Bab 43 ~ Sang Penakluk

284 93 2
                                    

Pertempuran berdarah terjadi. Korban jatuh bergelimpangan dari kedua belah pihak. Jerit kesakitan dan kematian terdengar sahut-menyahut. 

William kembali membunuh paling banyak. Ia bergerak ke sana-sini, menyusup, melompat, menghindar, menebas, tak terhentikan. 

Namun seiring maut yang ia bawa, ia tetap tak kuasa menghindarkan teman-temannya dari kematian. Alend yang bertempur di dekatnya gagal lolos dari sergapan prajurit Hualeg. Kepalanya hancur terhantam kapak dan pemuda itu mati seketika.

Tak lama giliran Mullen. Rekannya yang bertubuh kekar itu berusaha menangkis kapak seorang Hualeg yang coba menyerang William dari belakang, tapi kapak Hualeg lainnya menghantam dari samping. Mullen roboh bersimbah darah dengan kapak tertancap di punggungnya. 

William berteriak marah, mengamuk. Tanpa ampun pedangnya berputar membunuh kedua prajurit Hualeg yang menyerang Mullen, kemudian membantai lebih banyak.

Pasukan Hualeg terdesak. Jumlah mereka menurun drastis. Terdengar teriakan panjang dalam bahasa Hualeg, seolah memberi komando. 

Sesaat William tertegun, kemudian paham. Mornir dan prajuritnya yang tersisa berupaya kabur. Orang-orang utara itu berbalik arah lalu lari menjauh, menyusup di antara pepohonan dan belukar, menuju ke arah barat.

"Dua puluh orang! Yang masih kuat! Ikut aku!" seru William. "Lainnya, bantu yang terluka!"

Berusaha menepis kelelahannya, ia mengejar Mornir dan prajuritnya. Sekelompok rekannya mengikuti, jumlahnya tak mencapai dua puluh, tapi William tak peduli. 

Ia berhasil mendekati prajurit Hualeg yang lari paling belakang, dan langsung menyabet punggung musuhnya itu hingga terbelah. Ia terus maju menerabas semak yang menghadang. Begitu menemukan prajurit-prajurit Hualeg berikutnya ia membantai mereka satu demi satu.

Prajurit Hualeg yang tersisa berteriak-teriak ngeri seolah dikejar setan. Ketika akhirnya mereka sampai di dekat desa, tinggal tersisa Mornir dan dua prajuritnya. 

Orang-orang utara itu lari menuju desa, dan William terus mengejar, tak peduli bahwa tak jauh di depannya ada puluhan prajurit Hualeg lain yang sudah datang menyambutnya, siap membantu Mornir.

William berteriak garang. Emosinya sudah menutupi seluruh pikirannya. Rekan-rekannya mengikutinya. Jumlah mereka hanya separuh dari pasukan Hualeg, dan juga masih lelah, tetapi melihat William yang bertarung dengan sangat mengerikan seolah tanpa takut tampaknya semangat mereka ikut terbakar, dan mulai percaya bahwa mereka bisa menang. 

Mereka maju dengan keberanian yang bahkan membuat orang-orang Hualeg gentar.

William merangsek, mengayunkan pedang ke setiap musuh di dekatnya. Menebas, melontarkan bagian tubuh mereka ke berbagai arah. Setiap tusukan dan tebasannya mematikan, setiap gerakannya cepat bertenaga. Pasukan Hualeg tercerai berai dan akhirnya terdesak hingga ke jalan utama.

Saat itulah William akhirnya bisa berhadapan dengan Mornir. Begitu melihatnya, William tak membuang waktu dan langsung menyerang dengan tebasan dari atas ke bawah. 

Namun laki-laki Hualeg itu cukup gesit. Dia menghindar, kemudian menangkis, mengimbangi beberapa kali ayunan pedang William. Putaran kapak pemimpin suku Logenir itu juga tak kalah bertenaga saat balik menyerang. Bahkan pada satu kesempatan tubuh William hampir saja terbelah menjadi dua jika saja ia tak melompat ke samping.

William terjengkang ke rerumputan. Seorang prajurit Hualeg lainnya ikut campur dan kini mengayunkan kapak dari atas siap memotong perutnya. William berguling cepat lalu menusuk perut musuhnya. Prajurit Hualeg itu meraung sekarat. 

William berupaya bangkit, cepat-cepat menarik tubuh si prajurit Hualeg untuk dijadikan perisai ketika kapak Mornir kembali datang ke arahnya. Kapak menancap di punggung si prajurit dan William mengayunkan pedangnya, berhasil menjatuhkan kapak itu dari tangan Mornir.

