Bab 103 ~ Pengepungan

202 72 1
                                    

William menggeram begitu nama Mornir disebut. Laki-laki itu adalah orang yang dulu memimpin pasukan Logenir menyerang desa-desa di selatan. William hampir membunuhnya dulu, tetapi sayangnya, dia berhasil lolos. Dan sekarang dia mendapatkan Vida. Benar-benar di luar dugaan.

William tahu kemampuan Mornir maupun Vida. Ia yakin, jika pertarungan satu lawan satunya berlangsung adil, Vida pasti bisa mengalahkan Mornir. Kini, Mornir mungkin berhasil mengelabui Vida, dengan cara mengeroyoknya atau entah bagaimana. William kesal, karena hal ini terjadi walaupun ia sudah mengawasi semuanya dari awal.

"Kumpulkan dua ratus orang yang masih sehat!" seru William. "Kita kejar mereka! Kita harus dapatkan Vida sebelum mereka membawanya ke Logenir!"

Hari sudah sore, dan sebentar lagi matahari terbenam, jadi mereka harus cepat. Jika sampai malam, akan lebih sulit mengejar di dalam hutan.

William langsung masuk hutan, tak ingin membuang waktu. Sambil berlari ia mendapat informasi, bahwa prajurit Vallanir yang mati atau terluka parah sekitar seratus lima puluh orang, sedangkan prajurit Logenir yang mati tiga ratus orang. Tidak ada yang terluka yang dibiarkan hidup.

Selama pengejaran, mereka menemukan sekitar seratus lagi orang Logenir yang terluka dan tak mampu berlari cepat. Hidup orang-orang itu pun berakhir saat itu juga. Maka jika dihitung-hitung pasukan Logenir masih ada lima ratus orang lagi, dua kali lipat jumlah prajurit Vallanir yang mengejar. Namun pasukan musuh itu sekarang sudah kocar-kacir dan seperti kehilangan komando, jadi berapa pun jumlah mereka saat ini tak ada artinya.

Menjelang petang William bertemu dua ratus prajurit Logenir di kaki tebing. Orang-orang itu banyak yang terluka dan tak mampu lari lebih jauh ke barat bersama tiga ratus prajurit Logenir lainnya. Mereka berusaha naik ke lereng bukit dan bersembunyi di balik batu-batu besar.

William dan pasukannya mengepung bukit itu.

"Kita harus membuat mereka turun, lalu memeriksa apakah Vida ada di atas sana, atau justru sudah dibawa ke Logenir," kata Krennar pada William. "Perkiraaanku Mornir ada di sini. Kabarnya ia terluka saat melawan Vida, jadi tak mungkin bisa berjalan jauh. Dan kalau Mornir ada di sini, berarti kemungkinan besar Vida juga, karena gadis itu adalah jaminan buat Mornir supaya dia bisa tetap hidup."

"Bagaimana kalau kita naik saja dan menghabisi mereka?" tanya Svenar.

"Walaupun mereka ada banyak yang terluka, tapi posisi kita di bawah, kurang menguntungkan bagi kita," tukas Krennar. "Akan ada banyak korban di pihak kita juga. Vahnar, bagaimana pendapatmu? Kau punya rencana buat memancing mereka turun?"

"Aku ingin membakar bukit ini," William berusaha menahan amarahnya yang menggelegak. "Asap dan apinya akan memaksa mereka turun."

"Membakar?" Svenar manggut-manggut, tertarik. "Boleh juga."

William menggeleng. "Tapi itu bisa membahayakan Vida juga."

Krennar menyahut, "Kalau begitu kita tunggu saja, sampai mereka lapar. Pasti turun."

"Aku tidak mau menunggu. Aku harus mendapatkan Vida malam ini."

William berjalan mendekati bukit. Ia menghentikan langkahnya di depan celah di antara tebing. Di sana ada jalan kecil tempat orang-orang Logenir tadi naik ke atas bukit.

Ia kemudian berseru, "MORNIIIR!"

Teriakannya lantang, menggema ke seluruh penjuru lembah.

Dijamin, tidak akan ada yang tidak merinding mendengarnya.

"Morniiir! Kau di atas?!"

Belum ada jawaban.

William menunggu beberapa lama, kemudian berteriak lagi, "Morniiir! Turun kau! Atau aku akan naik dan menghabisi kalian!"

"Morniiir! Turun, dan bebaskan Vida! Sedikit saja kau lukai dia, akan kupotong-potong tubuhmu sebelum aku membunuhmu!"

