Bab 52 ~ Orang-Orang Logenir

266 100 4
                                    

Vilnar melompati bebatuan naik ke dataran yang lebih tinggi di samping air terjun. Ia sengaja menghindari jalan terbuka yang biasa dipakai penduduk desa, dan juga jalan setapak yang mungkin dilewati orang-orang Hualeg.

Sebenarnya Vilnar tidak takut pada mereka, tetapi berdasarkan pengalamannya akan selalu lebih bijak jika keberadaannya tidak langsung diketahui oleh musuh. Membuat kejutan selalu lebih baik daripada dikejutkan.

Ia mendaki sampai ke atas air terjun. Mengendap di balik pepohonan yang cukup rapat, ia bergerak cepat menuju desa. Matahari hampir terbenam di sisi kanannya dan langit mulai gelap ketika Vilnar tiba di desa. Sesuai perkiraannya tempat itu sudah habis terbakar. Kejadiannya baru saja terjadi. Mayat-mayat bergelimpangan dan darah mereka terlihat masih segar.

Vilnar menahan amarah seraya menggenggam erat kapaknya dengan kedua tangan. Dengan hati-hati ia berjalan mengelilingi desa, sampai akhirnya tiba di pinggir sungai yang mengalir deras.

Di sebuah tanah lapang para penjarah dari utara tengah berkumpul. Mereka duduk mengelilingi api unggun. Beberapa orang menggerogoti daging rusa bakar, yang lainnya menikmati minuman hangat. Pedang dan kapak berlumuran darah tergeletak di samping mereka.

Satu, dua, tiga ... ada enam orang. Apakah semuanya ada di sini?

Orang-orang itu membawa tiga perahu besar, jadi seharusnya paling sedikit ada tiga puluh orang. Apakah yang lainnya bergerak lebih jauh ke selatan? Perahu panjang mereka masih ada di bawah air terjun, jadi mungkin orang-orang itu pergi dengan menggunakan perahu milik penduduk desa yang lebih kecil.

Dari balik belukar Vilnar memperhatikan orang-orang sebangsanya yang tengah makan itu. Ia tidak yakin mereka berasal dari Vallanir, karena tidak ada yang dikenalnya. Perlahan ia mendekat sambil tetap bersembunyi di balik rerimbunan, mencoba mendengarkan pembicaraan mereka.

Seseorang bertanya masih sambil mengunyah makanannya, "Hei, Togril, kita pulang ke utara besok, atau menunggu Rohgar?"

Rohgar? Vilnar mengenali nama itu! Anak kepala suku Logenir. Musuh bebuyutannya.

Yang dipanggil dengan nama Togril tampaknya adalah pemimpin kelompok kecil tersebut. Rambut merah panjangnya diikat di belakang leher. Senjatanya adalah pedang besar yang tersandar pada pohon di samping kirinya.

Lelaki itu menjawab datar, "Rohgar menyuruh kita menunggu, memperbaiki perahu dan mengumpulkan makanan. Ia akan kembali dalam sepuluh hari. Jika lewat waktu itu ia belum datang, kita boleh pulang dengan satu perahu."

Seorang lainnya meludah ke samping. "Ia menyuruh kita tinggal di sini karena ia tidak ingin kehilangan barang berharganya! Kalau kita pulang duluan, dia takut seseorang akan merebutnya!"

"Maksudmu ... seseorang di kampung kita yang akan merebutnya, atau salah seorang dari kita?" prajurit lainnya menimpali.

Mereka semua tertawa terbahak-bahak.

Hanya Togril yang tetap diam.

Seseorang berujar, "Rohgar dan yang lainnya enak-enakan menyerang ke selatan, sementara kita harus menunggu dengan bosan di sini selama sepuluh hari? Menurutku sudah jelas, kita semua cuma orang tolol karena mau menuruti perintah semacam itu."

"Ya! Orang tolol yang membiarkan barang berharga kita tersia-sia tanpa dipakai!" seru yang lain. "Semuanya cuma demi Rohgar?"

"Jangan sentuh dia," kata Togril. Tetapi tidak terdengar tegas, karena dari nada suaranya kedengarannya ia pun mulai bimbang.

Mendengarnya Vilnar coba menebak-nebak. Siapa yang dimaksud dengan 'dia'? Apakah ada orang lain di sini? Apakah penduduk desa?

Jika benar begitu, apa mungkin Vilnar bisa menyelamatkannya?

