Bab 53 ~ Bukan Orang Hualeg

264 88 1
                                    

Kemunculan Vilanr yang tiba-tiba, dan juga suaranya yang menggelegar, membuat orang-orang Logenir panik. Orang-orang itu berusaha meraih senjata mereka masing-masing.

Namun Vilnar bergerak lebih cepat. Ia berlari mendekat sambil mengangkat kapaknya. Dengan sekali ayunan ke kanan kapak besar itu menebas leher seorang musuh. Kemudian sebuah ayunan ke kiri membelah tubuh prajurit lain yang mulutnya masih ternganga.

Melihat dua rekannya terbantai begitu mudah, tiga prajurit lainnya semakin panik. Mereka bergerak mengurung Vilnar dan menyerang secara membabi-buta. Vilnar menunduk, lalu merentangkan tubuhnya ke belakang. Sekuat tenaga ia memutarkan kapaknya bagai angin puting beliung.

Tak ada senjata, apalagi daging manusia, yang mampu menahan serangannya. Tubuh tiga prajurit itu langsung tercerai-berai. Potongan tubuh, tangan, kaki dan kepala terlontar ke segala arah. Lima orang tewas seketika.

Tinggal Togril yang tersisa. Takut bercampur marah, laki-laki dari suku Logenir itu menarik lengan si perempuan muda yang bajunya sudah compang-camping dan menyeretnya ke tepi sungai.

Dengan satu tangan Togril mengangkat tubuh perempuan itu tinggi-tinggi sambil mengancam, "Jangan bergerak!" Ia mengacungkan pedangnya ke arah Vilnar. Dalam gelap matanya terlihat blingsatan.

"Jatuhkan kapakmu!" serunya lagi. "Atau kulempar dia ke sungai!"

Vilnar mematung, diam sejenak. Kemudian ia menjatuhkan kapaknya.

Napas Togril tampak semakin memburu. Matanya melirik ke sana kemari. Ke Vilnar, ke kapaknya, ke arah sungai.

Dia kelihatan gugup, dan seluruh gerakannya itu terlalu lambat untuk Vilnar. Dengan cepat Vilnar menarik pisau dari pinggangnya, kemudian melemparkannya lurus ke depan.

"Keparaaat!" Togril meraung keras, sesaat sebelum pisau Vilnar menghantam dadanya. Bersama sang perempuan yang masih dipegangnya laki-laki itu jatuh ke sungai yang mengalir deras.

Sambil memaki Vilnar ikut melompat ke sungai.

Ia berenang sekuat tenaga mencoba mendekati tubuh sang perempuan yang hanyut terbawa arus menuju jeram.

Dalam kegelapan malam ia mengangkat kepala. Matanya berusaha mencari-cari, sementara telinganya mendengar suara menderu-deru air terjun yang semakin dekat. Vilnar merasakan tubuhnya terlempar, melayang beberapa saat di udara, kemudian jatuh masuk lagi ke dalam sungai.

Ia terhisap pusaran arus di bawah air terjun.

Di dalam air ia lalu berusaha tetap tenang. Tangannya bergerak. Ia berhasil meraih sesosok tubuh manusia, tetapi segera mendorongnya jauh-jauh begitu menyadari bahwa yang dipegangnya itu adalah mayat Togril.

Baru beberapa detik kemudian ia berhasil menemukan sepasang tangan lain, yang masih terikat tali di pergelangannya. Cepat-cepat Vilnar menariknya, menembus pusaran air dan akhirnya muncul di permukaan sungai.

Ia berenang ke tepian sambil menarik tubuh perempuan itu, yang lemas tak sadarkan diri. Vilnar membaringkan tubuh perempuan itu di rerumputan, mengentak dadanya beberapa kali sampai akhirnya dia sadar dan memuntahkan air.

Lega, Vilnar lalu berenang ke arah perahunya yang tersembunyi di balik bebatuan. Ia mengambil sebuah mantel untuk mengeringkan tubuh perempuan itu yang kini menggigil, dan menyelimutinya dengan mantel lain yang lebih kering. Ia membebat betis kirinya yang terluka lebar akibat hantaman batu karang, lalu memeluk tubuhnya erat-erat, untuk membuatnya lebih hangat.

Perempuan itu awalnya berusaha melawan, tetapi dia terlalu lemah dan akhirnya menyerah. Dia kemudian tertidur pulas melewati putaran malam.

Keesokan harinya, sinar matahari yang jatuh tepat di wajah perempuan itu membuat dia terbangun. Vilnar tengah membakar beberapa potong ikan kala perempuan itu menggeliat di balik mantel kulit beruangnya yang tebal.

Dia tiba-tiba mengerang pelan begitu merasakan sakit di kakinya.

