Bab 100 ~ Perkenalan

216 80 1
                                    

Malam itu William tidur di Rumah Utama. Ia tidur di sebuah kamar di lantai dua. Tilda bilang ini dulu kamar Vilnar, ayahnya, dan William pernah tinggal di tempat ini juga selama beberapa minggu.

Benarkah? Kalau saja ia bisa ingat.

Tidak ada yang istimewa dari kamar itu, sebenarnya. Ada dipan, meja, kursi dan lemari. Jendelanya, jika dibuka, menghadap ke hutan di selatan. William mendapat perasaan, ayah dan ibunya saat melihat pemandangan hijau itu mungkin akan merindukan rumah mereka sendiri di selatan, karena sebersit perasaan itu jugalah yang saat ini William rasakan.

Ia memang punya rumah di utara, tapi di selatan sana, ia punya rumah yang telah ia tinggali sejak masih bayi. Dan sekarang sepertinya ia sudah pergi lama sekali dari desanya, padahal baru dua bulan yang lalu.

Hal-hal semacam itulah yang membuatnya tidak bisa langsung tidur. Pikiran tentang orang-orang yang ia tinggalkan. Tentang Bortez si pandai besi, dan Muriel. Gadis itu, bagaimana keadaannya saat ini? Apakah dia baik-baik saja? Semoga begitu.

Atau mungkin juga, karena ada hal lain yang lebih dalam di benaknya, yang berusaha ia hindari, tetapi ternyata terus mengganggunya. Tentang Vida. Setelah seluruh kenyataannya terbuka sekarang, apakah berarti hubungan mereka sudah selesai? Rasanya tidak akan semudah itu. Mereka berdua pernah melalui saat-saat bersama, yang walaupun singkat, tetapi rasanya sangat indah dan tak mungkin dilupakan begitu saja. Tidak akan bisa, dan William juga tak mau melupakannya. Karena baginya rasa itu justru semakin besar.

Ia harus bicara dengan Vida. Setidaknya bertanya pada gadis itu, apa yang dia rasakan sekarang. Gadis itu tinggal di rumah yang sama. Dia ada tepat di kamar sebelah. Seharusnya mereka berdua bisa bicara dengan mudah.

Tapi, memangnya jawaban apa yang William harapkan? Jawaban Vida bahwa ia baik-baik saja? Bahwa mereka kini adalah kakak-adik biasa? Bahwa tak ada lagi yang perlu dibicarakan tentang mereka?

William tak suka dengan kemungkinan jawaban itu, walaupun ia mengerti, ia harus menerimanya sekarang.

Mungkin ia memang harus melupakannya.

Ia harus melupakannya.

Atau ia bisa jadi gila.

Lupakan, dan tidur ...

Ya, akhirnya ia memang bisa tidur, meskipun tidak nyenyak.

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, ia sudah terbangun.

Ia pun keluar dari kamarnya. Semua kamar lain pintunya masih tertutup rapat. Lalu ia berjalan menuruni tangga, sampai di ruangan makan. Di atas meja makan ada buah-buahan. Ia mengambil satu, lalu satu lagi. Lumayan buat perutnya.

Kemudian ia berjalan melewati ruangan depan yang luas, tempat si kepala suku biasa menerima tamu. Lilin-lilin menerangi dari setiap ujung ruangan. William menurunkan palang yang menghalangi pintu depan, dan membuka pintu yang besar dan berat itu. Dua orang pengawal yang tengah duduk santai di teras terkejut begitu melihatnya.

"Tuan," keduanya cepat-cepat berdiri dan mengangguk hormat.

"Selamat pagi," sapa William santai. "Kalian ... Edril dan Adrag, benar?"

"Selamat pagi. Benar, Tuan."

"Tidak usah memanggil Tuan. William saja, atau Vahnar, terserah."

"Ya ..."

"Sepertinya masih sepi di mana-mana. Apa aku bangun terlalu cepat?"

"Tidak juga. Sebagian orang, seperti para pemburu atau pencari ikan suka bangun dan keluar pagi-pagi sekali. Anda bisa melihat mereka kalau turun ke desa."

Itu usulan menarik, tapi jalan-jalan ke desa mungkin tidak akan bisa melenyapkan sosok gadis yang bahkan sudah mulai mengganggu benaknya begitu ia baru bangun tidur!

"Aku lebih baik melakukan hal lain," William berkata, "yang bisa lebih menghabiskan energi. Apa di sini ada tempat khusus buat berlatih pedang?"