Tanpa senjata utamanya, si pemimpin Logenir blingsatan panik. William berdiri, meraung ke arahnya untuk menakuti-nakuti sekaligus menyingkirkan rasa lelah yang mendera. 

Mornir mundur sambil mencabut pedang pendek dari sisi pinggangnya, lalu melirik ke kiri dan ke kanan. Melihat kekalahan yang dialami pasukannya agaknya semangat Mornir mulai hancur. Dia berteriak, meminta seorang prajurit Hualeg di dekatnya untuk membantu. 

William terpaksa melayani musuh barunya, dan melepaskan Mornir pergi.

Mornir lari menuruni jalanan berbatu ke tepi sungai. Sejumlah prajurit Hualeg yang putus asa lari mengikutinya. Ketika akhirnya William berhasil membunuh musuhnya yang terakhir dan mengejar ke tepi sungai, sebuah perahu panjang sudah melaju sampai ke tengah sungai. 

Mornir dan dua belas prajurit Hualeg ada di dalamnya, mendayung kencang ke utara.

"Logeniiir!" William berteriak lantang dengan amarah yang meluap-luap. "Kembali kalian! Biar kubunuh kalian semua! LOGENIIIR!"

Ketiga belas orang Hualeg di perahu itu hanya berani memandang. Semuanya terdiam, tak ada yang berani menanggapinya.

Tersengal, William menoleh pada para prajuritnya yang baru datang. Di antara mereka ada Rogas dan Thom.

"Kenapa lama sekali kalian datang?" teriak William kesal.

Rogas menggeleng. "Menurutku kita sudah cukup--"

"Kita kejar mereka! Ambil perahu! Kumpulkan semua orang!"

"William!" Rogas berseru. "Sudah cukup! Kau dengar?" Napasnya naik turun, lalu ia memegang bahu William, "Cukup. Sudah selesai. Kau mengerti?"

Untuk beberapa saat William hanya bisa memandangi rekannya itu tanpa berkata-kata, belum benar-benar paham apa maksudnya.

"Kau sudah menang." Rogas tersenyum. Matanya tampak berkaca-kaca. "Kita menang."

Barulah William tersadar. Matanya ikut basah. Dadanya bergemuruh. Tangannya gemetar. Ia memandangi pedangnya yang penuh darah, lalu mayat-mayat yang bergelimpangan di sepanjang jalan yang dilewatinya.

Seluruh ingatannya kala membunuh setiap musuh, ketika semua orang itu tersambar pedangnya, saat jerit kematian mereka terdengar tanpa henti, memenuhi benaknya. 

Amarah, nafsu, kesedihan, semuanya bergolak ingin keluar, dan akhirnya lepas tak tertahan. Ia menjatuhkan pedangnya, berteriak.

"Hei ... Sudahlah." Rogas merangkul bahunya. "Semua sudah selesai."

William jatuh berlutut ke tanah seraya menutupi wajahnya. Apa yang baru saja terjadi? Ia yang melakukan ini? Membunuh mereka semua?

Matanya memejam. Dalam gelap ia berusaha menenangkan diri, mencoba menyingkirkan ingatan buruk di kepalanya, yang ia sadar pasti akan berdiam di sana selama-lamanya. 

Pada akhirnya ia tahu harus menerimanya. Ia benar-benar telah melakukan ini, dan ia harus menerimanya apa pun akibatnya. Buat dirinya. Buat jiwanya. Bahwa seperti inilah dirinya yang sekarang.

Thom mendekat, memandang ke arah William dan Rogas bergantian. "Hei, kenapa kau tadi memanggilnya William? Bukan Tuck?"

Rogas tertawa. Ia memandangi semua orang yang berkumpul.

"Teman-teman," serunya sambil menarik William agar kembali berdiri. "Sekarang, dengarkan ini! Akan kusampaikan sesuatu yang sangat penting. Pemuda ini, namanya bukan Tuck! Saat-saat luar biasa seperti ini ... adalah sesuatu yang hanya akan terjadi satu kali dalam hidup kalian, yang nanti akan kalian ceritakan dengan bangga kepada anak cucu kalian. Saat-saat ketika kalian bertarung bersama pemuda ini, dan menang! Dan tentu saja, sudah seharusnya kalian semua tahu namanya yang sebenarnya. Jadi dengarkanlah, dan ingat baik-baik namanya ini! Dia, nama pemuda ini, adalah ... Tuck!"

"Hah?" Semua orang melongo.

"Oh, ralat." Rogas menyeringai senang. "Namanya William! William! Kalian dengar? William, sang penakluk orang-orang Hualeg!"

Northmen SagaWhere stories live. Discover now