Vilnar memperhatikannya. Ketika perempuan muda itu akhirnya balik melihat Vilnar, wajahnya memerah malu. Vilnar merasa sedikit bersalah. Mungkin dia malu karena Vilnar memeluk tubuh telanjangnya kemarin.

"Kau sudah bangun," kata Vilnar. "Tubuhmu sudah baikan?"

Perempuan muda itu—gadis itu—tak mengerti kata-katanya, tentu saja, dan hanya membisu.

Vilnar menyodorkan sepotong ikan yang baru ia bakar. "Makanlah. Kupikir kau mungkin lebih suka ikan daripada daging rusa."

Ia menunggu reaksi gadis itu.

Karena dia diam saja, Vilnar melanjutkan, "Tapi aku akan mencari daging rusa, kalau itu yang kau mau."

Gadis itu masih tetap diam, tapi akhirnya mengulurkan tangan, mengambil ikan yang disodorkan dan memakannya dengan lahap.

Vilnar menunjuk dadanya sendiri. "Namaku Vilnar. Vil—nar. Kau mengerti? Boleh aku tahu namamu?" Ia menunjuk wajah gadis itu.

Gaya bicara dan memperkenalkan dirinya mungkin terasa kasar bagi orang-orang selatan, tetapi memang seperti itulah yang biasa Vilnar lakukan.

Gadis itu memandanginya beberapa lama, kelihatannya masih takut, lalu mengangguk. Ia menjawab dengan suara yang hampir tak terdengar, "Ailene."

"Ah—lind."

Gadis itu menggeleng. "Ailene."

"Ailene." Vilnar tersenyum lebar. "Kedengarannya indah."

Gadis itu balas tersenyum.

Vilnar merasakan tubuhnya menghangat, karena untuk pertama kalinya ia melihat senyuman di wajah cantik itu.

Vilnar memperhatikannya lebih jauh. Perkiraannya, gadis itu bukan dari desa-desa di sekitar sini. Bisa jadi dia dari negeri yang lebih jauh di selatan. Tak hanya gaun biru yang dikenakannya tadi malam yang membuatnya tampak asing, tapi juga tubuhnya yang mungil, bentuk dagunya yang runcing, matanya yang sedikit sipit, rambutnya yang hitam lurus sampai ke punggung, dan kulitnya yang kecokelatan.

Semuanya membuat gadis itu kelihatan sangat berbeda dibandingkan dengan semua gadis yang pernah dilihat Vilnar di utara, atau bahkan di desa-desa sekitar sini. Vilnar tidak mengerti bagaimana gadis itu bisa sampai di sini, dan sayangnya gadis itu juga pasti tidak bisa memberinya penjelasan.

Maka Vilnar berkata, walaupun ia tahu Ailene takkan paham, "Hari ini kau istirahat saja di sini. Aku akan mengangkat perahuku ke desa, dan mencari pakaian untukmu. Kalau kau sudah baikan, besok pagi aku akan membawamu ke selatan. Di sana mungkin kau bisa menemukan keluargamu, atau temanmu. Bagaimana?"

Vilnar berkata sambil menggerak-gerakkan tangannya dan menunjuk ke arah selatan untuk menjelaskan maksudnya.

Ailene menggelengkan kepalanya. Gadis itu balas mengucap beberapa kalimat sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya pula.

Vilnar memperhatikannya baik-baik, mencoba menangkap maksudnya, tapi sayangnya ia tak bisa mengerti sedikit pun.

Ia pun menggeleng. "Maaf, aku tidak mengerti maksudmu. Tapi mestinya kau setuju dengan rencanaku tadi. Aku rasa itu yang terbaik."

Ailene memandang Vilnar beberapa lama, lalu mengangguk.

Apakah itu berarti ya?

Mestinya begitu. Ailene memang harus kembali ke selatan. Gadis seperti dia tidak mungkin bisa tinggal di utara. Terlalu berbahaya baginya. Benar, kan?

Vilnar memang berkata begitu, tetapi ia tahu, hati kecilnya sebenarnya menginginkan sebaliknya. Ia telah jatuh hati pada gadis asing ini.

Kalau memang Ailene harus pergi, ia berharap tidak terlalu cepat, karena ia masih ingin bersamanya lebih lama. Kalau bisa ia bahkan akan mencoba mempelajari bahasa Ailene sehingga bisa berbincang-bincang dengannya.

Vilnar tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri.

Orang Hualeg akan selalu berkata terus terang, dan seorang lelaki Hualeg, di negerinya, biasanya bebas membawa wanita yang ia mau ke mana pun ia ingin pergi, apalagi jika dia hanya seorang wanita dari selatan.

Setelah tiga tahun sepertinya sudah jelas, ia bukan lagi seorang Hualeg.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now