"Tempat khusus? Oh, di belakang rumah saja, Tuan. Di sana ada lapangan. Hampir selalu sepi, tidak ada yang akan mengganggumu di sana. Di samping dinding belakang juga ada lemari tempat menyimpan senjata. Senjata-senjatanya sudah tua, jarang dipakai, tetapi masih bisa dipakai buat latihan. Atau, Anda ingin meminjam senjata kami?"

"Tidak usah. Biar aku mencoba senjata yang ada di sana. Terima kasih."

William berjalan menuruni tangga, kemudian berbelok ke samping rumah dan terus ke belakang. Ternyata memang ada tanah lapang cukup luas, yang tidak kelihatan dari jauh karena dikelilingi pepohonan.

William mendekati lemari tua di dekat dinding, dan memilih pedang yang dirasanya paling baik. Ia seorang pandai besi, jadi ia mengerti mana pedang yang baik dan mana yang tidak. Tidak hanya dari ketajaman bilahnya, tetapi juga dari berat dan keseimbangannya.

Setelah itu ia mulai berlatih. Di desanya dulu di selatan ia selalu menghabiskan waktu dengan berlatih memainkan pedang, tetapi semenjak bepergian dengan Vida dan rombongannya ia hampir tak pernah berlatih, karena selalu berperahu, jadinya tidak sempat banyak berlatih. Kekuatan, kecepatan dan keterampilannya tidak berkurang sejauh ini. Namun jika ia tidak berlatih lebih lama, pasti akan berkurang juga.

Ia berlatih dengan segenap energi yang ia punya. Terus bergerak sampai hari terang, bahkan cukup lama selewat matahari terbit. Peluh membasahi sekujur tubuhnya.

Ketika ia berhenti, Erenar dan dua pengawal ternyata sudah berdiri di samping rumah. William menaruh pedangnya kembali ke lemari, lalu menghampiri mereka.

"Vahnar." Erener menggeleng pelan. "Apa yang barusan kami lihat tadi?"

"Maksudmu?"

"Gerakan-gerakanmu. Cepat sekali! Tidak ada cela. Pantas saja ..."

William tertawa pelan. "Tidak perlu dibahas. Kau mau pergi ke mana?"

"Ada pertemuan di balai desa. Sebenarnya aku berencana mengumpulkan para pemuka desa nanti siang, untuk memperkenalkanmu pada semua orang, tetapi ternyata ada kabar penting yang baru saja datang. Kita semua harus berkumpul lebih cepat."

"Aku perlu ikut?"

"Tentu saja. Atau kau mau makan dulu? Ibumu sudah membuatkan sarapan."

Ibu? Rasanya masih aneh mendengar panggilan itu muncul lagi saat ini.

"Hmm ... aku sudah makan buah tadi," jawab William.

"Kalau begitu ikutlah dulu bersamaku," Erenar berkata.

Keduanya menuruni bukit menuju desa, diikuti oleh dua orang pengawal. Pagi itu desa sudah mulai ramai, terutama di pasar yang letaknya tak jauh dari balai desa. Orang-orang mengalihkan pandangan mereka ke arah Erenar dan William, sepertinya ikut merasakan ada masalah penting yang baru saja muncul. Sebagian lalu mengikuti keduanya.

Begitu mereka tiba di balai desa, ternyata tempat itu juga sudah dihadiri banyak orang. Ada puluhan orang di dalam ruangan. Sebagian besar berdiri di belakang, sementara di depan ada sekitar belasan orang yang duduk melingkar.

William melihat Vida sudah duduk di sana juga. Di samping kiri gadis itu ada kursi kosong, yang diperuntukkan bagi Erenar.

"Aku minta satu kursi lagi di sampingku," kata Erenar. "Untuk putraku."

Semua orang langsung kaget mendengarnya, dan saling bertanya-tanya. Sebuah kursi diletakkan di samping kiri Erenar, dan Erenar langsung menyuruh William duduk di sana.

William duduk sambil berusaha menurunkan ketegangannya. Semua orang diam, memperhatikan Erenar yang duduk di antara Vida dan William.

"Sebelum kita memulai pertemuan, aku hendak membuat pengumuman," kata Erenar lantang. "Aku ingin memperkenalkan pemuda ini. Vahnar, putra Vilnar, adikku."

Yang langsung disambut riuh oleh semua orang.

Northmen SagaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora