Bab 110 ~ Hancur

215 75 3
                                    

Pintu terbuka. Enam prajurit masuk. Karena gugup, dua orang terus mengacungkan pedang ke leher William, sementara empat orang melepaskan ikatan di tiang, dan menarik kedua tangannya agar terikat di belakang.

Ini berlebihan, pikir William. Kenapa mereka begitu takut padanya? Apa mereka pikir ia benar-benar manusia setengah dewa yang bisa melakukan apa pun? Lagi pula ia tidak berniat mencelakai mereka, atau kabur.

William berdiri, baru sadar bahwa ternyata kedua kakinya juga diikat saling berdekatan dengan menggunakan rantai besi, sehingga ia hanya bisa berjalan dengan langkah-langkah pendek. Untungnya ruang tahanannya letaknya cukup dekat dari balai desa, tempat ia nanti akan berbicara. Ia bisa cepat sampai di sana, tanpa perlu membuang-buang waktu.

Di dalam ruangan luas balai desa itu sudah ada cukup banyak orang yang berkumpul. Para pemuka desa, pengawal di sana sini, Erenar, Meralda, Tilda, Vida dan Freya, ada semua. Ia lihat di luar ada lebih banyak lagi.

William duduk di kursi di tengah-tengah ruangan. Di depannya duduk berderet Erenar bersama para tetua, seperti Krennar, dan yang lainnya.

Drinar, laki-laki tua bertubuh kurus itu yang tampaknya memimpin sidang. Ia berkata, "Vahnar, kau hadir di sini untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Kau didakwa melakukan percobaan pembunuhan terhadap kepala suku Vallanir, dan untuk itu kau dituntut hukuman mati.

"Namun Erenar, kepala suku Vallanir, telah menggunakan haknya dengan memberikan pembelaan terhadapmu, dengan menimbang jasa yang telah kau berikan pada suku Vallanir dalam pertempuran melawan musuh-musuh kita. Ia memberimu kesempatan untuk mengucapkan penyesalan dan juga bersumpah untuk tak lagi mengulangi perbuatanmu.

"Jika kami menilai penyesalan dan sumpahmu benar-benar tulus, maka kami akan mempertimbangkan untuk mengurangi hukumanmu. Sebaliknya, jika kau tidak menunjukkan penyesalan dan menolak untuk bersumpah, maka kami tetap akan menjatuhkan hukuman mati kepadamu."

Drinar menatap William. "Apakah kau mengerti?"

"Ya."

"Selama persidangan kami memintamu menghormati setiap orang dan tidak berusaha membuat keributan," lanjut Drinar. "Jika kami menilai kau berusaha mengacau, melanggar aturan atau melakukan perbuatan buruk lainnya, maka hakmu untuk berbicara akan dicabut, dan kami akan langsung menjatuhkan hukuman, sesuai dengan tuntutan sebelumnya, yaitu hukuman mati. Apakah kau mengerti?"

"Ya."

"Baik. Vahnar, dengan ini kau dipersilakan berbicara."

William memandang lurus ke arah Erenar yang duduk sekitar enam meter di depannya, lalu berkata, "Apa yang ingin kau dengar dariku? Yang kau butuhkan, atau yang sebenarnya?"

"Vahnar, kau sudah diperingatkan," Drinar menegur.

"Aku menyesal, dan aku bersumpah, demi ... Odaran?"

"Ya, demi Odaran."

"Oke." William mengangkat bahu.

"Apakah kau benar-benar menyesal?" tanya Drinar.

William memejam, teringat pada pembicaraannya dengan Vida. Ia tahu ia harus bisa menunjukkan rasa penyesalannya karena telah mencoba membunuh Erenar. Hanya dengan cara itu ia bisa diampuni.

Namun, setiap kali melihat wajah Erenar ia selalu teringat pada ayahnya, terbayang bagaimana saat ayahnya dulu dikhianati. Semua yang ia rasakan menjadi lebih buruk, ketika ia kemudian sadar, bahwa saat Erenar dulu menghasut Tarnar untuk membunuh ayahnya, itu berarti juga untuk membunuh ibunya, dan dirinya. Membunuh ibunya ...

Membunuh Ibu.

William merasakan sesuatu kembali menggelegak di dalam tubuhnya, dari perutnya, naik ke dada, lalu ke tenggorokan dan akhirnya ke kepala.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now