Bab 104 ~ Hadiah Dari Musuh

194 77 1
                                    

Baru selangkah Vida berjalan, Mornir berkata, "Tunggu. Berhenti dulu."

Laki-laki itu menarik tali yang mengikat pergelangan tangan Vida, dan mengarahkan ujung pedangnya ke punggung gadis itu.

"Jangan macam-macam, bangsat!" seru William. Ia memandangi wajah Vida yang tampak tegang bercampur marah. Kalau tangannya tidak terikat, mungkin gadis itu akan memilih berbalik dan menyerang musuhnya.

"Tenang! Aku hanya ingin berterima kasih, jika ternyata semua ini bisa berjalan sesuai dengan janji kita," jawab Mornir. "Kau, Vahnar, sepertinya orang yang terhormat. Kita berdua musuh, kita pernah saling membenci, dan kau mungkin masih membenciku, tapi di sini kita bisa saling percaya. Aku menghormatimu. Oleh karenanya aku berniat memberimu hadiah, sebagai balasan karena kau telah mengampuni aku dan para prajuritku."

"Katakan, apa yang ingin kau berikan?" tanya William, yang sebenarnya belum percaya omongan itu.

"Kau Vahnar, adalah putra Vilnar putra Radnar. Sekarang aku akan memberitahumu, sesuatu tentang ayahmu. Tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya, dan bagaimana ia meninggal."

William tertegun. Sesuatu tentang ayahnya. Musuhnya ini tahu apa yang terjadi pada ayahnya dulu?

"Katakan!" seru William tanpa ragu.

"Apa kau bisa berjanji, akan membiarkanku pergi setelah aku bercerita?"

William terdiam, kini ragu. Ia memperhatikan Vida, yang berdiri di antara mereka. Wajah gadis itu tampak bingung.

Ia pun mengangguk. "Ya! Aku berjanji!"

"Kalau begitu, dengarkan," kata Mornir. "Aku tidak akan bicara keras-keras. Di tempat ini hanya kau dan aku yang bisa mendengar ucapanku. Dan juga gadis ini, tentu saja. Seluruh prajuritmu yang berada jauh di sana tak akan bisa mendengarnya. Mereka semua tidak akan tahu. Kenapa aku melakukan ini? Sekali lagi, ini hadiah dariku, untukmu."

William merasa tidak nyaman, tapi sekaligus penasaran. "Lanjutkan."

"Suku kami, Logenir, sejak dulu selalu dianggap rendah oleh suku kalian. Perampok, penjarah, pembunuh. Sebutan-sebutan itu yang selalu kalian berikan pada kami. Tak pernah sekali pun kalian peduli seperti apa kami hidup, padahal sebenarnya kami sama saja dengan kalian. Kami punya keluarga, kami punya anak-anak, kami punya kehidupan, yang harus kami jaga dan perjuangkan.

"Sama seperti kalian, kami juga ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan dalam banyak hal, kami sebenarnya sudah lebih baik daripada kalian. Kalian pikir negeri kami sekarang bisa menjadi lebih besar dibanding kalian, itu karena kami lebih terbelakang? Tidak! Tapi tetap saja, kalian selalu menganggap diri kalian lebih baik dari kami, dan merendahkan kami."

"Hei!" William berteriak. "Aku mendengarkan, dan aku paham! Tapi simpan saja omongan itu buat saat yang lebih tepat. Banyak omonganmu hanya omong kosong belaka. Ingat, kalian dulu datang merampok ke selatan. Karenanya aku membunuh banyak dari kalian. Dan aku tak ragu melakukan itu lagi, jika memang harus, tak peduli kau sekarang bicara apa. Cukup! Aku di sini ingin mendengar apa yang kau tahu tentang ayahku. Jangan uji kesabaranku!"

Mornir menyeringai. "Tapi apa yang akan kukatakan ada hubungannya dengan yang kukatakan tadi. Gara-gara anggapan keliru kalian, kalian selalu menyalahkan kami atas setiap kejadian buruk yang kalian alami. Seperti kejadian enam belas tahun lalu, saat ayahmu memutuskan membawa istrinya dan anaknya—kau—untuk pergi dari Vallanir. Apakah kau sudah tahu soal ini? Belum? Ayahmu pergi, karena berselisih dengan kedua pamanmu, Tarnar dan Erenar, mengenai percobaan pembunuhan yang dialami ayahmu di utara, dan juga mengenai siapa yang harus menjadi kepala suku menggantikan kakekmu, Radnar. Ayahmu mencurigai kedua pamanmu, dan mereka tidak terima. Tak ingin terjadi peperangan antar saudara, ayahmu akhirnya memutuskan pergi.

