Bab 21 ~ Resiko Prajurit

389 106 1
                                    

Rogas melanjutkan ucapannya, masih sambil berbisik, "Kuminta kau percaya dulu padaku. Aku sudah sering berurusan dengan hal-hal semacam ini, dan kau lihat, sejauh ini aku selalu selamat. Aku belum mati, kan?"

"Itu karena aku menyelamatkanmu kemarin!" tukas William.

"Itu karena kau bagian dari keberuntunganku! Aku membuat pilihan, aku berjudi dengannya, dan selamat. Berkat kau. Benar?" Rogas nyengir. "Sekarang, biarkan keberuntunganku menolongmu. Kalau kau mau percaya, kau juga akan baik-baik saja, dan bahkan bisa mendapat keuntungan dari sini."

"Kau tetap penuh dengan omong kosong. Baik, aku ikut rencanamu."

"Kau tidak akan menyesal." Rogas tertawa.

"Aku tidak akan menyesal," sahut William, masih belum mau tersenyum, "bahkan, jika nanti aku harus membunuhmu."

Rogas terperangah, kemudian nyengir. "Lihat dirimu, walaupun Cuma bercanda, sekarang jadi terbiasa dengan urusan bunuh-membunuh! Setelah melakukan pembunuhan pertama, berikutnya jadi lebih mudah, kan? Bahkan kau mulai bisa mengancam. Hahaha! Selalu begitu. Aku juga dulu begitu!"

William tidak menanggapi candaan itu. Sejujurnya ia tak tahu apakah ancamannya tadi serius atau tidak. Mungkin tidak, ia hanya ingin menggertak. Ia tidak terbayang jika nanti harus membunuh lagi. Baginya itu adalah pengalaman yang mengerikan. 

Tapi jika Rogas nanti mengkhianatinya, atau Mornitz datang dengan kawanannya dan menyerang lagi, siapa tahu?

Ia mengikuti Rogas masuk ke bagian tengah desa yang lebih ramai. Laki-laki itu selalu pandai bicara di mana saja, dan William mengaguminya dalam hal itu. Rogas bisa langsung berkenalan dengan beberapa penangkap ikan saat mereka mampir di sebuah rumah makan kecil dan kemudian mengobrol di sana. 

Setelah mengobrol beberapa lama, salah seorang penduduk Orulion yang bernama Root—ia seorang laki-laki tua berjanggut tebal yang ramah—menawari mereka untuk tinggal di rumahnya.

"Aku punya pondok kosong di halaman belakang rumahku," kata Root. "Dulu ditinggali oleh putraku, tapi dia sudah tidak pulang selama ... selama ..." Laki-laki tua itu mengerutkan dahi keriputnya, berusaha keras mengingat-ingat. "Mm ... dua tahun?"

"Sepuluh tahun," Moor, laki-laki lain yang duduk di sebelahnya mengoreksi sambil menggeleng-geleng. Laki-laki itu juga berjanggut lebat, tetapi tampak lebih muda.

"Sepuluh tahun? Ah, sudah selama itu ya?" Root terkekeh.

"Putramu pergi ke mana?" tanya William.

"Ke selatan," Moor yang menjawab. "Bergabung dengan pasukan Alton. Keponakanku itu bosan mencari ikan, dan ingin menjadi prajurit. Katanya lebih menarik, dan menguntungkan. Jadi begitulah. Selama dua tahun pertama ia bisa mengirim uang banyak kemari. Tapi setelah itu ia menghilang."

"Apa yang terjadi?" tanya William lagi.

"Tidak tahu," jawab Moor. "Sampai sekarang tidak ada kabar."

"Dia sudah mati," kata Root.

Itu ucapan cukup mengerikan yang diucapkan seorang ayah tentang putranya. Anehnya, kakek itu justru tersenyum. Mungkin karena sejak lama dia sudah bisa menerima kenyataan bahwa anaknya sudah mati. 

Tetapi, bukannya kakek itu sudah lupa kapan anaknya pergi?

"Kita belum tahu itu, Root," tukas Moor. "Mungkin ia hanya pergi jauh. Mungkin suatu hari nanti ia akan kembali."

"Tidak. Itu sudah resiko menjadi prajurit. Kau tahu itu, Moor. Dia juga tahu dulu saat meminta izin dariku." Root mengangguk-angguk. "Dan kalian juga ... mestinya sudah tahu." Matanya melirik ke arah William dan Rogas. "Siapa tadi nama kalian?"

"Aku Dall," jawab Rogas cepat. "Dan adikku ini Tuck."

Tuck? Nama apa itu? William melongo, lalu menggerutu dalam hati.

"Ya, kalian juga pasti sudah tahu," kata Root.

"Tahu apa?" tanya William bingung.

"Dengan menjadi prajurit kalian akan mati lebih cepat," jawab Root.

"Hanya jika kami bodoh," tukas Rogas.

"Keponakanku tidak bodoh," balas Moor tidak senang. "Ia kuat, dan cukup ahli memakai pedang. Tetap saja ia mati. Kalau benar ia sudah mati ..."

"Siapa nama keponakanmu?" tanya Rogas.

"Boot. Waktu dia pergi kurasa umurnya seperti adikmu ini," jawab Moor sambil melirik ke arah William. "Kau kenal?"

Rogas diam sesaat, ekspresi wajahnya datar. Lalu ia menggeleng. "Tidak. Belum pernah dengar."

Moor mengangguk-angguk maklum. "Kalaupun kau pernah melihatnya, sekarang mungkin sudah lupa." Ia lalu berkata dengan lebih serius, "Dengar, Nak, kami tahu kenapa kalian kemari. Kalian membawa pedang. Kalian ingin bergabung dengan pasukan Taupin. Benar?"

"Itu rencanaku," kata Rogas tanpa ragu.

"Berarti kalian sudah tahu resikonya," kata Root. "Di utara kalian akan melawan orang-orang Hualeg. Kalian tahu mereka seperti apa, kan? Mereka raksasa. Kuat dan kejam, dan mungkin suka makan daging manusia. Hahaha. Kelihatannya kalian cukup tangguh, jadi aku dan Moor tak perlu memberi saran lagi. Lagi pula, kami juga cuma penangkap ikan tua yang tidak tahu apa-apa."

"Tuan," kata William, "jika kalian memang tahu sesuatu, bilang saja."

"Taupin akan senang menerima kalian, itu saja yang bisa kubilang," jawab Root. "Apa aku perlu mengajak kalian menemuinya sekarang?"

"Biar aku yang mengantar mereka," kata Moor sambil menepuk-nepuk lengan kakaknya. "Kalian berdua mau ke rumahnya malam ini?"

"Kami ingin istirahat dulu," kata Rogas. "Kami akan menemuinya besok."

"Terima kasih atas tawaranmu, Tuan," William menyahut dan tersenyum pada Root dan Moor. "Tapi kami tidak ingin merepotkan kalian."

"Beristirahatlah." Moor mengangguk. "Semoga sukses."

"Dan semoga kalian bisa hidup lebih lama dariku," Root terkekeh.

Mata laki-laki tua itu berkilat-kilat cerah, seolah baru saja menemukan hal baru yang membuat ia bersemangat. Atau mungkin karena dia menganggap dirinya bisa hidup lebih lama adalah sesuatu yang lucu.

Moor mengajak William dan Rogas pergi ke rumah tua berdinding kayu tak jauh dari sana. Seperti kata Root, di halaman belakangnya ada sebuah pondok tua. Ada banyak barang bekas di dalamnya, yang cukup menunjukkan bahwa pondok itu sudah lama tidak ditinggali pemiliknya, tapi selain itu terdapat pula papan dipan yang bisa dijadikan tempat tidur.

Begitu Moor pergi, Rogas langsung berbaring di dipan tersebut dan tertidur pulas. William sebenarnya sama lelahnya, tapi ia bisa bertahan lebih lama. Ia masih sempat mampir sejenak ke rumah Root, lalu memakan sup dan buah-buahan yang diberikan oleh laki-laki tua itu. William kemudian memberi sekeping sazet kepada sang tuan rumah sebagai balasan.

Awalnya Root menolak menerimanya. Katanya, ia melihat William seperti sosok putranya dulu, karenanya ia sudah cukup senang bisa menerima pemuda itu di rumahnya tanpa harus mendapatkan apa-apa. 

Namun William bersikeras memberikan uangnya. Ia bilang, jika memang benar ia adalah putra laki-laki itu, ia akan dengan senang hati memberikan uang pada orangtuanya. Akhirnya Root mau menerimanya.

Saat hari benar-benar gelap, William kembali ke pondok dan berbaring di atas tikar kayu yang digelar di lantai. Dari atas dipan suara dengkuran Rogas terdengar. Namun itu tak sampai mengganggu William. Tak berapa lama William juga ikut tertidur nyenyak.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now