Bab 87 ~ Di Balik Tirai Air

235 81 2
                                    

"Buka bajumu, lalu peras, sampai kering," kata Vida. "Apa kamu mau kedinginan sepanjang malam?"

Rupanya itu maksudnya. William menggerutu dalam hati. Tanpa protes ia duduk, sambil memeriksa apakah ada bagian tubuhnya yang terluka gara-gara jatuh. Untungnya tidak. Ia membuka baju, menggulung dan memerasnya beberapa kali. Gadis itu terus memperhatikannya tanpa sungkan.

William berdehem. "Jadi, kita aman di sini?"

Vida masih diam beberapa saat, sebelum menjawab, "Ya, sejauh ini. Anjing-anjing itu tidak terdengar lagi. Mereka tak tahu kita di sini. Tapi saat hari terang nanti, dan hujan berhenti, mereka akan mencari lagi. Kita mungkin harus sembunyi lebih lama."

"Kalau kau bisa menemukan tempat ini, ada kemungkinan mereka bisa menemukannya juga, bukan? Kenapa kita tidak keluar saja dan menghadapi mereka? Aku sudah membunuh beberapa dari mereka semalam. Kita tinggal membunuh sisanya."

"Mereka sedang mengejar kita. Artinya, walaupun beberapa orang sudah mati, mereka yakin bisa menangkap atau membunuh kita. Mungkin jumlah mereka banyak, dan tak hanya membawa anjing, tetapi juga pemanah. Lebih baik kita sembunyi."

"Sampai kapan?"

"Sampai Freya dan pasukan dari Vallanir datang. Satu, atau dua hari."

"Satu atau dua hari ... di sini?" tanya William kaget. "Terus kita makan apa?"

Vida mengangkat bahu. "Kita lihat saja besok. Kamu tidak keberatan, kan?"

"Kalau maksudmu adalah bisa satu atau dua hari di sini bersamamu, tentu saja aku tidak keberatan." William nyengir.

Itu sekadar candaan buat mencairkan suasana. Mungkin Vida bakalan marah mendengarnya, tapi biar saja. Daripada memikirkan kesulitan yang akan mereka hadapi, lebih baik bicara hal-hal yang menyenangkan.

Namun bukannya marah, ternyata Vida membalas, "Ya, kenapa tidak?"

William tertawa, belum yakin apa arti ucapan gadis itu.

"Tapi Freya," lanjut Vida, "jika ia tahu kita seperti ini, mungkin akan marah."

"Kenapa?"

"Kamu tahu apa yang dia inginkan darimu?"

"Apa?"

"Dia ingin kamu jadi suaminya. Menurut dia, kamu harus jadi suaminya."

William langsung bengong.

Apa maksudnya itu? Freya ingin agar ia menjadi ....

"Sebentar. Aku jadi suami ... Hei, tidak lucu. Bercandamu tidak lucu."

"Menurutmu aku bercanda?"

William menatap Vida, yang tampak serius, dan itu membuatnya semakin waswas. "Ya. Karena ... rasanya aneh mendengarnya. Tidak biasanya juga kau bicara begini."

"Aku bicara apa yang kutahu."

"Tetap saja, ini soal serius, dan bagiku ucapanmu tadi itu aneh," tukas William. "Lagi pula ... masih berapa sih umurnya? Dia pasti lebih muda daripada aku, kan? Lima belas?"

"Umur segitu sudah cukup buat menikah."

"Hei, menikah itu bukan cuma soal umur ..."

"Aku tidak akan berkomentar soal itu, aku percaya kamu punya pendapat sendiri. Aku hanya ingin menjelaskan, kenapa bagi kami ini bukan soal aneh. Kamu, saat di selatan dulu, menculik Freya, mengambilnya dariku. Di negeri kami, kaum perempuan kami punya kedudukan terhormat, apalagi gadis seperti dia. Jika ada seorang laki-laki berani melakukan tindakan seperti yang kamu lakukan, maka laki-laki itu, kamu, telah berhutang pada si perempuan, dan sekarang dia berhak meminta apa pun darimu. Dia bisa memintamu ditangkap, lalu dihukum mati. Untungnya, Freya ternyata menyukaimu. Karenanya, dia justru akan memintamu menikahinya. Jika kamu menolak, itu akan jadi penghinaan besar baginya, dan dia bisa menyuruh kamu dibunuh juga, pada akhirnya."

