Bab 79 ~ Legenda

229 79 4
                                    

"Kamu tahu senjata apa yang dimaksud?" tanya Freya.

"Mmm ... pedang? Atau kapak?" William menebak-nebak.

"Anvasar, sebuah martil yang lebih dahsyat daripada senjata apa pun. Dulu senjata milik Anthor, Dewa Guntur. Menurut kisah, Anthor menggunakan martil itu untuk membelah bumi dan menciptakan jalan ke langit saat Perang Dewa-Dewa berakhir, guna memberi jalan kepada semua dewa untuk kembali ke langit. Karena jika tidak, mereka akan dimusnahkan di bumi."

William manggut-manggut.

"Namun Ethrak, hewan buas dari dalam perut bumi menangkap Anthor. Anthor yang terluka menyerahkan senjatanya agar ia bisa dibebaskan dan pergi ke langit. Juga sebagai jaminan, bahwa Ethrak tidak akan dimusnahkan walaupun bumi terbelah, tetapi dengan syarat Ethrak tidak boleh mengganggu manusia di dunia yang baru. Ethrak setuju. Dia mengambil Anvasar dan selamat dari kehancuran, lalu selama ribuan tahun tidur dengan tenang di dalam guanya."

Freya bercerita dengan suara yang jernih, jauh lebih indah dibanding para pendongeng kelas kampung yang pernah didengar William di desanya. Pemuda itu terpukau, merasakan dirinya terbawa masuk ke dalam kisah itu.

"Masa demi masa berlalu, Signar lalu mendapat bisikan mengenai keberadaan martil itu. Juga bahwa Ethrak, yang kini sudah tua dan menjadi seperti beruang biasa, kabarnya bersedia menyerahkan martilnya. Signar pun berkata, bahwa suku kami mendapat berkah dari Anthor. Ia nanti akan menggunakan Anvasar untuk mempersatukan Hualeg, setelah itu ia akan mengembalikannya ke Anthor.

"Maka selama bertahun-tahun ia mengirimkan prajurit ke berbagai penjuru. Setelah bertahun-tahun seorang prajurit berhasil menemukan lokasi Ethrak. Signar bergegas ke sana. Tanpa diduga, malangnya, ia mati, dibunuh oleh Ethrak. Para prajuritnya pulang dan memberi kabar duka pada putranya, yang marah dan lalu pergi juga untuk menghadapi makhluk itu. Namun mereka mati juga, semua yang pergi.

"Bisikan dewa, yang awalnya seperti berkah, berubah menjadi bencana. Signar meninggalkan Vallanir dalam keadaan lemah. Suku kami, yang awalnya adalah suku terbesar di Hualeg, kalah melawan suku lain, dan kami kehilangan banyak tanah. Semenjak itu legenda Signar dilupakan. Keberaniannya tak lagi diingat, hanya kegagalannya.

"Cerita yang kemudian berkembang adalah bahwa dulu itu bukan Anthor yang berbisik padanya, melainkan hanyalah jampi-jampi dari musuh yang menginginkan kehancuran Vallanir. Hal inilah yang kemudian dipercayai kebanyakan orang."

Freya menghentikan ceritanya, lalu meraih minuman di sampingnya. Ia minum sampai tiga kali teguk, sebelum kemudian kembali menatap William.

"Tapi ... kalian tetap percaya bahwa Dewa Anthor yang berbisik pada Signar?" William berusaha mengerti inti cerita Freya. "Bahwa Ethrak memang menyimpan senjata dewa itu?"

"Ya. Vida meyakinkan kami supaya percaya." Freya meringis seraya menoleh pada si gadis jangkung berambut kuning di belakangnya.

"Dia bilang begitu, dan kalian langsung percaya?" tanya William.

Vida menoleh, menatapnya tajam, tetapi lalu berbalik, mendayung lagi.

"Terus kenapa?" tanya Freya. "Aku tidak boleh percaya pada kakakku?"

"Bukan begitu," tukas William. "Aku hanya ingin tahu, apa yang membuat kalian semua percaya."

Freya tertawa kecil. "Kalau buatku, karena Vida itu orang paling pintar dan paling bisa dipercaya di desa. Dia belajar banyak hal. Sejarah, cerita-cerita kuno, bahasa orang-orang asing, membaca peta. Dia bahkan bisa berbahasa orang selatan. Betul, kan?"

"Ya ... betul." William mengangguk-angguk setuju. "Dan dia juga belajar menghajar dan memenggal kepala orang. Kurasa dia paling ahli di bidang itu."

Freya tertawa lebih keras. Dari belakang juga terdengar suara tawa Gunnar dan Adhril. Sementara di depan sana Svenar berusaha menahan tawanya. Tentu saja, kalau tidak ia pasti sudah langsung dihajar Vida yang duduk tepat di belakangnya.