"Morniiir! Turun, maka akan kuampuni nyawa kalian semua! Kalau tetap di atas, maka aku akan datang membunuh kalian! Kalian mengerti?!"

"Morniiir! Bangsaaat! Turuuun!"

"Morniiir!"

"MORNIIIR!"

Begitulah, sepanjang malam William berteriak-teriak memanggil musuhnya, tanpa ada yang menanggapi. Apakah mereka takut, atau memang tidak mau menanggapi?

William tidak peduli dianggap sebagai orang gila. Ia tidak peduli dianggap sebagai orang bodoh. Ia tidak peduli dianggap sebagai roh pencabut nyawa. Ia hanya melakukan apa yang harus ia lakukan. Jika memang tak ada yang menjawab, maka ia akan naik, dan membunuh mereka semua.

Pada akhirnya, kesabarannya memang habis, dan ia pun bersiap naik.

Saat itulah, akhirnya terdengar balasan dari atas bukit.

"Vahnaaar!"

William belum membalas. Orang itu, mungkin Mornir, tahu namanya. Apakah berarti Vida yang memberitahunya?

Kalau iya, berarti gadis itu masih selamat!

"Vahnar! Aku mengenalmu! Kita pernah bertemu. Aku bersedia turun dan menyerahkan gadis ini! Asal ... kau biarkan kami semua kembali ke Logenir!"

"Turunlah! Bebaskan dia!" balas William. "Jika dia selamat dan tidak terluka, baru aku akan membebaskan kalian semua! Itu janjiku! Kalian dengar? Turun!"

"Biarkan seluruh prajuritku turun dan kembali ke Logenir lebih dulu!" balas Mornir. "Setelah mereka selamat, baru aku akan turun bersama gadis ini!"

William diam, memikirkan apakah kata-kata itu bisa dipercaya.

Sepertinya ia tidak punya pilihan. Ia menjawab, "Lakukan!"

Satu demi satu prajurit Logenir turun dari atas bukit.

Mereka tentu saja ketakutan, pada awalnya. Kalau mau, William dan prajurit Vallanir bisa membantai mereka semua saat ini. Namun janji harus ditepati. Orang-orang Logenir itu dibiarkan pergi. Jumlahnya seratus delapan puluh sembilan orang. Sebagian mampu berlari ke arah barat, sebagian lagi hanya bisa tertatih-tatih.

Saat prajurit terakhir sudah menjauh, suara Mornir terdengar lagi. "Aku akan turun, bersama gadis ini! Apa janjimu masih bisa dipegang?"

"Apa menurutmu janjiku tidak bisa dipegang?" balas William kesal. "Bagaimana dengan janjimu? Turun kalian sekarang! Akan kulihat dulu seperti apa kondisi Vida! Jika ia baik-baik saja, baru aku akan membebaskanmu!"

Tidak ada balasan sampai beberapa lama.

William sempat waswas, dan curiga jangan-jangan Vida sebenarnya terluka sejak tadi dan Mornir hanya sedang mengulur-ulur waktu.

Namun sosok mereka berdua akhirnya muncul dari balik batu. Tangan Vida terikat di balik punggungnya, dan mulutnya disumpal kain yang diikat ke belakang kepala, tetapi sepertinya dia baik-baik saja. Di belakang gadis itu ada laki-laki bertubuh besar berjanggut lebat yang jalannya terpincang-pincang. Laki-laki itu memegang pedang, yang diletakkan di atas bahu Vida, di samping leher gadis itu.

William hendak mendekat, tetapi Mornir cepat-cepat berteriak.

"Berhenti di sana! Sekali lagi, apa janjimu bisa dipegang?"

"Bawa Vida kemari, dan kau boleh pergi!" tukas William.

"Suruh semua prajuritmu menjauh!" teriak Mornir. "Sampai aku tak bisa melihat mereka!"

William menoleh pada Krennar yang sedari tadi menemaninya di kaki bukit. "Lakukan. Menjauhlah."

Krennar mengangguk. Dia mengajak dua ratus prajurit yang mengepung bukit untuk mundur, cukup jauh sampai ke tepi hutan.

Sepertinya puas, Mornir lalu mendorong Vida, menyuruh gadis itu berjalan ke arah William. William menggenggam gagang pedang yang tergantung di pinggang, bersiap-siap untuk mencabutnya seandainya musuhnya itu membuat kejutan.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now