William semakin bengong, dan tiba-tiba panik. Bukan karena nanti ia mau dibunuh, toh ia bisa lari atau melawan, tetapi karena hal ini ternyata benar-benar penting bagi orang-orang utara, dan bahwa dia dianggap telah menghina Freya. "Begini, soal penyanderaan itu, aku sudah minta maaf, dan Freya sudah memaafkanku. Kenapa tiba-tiba jadi ada urusan harus menikah seperti ini? Menikah ini sesuatu yang tidak boleh dipaksakan! Oke, baiklah kalau memang itu bagian dari tradisi kalian di utara, tapi aku orang dari selatan, aku tidak perlu mengikuti hal-hal seperti ini!"

"Aturannya tetap berlaku, meskipun kamu orang selatan."

"Aku tidak perlu mengikutinya! Aku tidak perlu ikut dengannya ke desamu!"

"Jadi, kamu bermaksud kabur, pulang begitu saja ke selatan, dan dengan begitu menghina Freya di depan semua orang?"

"Aku sama sekali tidak bermaksud menghinanya!" seru William.

Vida memandanginya. "Terus, apa yang akan kamu lakukan?"

William tercenung. Ternyata semua hal yang terjadi saat ini, semua yang ia lakukan dua bulan belakangan, terhadap Freya dan yang lainnya, tidaklah sesederhana yang ia bayangkan.

Ia memandangi gulungan baju di tangannya. Baru sekarang ia ingat bahwa sejak tadi ia tidak memakai baju. Ia menatap Vida sengit.

"Kau punya saran?" William balik bertanya, sedikit sebal.

"Tak ada yang bisa memaksamu. Jujur saja, siapa yang cukup kuat buat memaksamu? Tidak ada. Kamu terlalu kuat buat siapa pun. Tapi di Hualeg, seorang laki-laki tidak akan lari. Jika ia didakwa sesuatu, ia akan membela diri, berani minta maaf jika salah, kemudian mengatakan apa yang ada di dalam hatinya. Jika ternyata kamu tidak bersedia menjadi suaminya, katakan padanya dan jelaskan alasanmu. Mudah-mudahan dia bisa menerima alasanmu, atau keinginanmu, dan membiarkan kamu pergi."

"Jadi menurutmu, saat Freya datang nanti, sebaiknya aku bicara soal ini padanya?" William merasa menemukan secercah harapan.

"Jangan bicara sebelum ia bicara, atau itu akan membuatnya malu. Freya tidak akan memintamu sekarang. Ia akan mengajakmu menemui ayahnya di desa lebih dulu, baru kemudian memintamu menikahinya. Jika kau mau bicara, di sanalah tempatnya."

"Rupanya ini alasan utama kalian mengajakku kemari?"

"Itu alasan Freya. Alasanku tetap yang kemarin kusebutkan, ingin kamu membantuku membunuh makhluk itu. Dan kamu sudah membantuku. Mohon jangan salah mengerti."

"Iya, tetapi kenapa kalian tidak bilang dari awal?"

Vida tercenung. "Ya ... maafkan aku. Tetapi begitulah, aku tidak bisa bilang. Bahkan sebenarnya aku tidak boleh mengatakan ini padamu sekarang."

"Oke, jadi intinya, dari sini nanti aku harus ikut bersama kalian ke desa?"

"Itu pilihan. Seperti kubilang, tak ada yang memaksamu."

"Baik! Kalau begitu akan kulakukan." William mengeraskan rahangnya. "Aku ikut. Aku akan bicara, pada Freya, pada ayahnya, pada semua orang, tentang apa yang kuinginkan. Atau siapa yang kuinginkan, jika memang aku harus menikah."

Ia menatap tajam ke arah Vida, dan Vida balik menatapnya.

Gadis itu menggumam, "Mungkin ..." Tapi dia tak melanjutkan.

"Terus terang, aku belum pernah terpikir soal menikah," lanjut William. "Tetapi jika memang harus, dan bisa memilih, tentu saja aku akan memilih yang aku suka."

"Aku tak tahu apa yang ada di dalam kepalamu. Tapi semoga berhasil."

"Hei, ini soal masa depanku," tukas William. "Tentu saja sebaiknya berhasil!"

Vida mengangkat bahu. "Ya ..."

Melihat Vida yang tiba-tiba termenung, William menyeringai. "Hei, kamu tidak mau bertanya, tentang apa yang mungkin nanti kukatakan di desamu? Tentang apa yang kuinginkan, atau siapa yang kuinginkan untuk menjadi istriku?"

"Aku tidak perlu tahu." Vida mengelak.

"Mungkin perlu. Jika orang itu ... ternyata kamu."

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang