Bab 73 ~ Penyesalan

215 77 4
                                    

Ailene menggeleng dan menangis setelah mendengar penjelasan Vilnar. 

Ia bertanya, "Apakah ini benar keinginanmu?"

Dahi Vilnar berkerut. "Apa maksudmu?"

"Menjadi kepala suku. Apakah itu memang keinginanmu?"

Vilnar termenung memikirkan kata-kata itu.

Ia lalu menggeleng pelan.

"Tidak, itu ... sebenarnya tak pernah menjadi keinginanku. Tapi ... itu keinginan ayahku, dan juga tanggung jawabku, pada suku Vallanir. Jadi tak penting itu keinginanku atau bukan; aku harus melakukannya."

"Apakah sukumu benar-benar membutuhkan dirimu?"

Vilnar terdiam lagi. Ya, apakah mereka memang membutuhkan dirinya?

Ia sendiri mulai tidak yakin setelah melihat perlakuan yang ia terima dari semua orang hari ini. Baginya, jika mereka sampai melukai Ailene dan memperlakukannya secara tidak hormat, berarti mereka melakukan hal itu pada Vilnar juga.

Ailene melanjutkan, "Karena ada dua orang di sini yang amat membutuhkanmu melebihi semuanya. Dua orang yang tak mungkin bisa hidup jika kau sampai tidak ada lagi."

Vilnar terhenyak. Seluruh ucapan istrinya benar. Ada Ailene dan Vahnar di sini. Apakah ia memikirkan nasib mereka kala ia menantang musuh-musuhnya tadi?

Vilnar terduduk lemas di tepi tempat tidur. Semangat tempurnya yang menggebu-gebu menguap. Ia selalu dikenal sebagai seorang yang adil dan teguh pendirian, juga berani dan kadang ceroboh. Kini, begitu melihat tangisan istrinya ia tahu bahwa ia mungkin telah membuat kesalahan. Karena apa pun yang terjadi besok, menang atau kalah, begitu ia mengejar musuh-musuhnya, maka ia tidak hanya membahayakan keselamatan dirinya sendiri, tapi juga keselamatan dan kelangsungan hidup istri dan anaknya.

Menang atau kalah, menjadi kepala suku atau tidak, semuanya ternyata tidaklah penting kemudian. Apakah semua itu ada artinya jika kemudian ia harus kehilangan istri dan anaknya?

Kalaupun ia berhasil menyingkirkan musuh-musuhnya saat ini, lalu apa yang akan terjadi selanjutnya? Bukankah ia hanya akan menumbuhkan musuh-musuh baru yang berikutnya?

Jika itu terjadi, berapa banyak orang lagi yang harus ia singkirkan supaya ia dan keluarganya bisa terus hidup dengan aman dan nyaman? Apakah seluruh keluarga musuh-musuh mereka? Seluruh rakyat suku mereka? Berapa banyak darah yang harus ia tumpahkan?

Betapa besar bencana yang akan terjadi!

Betapa besar dosa yang ia perbuat! Betapa besar malu yang harus dipertanggungjawabkan ayahnya di depan para dewa!

Rasa malu dan takut pelan-pelan menyingkirkan amarahnya. Vilnar hampir menangis membayangkan semua itu.

Ia mulai menyesali semua yang dilakukannya belakangan, menyesali mengapa ia sampai berani mengambil resiko yang terlalu besar dengan menantang kedua kakaknya padahal ia sama sekali tidak punya sekutu. Kalau ia masih hidup seorang diri, tidak ada masalah karena ia berani menghadapi mereka semua. Tapi ia kini memiliki keluarga. Ada yang lebih penting daripada sekadar pembalasan dendam.

Siapa bilang ia seorang lelaki yang tak kenal takut? Sekarang adalah saat yang paling menakutkan baginya!

Vilnar menciumi kepala istrinya dan mendekapnya erat-erat.

"Kau benar, Ailene. Aku tidak berpikir panjang. Ketika aku berbicara dengan mereka, aku hanya memikirkan diriku sendiri sebagai seorang anak kepala suku. Padahal sekarang aku sudah menjadi seorang yang berbeda. Aku seorang suami, dan juga ayah. Kau berkata bahwa kalian berdua sangat membutuhkan aku, dan tidak bisa hidup tanpa aku. Yang sebenarnya, justru akulah yang sangat membutuhkan kalian, aku tidak bisa hidup tanpa kalian. Tanpa kalian, hidupku tak berarti."

