Bab 66 ~ Angin Dingin

232 82 3
                                    

Angin dingin berhembus di sepanjang tepian Sungai Ordelahr. Rasanya tajam menusuk sampai ke tulang-tulang. Vilnar memeluk erat si kecil di dadanya. Di sampingnya Ailene merapatkan tubuh di balik mantel kulit tebalnya. Sudah satu bulan memasuki musim gugur dan setiap hari angin bertiup semakin kencang di Hualeg.

Setelah hembusan angin reda Vilnar mengendurkan pelukannya. Ia melihat putranya tertawa-tawa seolah tidak terpengaruh angin dingin. Benar-benar bocah kecil yang kuat. Seingat Vilnar putranya itu memang belum pernah mengalami sakit atau demam. Tubuhnya dapat menyesuaikan diri dengan mudah dengan suhu Hualeg yang dingin.

Namun Ailene berbeda. Sejak tiba di Hualeg ia memang belum pernah sakit dan tak pernah mengeluh, tapi Vilnar tahu istrinya itu tetap kurang nyaman dengan cuaca dan suhu di utara.

"Sebaiknya kita kembali ke desa sekarang," kata Vilnar. "Hari memang masih siang, tapi matahari hampir terbenam dan angin semakin dingin."

Ailene mengangguk sambil menggandeng lengan Vilnar. Mereka berjalan menyusuri tepian sungai yang berbatu-batu warna putih, melawan hembusan angin.

"Kalau besok angin makin kencang ... dan pastinya begitu sampai musim dingin nanti, lebih baik kita jalan-jalan di sekitar desa saja," kata Vilnar.

Ailene menyandarkan kepalanya di bahu Vilnar. "Sebenarnya aku suka jalan-jalan di sini. Pemandangannya bagus. Pohon dan batunya. Juga suara airnya ..."

"Kau rindu rumah kita di selatan?"

"Ya."

"Kau ingin pulang?"

Ailene diam sejenak, sebelum menjawab, "Ya, tapi aku terserah kau. Kita bisa pulang jika memang sudah waktunya."

"Aku juga ingin pulang, Ailene. Tapi mari kita lihat dulu keadaan di desa satu atau dua minggu ke depan. Ayahku mungkin masih memerlukan aku. Biar kubereskan dulu beberapa urusan, supaya tak ada lagi hal yang mengganjal, setelah itu kita pulang sebelum musim dingin."

Vilnar berharap tidak terjadi sesuatu yang mengejutkan, dan mereka bisa pulang segera. Tapi ia tahu kondisi pada satu minggu ke depan agak sulit diprediksi. Hasilnya bisa menggembirakan, bisa pula sebaliknya. Semuanya tergantung pada hasil pertempuran melawan Logenir dan sekutunya. Belum lagi urusan dengan Patarag, kepala suku Andranir, yang harus diselesaikan. Urusan yang masih ia sembunyikan dari istrinya.

Mereka sampai di desa, tak jauh dari balai desa, dan hendak langsung kembali ke rumah, ketika kemudian terdengar suara teriakan dari arah utara.

"Pasukan kita sudah pulang!"

Para penduduk berlari keluar dari rumah masing-masing dan berkumpul di lapangan di depan balai desa. Wajah mereka tegang, terutama para wanita yang ditinggalkan suaminya ke medan perang.

Radnar juga sudah muncul di tengah-tengah penduduk. Ketika melihat kekhawatiran di wajah ayahnya, Vilnar segera merasakan hal yang sama. Ada hal gawat yang baru saja terjadi.

Vilnar langsung menyerahkan Vahnar pada Ailene dan menyuruh istrinya kembali secepatnya ke rumah besar. Ia tidak ingin Ailene melihat sesuatu yang dikhawatirkannya itu.

Rombongan prajurit Vallanir memasuki desa. Ekspresi wajah mereka sulit ditebak, apakah gembira atau sedih. Sebagian dari mereka mengusung jenazah rekan-rekan yang tewas.

Vilnar tertegun. Jumlahnya cukup banyak. Ia menghitung satu per satu yang datang, ada sekitar tujuh puluh jenazah.

Para istri yang menemukan suami-suami mereka kembali dengan selamat berteriak gembira dan saling berpelukan. Tapi yang menemukan suaminya kini pulang tidak bernyawa meraung sedih. Suasana gembira yang sempat terbentuk di awal pun lenyap seketika.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now