Itu tidak akan mudah. Togril dan kawanannya terlihat berbahaya. Belum lagi teman-teman mereka yang mungkin ada di dekat situ, termasuk Rohgar. Seandainya pun Vilnar bisa menolong, ia hanya akan memancing lebih banyak musuhnya datang kemari. Ia mungkin tak akan bisa lolos nanti.

Jadi, apakah berarti ... lebih baik ia diam saja, dan pergi dari tempat itu? Dan berpura-pura bahwa ini semua tidak pernah terjadi?

Vilnar menggeram. Ia belum bisa memutuskan. Tatapan matanya menyapu ke segala penjuru, ke arah semak-semak belukar yang gelap, mencari-cari orang lain yang dimaksud. Ia belum yakin apakah orang itu ada juga di dekat sungai, karena bisa jadi dia masih berada di desa dan terikat di sana.

Vilnar juga masih bingung, masih ragu apakah ia harus ikut campur atau tidak. Nafsu dendamnya menyuruh ia untuk maju dan langsung membunuh saja orang-orang Logenir ini, tapi otaknya memintanya menahan diri.

Sementara itu para prajurit di depannya berusaha menghasut, "Hei, Togril, apa lagi yang Rohgar cari? Dia sudah punya banyak budak dari selatan di desa, sementara kita semua terus saja jadi cecunguk! Apa mau begini terus? Memangnya kita tidak bisa bersenang-senang juga?"

"Betul, tidak ada salahnya, bukan?" sahut yang lain. "Kalau sudah puas, kita tinggal buang dia di sungai. Kalau Rohgar datang, kita bilang saja kalau wanita itu bunuh diri dan hilang di sungai. Beres, kan?"

"He, idemu boleh juga," salah seorang menyahut.

Mereka tertawa-tawa, kemudian saling memandang, sepertinya mulai menemukan kesamaan pendapat dan juga keberanian. Sesuatu yang sebelumnya cuma canda belaka, sekarang berubah jadi lebih serius.

"Bagaimana, Togril?"

Pemimpin mereka itu masih tetap duduk diam. Namun dari raut wajah dan juga tatapan matanya yang meragu, dan juga ikan yang kini diletakkannya walau baru separuh dimakan, tampaknya ia mulai terpengaruh.

"Hei, Togril," seseorang memanggilnya lagi.

"Ah, sudahlah. Kalau kau diam, kuanggap kau setuju." Seorang prajurit berdiri sambil menyeringai lebar. "Biar kuambil dia!"

Rekan-rekannya menyambut dengan tawa riang.

"Diam!" Teriakan Togril membisukan semua orang.

Semua orang terdiam di tempat masing-masing, tampak tegang.

Sesaat kemudian seringai lebar tersungging pula di wajah Togril.

"Aku yang duluan!" serunya.

Seluruh anak buahnya menyambut dengan sorakan. Dengan santainya Togril berjalan ke balik pepohonan dan menghilang. Tak berapa lama ia muncul lagi sambil menarik sesuatu dan melemparkannya. 'Barang berharga' mereka.

Seorang perempuan berambut hitam jatuh dan terbaring lemas di rerumputan. Rambutnya acak-acakan menutupi wajahnya. Dia mengenakan gaun panjang berwarna biru, yang masih utuh, tapi sudah tampak kecokelatan kotor terkena lumpur di sana-sini. Kedua tangannya terikat di atas kepala.

Togril menarik tangan perempuan itu dan menyeret tubuhnya sampai ke dekat api unggun. Wajah perempuan itu kini tepat menghadap ke arah Vilnar. Temaram cahaya jingga menyinarinya, sehingga kini Vilnar dapat melihat dengan jelas tatapan kosong yang keluar dari kedua mata perempuan itu.

Wajah yang masih sangat muda, tapi sudah cukup melihat kematian.

Sesuatu berdesir di hati Vilnar. Menggelegak kencang. Ia belum bisa menjelaskan apa yang sebenarnya ia rasakan, tetapi rasanya ini semua sudah cukup. Ketika ia melihat tangan Togril menyobek gaun perempuan itu diiringi oleh sorak-sorai anak buahnya, kemarahan Vilnar meletup tak tertahan.

Tanpa pikir panjang ia melompat keluar dengan kapak besar tergenggam di kedua tangannya seraya berseru, "Hoi! Bangsat! Matilah kalian semua!"

Northmen SagaOn viuen les histories. Descobreix ara