"Orang sepintar Vida pasti punya alasan kuat kenapa bisa percaya pada legenda semacam itu," William memancing.

"Ya, aku punya." Suara nyaring Vida terdengar.

"Nah," William senang karena gadis itu akhirnya mau menanggapi. "Barangkali kamu mau cerita juga? Pada kami? Kan tidak ada salahnya ..."

Sayangnya gadis itu kembali diam. Dia tetap mendayung.

Freya yang berkata, "Menurut Vida, kenyataan bahwa Ethrak ada, dan bahwa dia bukan beruang biasa, menunjukkan bahwa kisah Anthor itu benar."

"Aku tidak percaya, kalau hanya itu alasannya," sahut William.

"Kenapa?" tanya Freya. "Sepertinya ... kamu juga tahu sesuatu."

"Biarkan aku bercerita juga," kata William. "Di selatan aku pernah mendengar cerita yang hampir mirip dengan ceritamu. Campuran antara cerita dari ibuku, yang pasti bisa kupercaya, dan cerita dari sekumpulan pemabuk di desa, yang kemungkinan besar adalah para pembohong. Tentang Ern, kaum malaikat yang diturunkan untuk tinggal di bumi, ketika bumi masih berupa daratan luas yang dipayungi pohon suci Eviendares. Merekalah yang dulu mengajari manusia pertama segala macam, termasuk ilmu langit seperti pergerakan air, angin, tanah dan api."

Cerita semacam ini tampaknya membuat Vida tertarik. Gadis itu langsung menoleh, berhenti mendayung dan kini duduk menghadap William.

William melanjutkan, "Sedemikian ahlinya manusia-manusia dalam mengendalikan air, angin, atau api, sampai akhirnya malah menimbulkan kecemburuan para malaikat. Timbul perpecahan dan peperangan. Malaikat melawan manusia, malaikat melawan malaikat, manusia melawan manusia. Dan itu membuat Tuhan marah, lalu menghancurkan semuanya. Di atas daratan yang lama dibuatlah daratan yang baru, tempat tinggal kita sekarang."

William memandangi pendengarnya. Baik Freya maupun Vida kini menatapnya tanpa berkedip. "Mirip dengan ceritamu, Freya, ada kisah tentang senjata peninggalan perang besar, yang kabarnya tersembunyi di suatu tempat," kata William. "Ada yang bilang senjata itu berada di dalam hutan lebat di sebelah barat, ada yang bilang di pegunungan timur, ada pula yang bilang disimpan di daratan yang sangat jauh di selatan, di seberang lautan.

"Namun, tidak pernah ada yang berhasil menemukan senjata itu. Jadi, mungkin saja cerita itu benar, mungkin juga tidak, tapi menurutku legendamu tak ada bedanya dengan legenda-legenda lain yang kudengar di selatan. Pada akhirnya hal itu hanya akan membuat kita menyia-nyiakan nyawa untuk sesuatu yang belum tentu benar. Seperti Signar dan anak-anaknya. Seperti kita." William menatap Vida dengan tajam. "Kamu tidak terpikir, Vida, kalau kemarin itu kita bisa mati, untuk sesuatu yang mungkin sia-sia?"

Vida tertawa mendengar ucapan William. "Kamu kini berpikir soal menyia-nyiakan nyawa? Memangnya apa bedanya sama kegilaan kamu saat berperang melawan orang Logenir? Tidak ada yang senekat kamu."

"Itu ... tentu saja beda!" William membantah. "Aku dulu melakukannya karena harus melindungi orang-orang di desa, melindungi teman-temanku."

"Apa bedanya dengan sekarang?" Vida membalas dengan datar. "Kamu kemarin melakukannya untuk melindungiku."

"Tapi bukan itu tujuan awal kita pergi. Kita pergi untuk membunuh!"

"Tujuanku lebih dari itu," tukas Vida. "Aku seperti Signar, ingin berbuat sesuatu untuk negeriku. Kedudukan kami sulit di utara, dan aku harus punya sesuatu yang bisa melindungi Vallanir. Selama berpuluh-puluh tahun tak pernah ada yang mau melakukan hal ini. Itulah kenapa aku pergi. Silakan kalau kamu hendak mencela niatku, aku tidak peduli."

"Aku tidak mencela niatmu." William menarik napas lambat-lambat sambil memandangi gadis itu.

Walaupun Vida masih tampak keras, William senang karena dia kini mau bicara tentang keinginannya. Dan ia menyukainya, karena Vida pergi bukan sekadar mencari kesenangan atau memuaskan nafsu membunuh.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now