Bab 8 ~ Pesan Dari Mimpi

537 150 7
                                    

Ailene memperhatikan putranya yang keluar dari rumah tanpa berkata apa-apa lagi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ailene memperhatikan putranya yang keluar dari rumah tanpa berkata apa-apa lagi. 

Termenung sejenak, ia kemudian melanjutkan merajut di depan perapian. Suara derik kayu bakar menemani Ailene, tetapi samar-samar ia mendengar pula suara kelebatan angin dari arah halaman. Sepertinya William kembali berlatih memainkan pedangnya. Padahal malam sudah larut.

Ailene sebenarnya tidak begitu suka jika putranya itu menghabiskan waktu terlalu lama dengan pedangnya, apalagi jika sudah malam begini. 

Juga karena itu adalah pedang yang entah didapatkan oleh William dari mana. Ailene tidak yakin pedang itu diberikan oleh Bortez Si Pandai Besi, jadi kemungkinan besar William meminjamnya dari seorang pensiunan prajurit di desa, kemudian setelah beberapa lama akhirnya menjadi milik William.

Sebuah pedang akan mendekatkan William pada kehidupan yang keras, yang ingin dihindari oleh Ailene. Karenanya ia tidak suka. Namun, di sisi lain ia tak bisa melarang putranya. Melarang William menggunakan pedang sama saja dengan melarang putranya itu untuk menjadi laki-laki. 

Ya, mungkin saja bisa pada awalnya, tapi Ailene tahu pada akhirnya akan sia-sia belaka.

Lagi pula, hal ini ada baiknya juga. William punya energi yang meluap-luap. Dengan berlatih pedang ia bisa melampiaskan emosinya, jika memang dia sedang kesal. Toh dia tidak melukai siapa pun. Setelah dia lelah berlatih, Ailene tahu, kekesalannya nanti akan hilang dan dia bisa tidur nyenyak.

Walau demikian Ailene tetap merasa khawatir. Pembicaraan antara ia dan putranya malam ini bukanlah sesuatu yang akan hilang dari ingatan begitu saja dengan mudah. Bahkan mungkin tidak akan pernah hilang.

William sudah memberikan janjinya bahwa dia tidak akan lagi bertanya-tanya mengenai ayahnya. Namun Ailene tahu betul, putranya itu selalu punya keinginan yang tidak bisa dihentikan jika sudah telanjur meledak. 

Tidak ada jaminan bahwa suatu waktu nanti William tidak akan pergi ke Hualeg untuk menuntaskan seluruh rasa ingin tahunya, dan juga dendamnya.

Ailene pun menjadi gelisah dan tiba-tiba merasa bersalah. Apa jadinya jika nanti William benar-benar pergi ke utara dan melanggar permintaan ayahnya? Bagaimana Ailene berani menemui suaminya di akhirat nanti?

Ia kini menyesal. Seharusnya ia bisa menyembunyikan cerita soal Vilnar dan sukunya ini lebih lama lagi, dan bahkan kalau perlu selamanya.

Sekarang semuanya sudah terbuka, dan tak akan bisa ditutup lagi.

Malam itu Ailene tak dapat tidur dengan nyenyak. Setiap hendak mencoba tidur, wajah Vilnar seolah muncul di hadapannya, menatapnya penuh amarah, menyalahkannya karena telah menceritakan masa lalu mereka kepada William. 

Ketika akhirnya ia berhasil tertidur, sosok itu kemudian datang pula dalam mimpinya dan memarahinya lagi.

Ailene terbangun, dan rasa sedih memperburuk kondisi tubuhnya.

Satu hari berlalu. Keesokan harinya Ailene merasakan dadanya semakin sakit. Ia terbatuk-batuk tanpa henti. Ailene berharap William yang tidur di kamar sebelah tak sampai mendengarnya. 

Namun itu jelas tidak mungkin. Saat tengah malam putranya masuk ke kamarnya.

Melihat kondisi Ailene yang semakin lemah, William langsung berseru dengan setengah menangis, "Ibu, aku benar-benar minta maaf, karena telah membuatmu sakit seperti ini!"

Ailene membalas dengan napas terputus-putus. "Jangan. Jangan berkata seperti itu. Aku cuma ... tidak bisa tidur."

"Aku akan mencari Tuan Kanlon. Ia punya obat untuk Ibu."

"Tidak usah .... Kau ... temani aku saja malam ini. Mungkin aku akan bisa tidur dengan nyenyak ... jika kau ada di sampingku."