"Vilnar, aku tahu kau ingin menjadi anak yang berbakti kepada ayahmu, sebagaimana aku menginginkan anak kita kelak menjadi anak yang berbakti kepadamu. Tapi sebagai istrimu aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku akan selalu mendampingimu, hidup dan mati. Aku akan mendukung apa pun keputusanmu, bahkan jika ... aku harus mengorbankan nyawa." Namun nada suara Ailene kemudian berubah. "Tapi, ... bagaimana dengan anak kita?"

Vilnar menggeleng-gelengkan kepalanya, bibirnya bergetar. "Aku tidak ingin kau mati di sini! Aku tidak ingin anakku mati di sini! Kalau itu terjadi, itu akan menjadi kesalahan terbesar dalam hidupku!"

Ailene menangis. "Itu akan menjadi kesalahan terbesar bagi kita berdua, jika kita berdua tak mampu menjaga keselamatan putra kita sendiri."

"Ah, Ailene, aku memang telah membuat serangkaian kesalahan besar! Sejak awal seharusnya aku memang tak membawa kalian kemari. Seharusnya aku tak pernah datang lagi ke tempat ini. Kita memiliki kehidupan yang indah di selatan, kenapa aku harus menoleh ke belakang dan kembali ke sini? Kemudian aku juga salah, dengan terburu-buru pergi ke Andranir, dan meninggalkan kalian dan ayahku. Setelah itu aku menuduh kedua kakakku hendak membunuhku. Walaupun mungkin itu benar, tetapi akibatnya aku telah semakin membahayakan nyawa kalian berdua. Aku telah membuat kesalahan-kesalahan yang terlalu banyak .... dan untuk itu," Vilnar mengeraskan rahangnya, "aku harus membuat keputusan yang terbaik bagi kita bertiga."

"Apa rencanamu?"

Vilnar menghela napas, dan menatap Ailene lekat-lekat. "Kita bertiga harus pergi dari sini malam ini juga."

"Pulang?" tanya Ailene lirih.

"Ya. Ke rumah kita di selatan. Tapi tidak boleh ada yang tahu, atau kita akan mendapat bahaya," Vilnar berkata dengan semangat yang kembali pulih.

"Tapi, bagaimana dengan rencana pertemuanmu besok?"

"Aku tak peduli. Biar saja mereka memutuskan apa yang terbaik buat mereka. Mereka adalah saudara dan rakyatku, tapi mungkin sudah waktunya bagiku untuk melupakan mereka sepenuhnya, dan memilih sesuatu yang paling bernilai dalam hidupku. Secepatnya mereka pun akan melupakan aku."

"Tapi ... perjalanan kita ke selatan akan jauh. Ada banyak yang harus kita persiapkan," kata Ailene masih gelisah. "Kita belum siap."

"Ada banyak persediaan makanan di gudang. Akan kubawa ke perahu secukupnya, sesudah itu kita segera berangkat."

"Kau yakin?" tanya Ailene sekali lagi.

Vilnar mengangguk. "Kali ini aku sangat yakin. Inilah keputusan terbaik yang aku buat semenjak aku datang ke sini."

Vilnar mencium istrinya lagi lalu berjalan keluar kamar. Setelah memastikan keadaan di sekitar rumah aman dan tak ada seorang pun yang melihat, ia segera mengambil sekarung daging rusa yang telah diawetkan dan beberapa kantung minuman dari gudang di lantai dasar.

Ia keluar melalui pintu belakang, kemudian berjalan mengitari desa lewat jalan yang sepi menuju ke tepi sungai. Ia meletakkan bawaannya di sebuah tempat yang tersembunyi di balik pepohonan, kemudian mengambil perahunya yang ditambatkan tak jauh dari dermaga. Vilnar menaikkan barang-barangnya ke atas perahu, lalu berjalan kembali ke rumah.

Ia yakin tidak ada yang melihatnya. Para penduduk sudah tertidur lelap dan mestinya para penjaga juga hanya berjaga di sekitar balai desa.

Di kamarnya Vilnar mengenakan mantel dan meraih kapaknya. Ailene juga sudah mengenakan mantelnya dan menggendong Vahnar di dadanya. Setelah memastikan semuanya siap, mereka berdua pun mengendap-endap keluar dari rumah menuju ke tepian sungai.

Tengah malam mereka berangkat.

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang