. Apa yang dia maksud adalah kalung pemberian Rogas itu? Kalung keberuntungan? Ada di mana benda itu, ya?

Ia tidak ingat!

"Maksudmu, kalung jelek itu?" William mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Rogas memberikannya padaku, dua malam yang lalu di tepi sungai. Tapi aku tertidur tak lama kemudian. Ketika bangun, kalung itu sudah tidak ada lagi dan aku tidak memperhatikan. Lalu Rogas menghilang dari desa. Kalian paham? Kurasa Rogas mengambilnya kembali, dan membawanya."

"Mau coba-coba bohong?" Mornitz mengancam, lalu melirik pada Darron. "Kau mau aku memotong sedikit tubuhnya? Supaya dia mau jujur?"

"Aku tidak bohong, bangsat!" balas William. "Aku tidak tahu di mana benda itu! Kalau tahu, pasti langsung kuberikan! Aku tidak membutuhkannya."

Ia memandangi semua orang di depannya, yang kelihatannya belum percaya dan melanjutkan, "Menurutku sudah jelas, kalung itu sudah diambil Rogas lagi! Kalian tahu dia liciknya seperti apa. Kalung itu pasti ada di tangannya sekarang."

Brenis berdiri, lalu berjongkok di antara Mornitz dan Darron. Laki-laki tua itu mendekatkan wajahnya ke wajah William, mengendus-endus.

William menarik tubuhnya menjauh. Apa yang dilakukan orang ini?

Tak lama, Brenis menggelengkan kepalanya seraya menatap William. "Orang terakhir yang memegang benda itu adalah kau."

William balik menatapnya dengan sengit. "Kalau memang kau punya kemampuan mengendus-endus seperti anjing, kenapa tidak langsung kau gunakan itu untuk mencari bendanya? Rasakan udara di sekitarmu, lalu ikuti baunya. Mungkin kau akan menemukannya di suatu tempat!"

Sesaat kemudian pikiran buruk menghampiri William. Jika orang-orang ini percaya Brenis bisa mengendus seperti anjing, maka mereka tak akan membutuhkan William lagi, dan akan langsung membunuhnya di sini sekarang juga.

Sialan, William memaki dalam hati. Ia terlalu ceroboh. Ia harus mencari ide yang lebih baik supaya ia bisa mendapat kesempatan kabur.

"Sebentar, aku ingat!" cepat-cepat William berkata. "Rogas memberi kalung itu padaku saat kami ada di atas perahu. Saat itu aku sudah mengantuk. Aku tertidur, dan kurasa kalung yang kupegang itu mungkin jatuh ke sungai di samping perahu. Esok paginya saat bangun aku sudah benar-benar lupa dengan kalung itu. Ya, bagaimana tidak? Itu hanya kalung jelek—"

"Maksudmu, kalungku jatuh ke dalam sungai?!" teriak Darron histeris sambil menarik kerah baju William dan mengguncang-guncang tubuhnya. "Lalu hilang?!"

Northmen SagaWhere stories live. Discover now