William pun duduk menemani Ailene sepanjang malam. Ternyata benar, malam itu Ailene bisa tidur dengan nyenyak, walaupun ternyata mimpi tetap datang padanya.

Hanya saja mimpi kali ini berbeda. Rasanya lebih indah.

Sosok suaminya kembali datang, dan kali ini tersenyum padanya. Tangan laki-laki itu membelai kepala Ailene dengan lembut. Dia berkata, "Ailene, aku bahagia bisa bertemu lagi denganmu."

Ailene menangis. "Apa maksudmu? Kemarin malam kau datang memarahiku karena aku menceritakan masa lalu kita."

"Mereka yang datang itu bukan aku. Jangan percayai mereka, jangan pedulikan mereka. Kau tahu aku tak pernah dan tak mungkin marah padamu."

"Aku rindu .... Aku ingin bersamamu."

"Ailene, kita akan berkumpul lagi. Tapi sebelum itu, aku ingin kau melakukan satu hal penting. Sampaikan pesanku kepada putra kita. Katakan padanya: jadilah lelaki terhormat yang mampu menjaga perilakunya, dan menjadi cahaya bagi orang di sekitarnya, seperti arti dari namanya, Vahnar Vallanir. Batu Bercahaya dari Vallanir. Katakan, jangan pernah ragu untuk berdiri teguh, serta menjunjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan. Ia tak perlu ragu, karena semua nilai itu sebenarnya sudah ada dalam dirinya, jika ia berani mencarinya, dan selalu jujur pada dirinya sendiri."

Ailene menggeleng-geleng, tidak yakin. "Putramu masih sangat muda. Aku takut ia tak akan mampu memenuhi harapanmu yang tinggi jika tak ada yang menunjukkan jalan itu kepadanya."

"Dia akan belajar. Ya, dia akan jatuh, dan mungkin hancur, tapi dia akan bangkit. Itulah jalan yang harus dia lalui. Sebentar lagi dia dewasa. Ailene, kau sudah memberinya nasihat yang terbaik. Tetapi akan tiba waktunya bagi dia untuk memilih sendiri jalan hidupnya, sementara kita, hanya tinggal bisa berdoa, semoga pilihannya itu adalah yang terbaik untuknya."

Ailene mengangguk masih sambil menangis. "Akan kusampaikan."

"Bangunlah, dan sampaikan sekarang. Sampaikan padanya bahwa aku sangat mencintainya dan bangga kepadanya."

"Saat aku bangun, apakah kau akan pergi lagi dariku?" tanya Ailene.

"Aku akan menunggumu di sini," jawab sosok laki-laki itu.

"Kalau begitu tunggu aku."

Ailene terbangun. 

Kali ini dengan gembira ia menepuk bahu putranya yang tertidur di sampingnya. "Bangunlah, William. Aku baru saja bertemu ayahmu, dan ia punya pesan untukmu."

William terheran-heran mendengarnya, tapi Ailene tak peduli dan menceritakan seluruh mimpinya. Setelahnya ia bisa tersenyum lega, karena seluruh rasa sakitnya seolah telah lenyap.

Namun mendengar ucapannya, William justru malah tampak sedih. "Ibu, aku berharap ayahku bisa bicara langsung kepadaku, karena aku ingin bertemu dengannya, dan melihat seperti apa rupanya dan seperti apa suaranya."

"Kau akan bertemu dengannya, tapi nanti. Masih lama. Untuk saat ini, aku akan menemuinya lebih dulu. Ia sudah menungguku."

Wajah William langsung pucat. "Apa ... apa maksud Ibu?"

"William, aku akan tidur kembali."

Ailene merebahkan tubuhnya di tempat tidur, kemudian membelai wajah putranya dengan lembut. "Aku telah mengatakan banyak nasihat selama hidupku. Aku tak akan mengatakannya lagi. Kau sudah tahu mana yang terbaik untukmu. Cintaku selalu bersamamu. Jaga dirimu baik-baik. Tuhan memberkati kita."

William terpana. Ia tak mampu berkata-kata dan hanya bisa menangis. 

Ailene kembali tersenyum melihatnya, karena baginya hal itu tidak apa-apa. Ia tahu cinta putranya tidak perlu lagi diucapkan dengan kata-kata. Dalam hati ia mengucapkan selamat tinggal pada putranya, lalu memejamkan matanya.

Malam itu Ailene tertidur, dan tidak bangun kembali.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now