"Tapi, apa yang kemudian terjadi? Pamanmu, Tarnar, membawa tiga puluh prajurit untuk mengejar ayahmu, untuk membunuh kalian. Setelah lama tidak ada kabar, mereka semua lalu ditemukan tewas di sungai. Dan kau tahu, apa yang kemudian dikatakan Erenar, yang kini menjadi kepala suku Vallanir, pada semua rakyatnya? Ia bilang orang-orang Logenirlah yang telah membunuh Tarnar dan semua prajuritnya! Gara-gara kebohongan itu kalian semakin membenci kami. Kami coba membantahnya, tetapi Erenar selalu membunuh utusan kami, dan menutup-nutupi setiap kebenaran. Bagi dia, hanya dengan cara bermusuhan dengan kami ia bisa menjadi kepala suku. Hanya dengan cara itu ia bisa mendapat dukungan dari rakyat dan sekutunya. Akhirnya, kami tak peduli. Jika memang kalian ingin terus bermusuhan dengan kami, maka kami akan menerimanya. Kami akan perangi kalian, sampai kapan pun."

William tertegun mendengar cerita itu. Apakah ini bisa dipercaya?

"Dari mana kau tahu ini semua?" sahut William datar, tanpa emosi. "Kenapa aku harus percaya?"

"Kami punya mata dan telinga di Vallanir," tukas Mornir. "Kalian juga mungkin punya di tempat kami. Tidak masalah, itu hal yang biasa di antara kita. Kalau kita bisa tahu siapa mata-mata itu, tinggal kita bunuh orangnya, atau malah sebaliknya kita beri informasi palsu yang menguntungkan kita. Bukan begitu? Tapi sekarang, yang penting adalah, apakah kau bisa melihat inti dari ceritaku. Intinya adalah, bahwa selama ini suku kalian dibangun hanya berdasarkan kebohongan. Erenar, kepala suku kalian, selalu dianggap sebagai kepala suku yang bijak. Kenyataannya, dia hanya seorang penipu."

Vida coba memberontak. Matanya melotot ke arah William.

Mornir menegurnya dari belakang, "Hei, Vida, santai saja. Kami hanya coba berbicara secara jujur. Tidak akan terjadi apa-apa. Bukan begitu, Vahnar?"

"Apa pun pendapatmu, dia tetap kepala suku kami," William membalas.

Ada banyak pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Ada banyak keraguan yang mulai dirasakannya. Namun ia harus tenang. Vida belum bebas, dan William tak mau Mornir tiba-tiba berubah pikiran dan mencelakai gadis itu.

"Jika dia melakukan itu semua demi kepentingan seluruh rakyat Vallanir, kenapa kami harus protes?" lanjut William.

"Begitukah menurutmu? Hmm, ini agak sedikit mengecewakan," kata Mornir. "Apa kau tetap akan berpendapat begitu, seandainya tahu, bahwa Erenarlah yang merencanakan penyerangan Tarnar ke ayahmu, dan lalu membuat ayahmu mati?"

William tertegun lagi, lalu bertanya pelan, "Apa maksudmu?"

"Dialah yang menghasut Tarnar agar mengejar ayahmu, agar mereka bisa saling membunuh. Begitu tujuan itu tercapai, maka semua saingannya hilang, dan dia bisa naik menjadi kepala suku tanpa halangan. Sederhana, bukan? Pintar, dan sederhana." Mornir tersenyum. "Kau mengerti? Bukan pasukan kami yang membunuh Tarnar, melainkan ayahmu. Dia seorang diri melawan Tarnar dan tiga puluh prajuritnya, dan membunuh mereka semua."

"Demi Tuhan, kuharap kau tidak berbohong, atau aku akan membunuhmu sekarang juga!" kata William dengan bibir bergetar. Matanya menatap nanar, pedangnya tergenggam erat. "Maksudmu, ayahku membunuh mereka semua, lalu lolos, dan masih hidup?"

"Tidak. Ayahmu terluka parah, dan ia berusaha menyusul perahu kalian—kau dan ibumu—yang sudah pergi ke selatan lebih dulu. Tapi ia tidak berhasil, dan meninggal."

"Dari mana ... kau tahu ini?"

"Aku pernah bertemu seseorang. Orang yang dulu menemukan jenazah ayahmu. Yang kemudian membakarnya, dan mengirimkan jiwanya ke langit."

"Siapa?"

"Seorang dukun, bernama Helga."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now