Bab 90 ~ Situasi Sudah Berubah

227 79 11
                                    

"Pada masa kakekku kudengar dia sempat menjadi kepala suku," jawab Vida. "Tapi hanya sebentar, kemudian dia melepaskan jabatannya. Aku tidak tahu kenapa. Jabatan kepala suku diserahkan kepada adik Helga, Radnar."

"Oh."

"Biar kulanjutkan kisahnya. Beberapa masa setelah Ardnar, perebutan kekuasaan terjadi. Pada masa Hardingir Hednar. Hednar mempunyai dua putera kembar, Hinnar dan Godnar. Keduanya sama-sama cakap, sehingga Hednar bingung siapa yang harus ia pilih menjadi pengganti.

"Ia kemudian membagi wilayah Hualeg menjadi dua. Timur dan barat. Sepasang batu hitam dipisahkan, lalu diberikan ke kedua anaknya. Konon pemisahan itulah yang menjadi awal dari segala bencana. Setelah Hednar mati, Godnar, gara-gara hasutan bawahannya, menyerang Hinnar.

"Hinnar, yang dipenuhi dendam, lalu menempa batu hitamnya menjadi sebuah pedang. Kami menyebutnya dengan nama Grokhark, Pembawa Kebencian. Dengan pedang itu Hinnar menyerang Godnar, membunuh saudaranya itu dan juga hampir semua pengikutnya dengan kejam, lalu merebut batunya.

"Para dewa yang marah melihat perilaku Hinnar mengirimkan empat algojo. Empat Bencana, makhluk mengerikan dari empat penjuru dunia. Rokhan, harimau es dari utara; Amerik, serigala hutan dari barat; Ondhar, ular sungai dari selatan; serta Ethrak, beruang gunung dari timur.

"Hinnar dan pasukannya melawan mereka di Tanah Keramat. Ia berhasil membunuh Amerik dan Ondhar. Rokhan si harimau, pemimpin empat makhluk itu, terluka, tapi berhasil merebut pedang Grokhark dari tangan Hinnar dan membawanya ke utara. Ada yang bilang Rokhan kemudian mati tenggelam di lautan es bersama pedang itu. Ethrak si beruang membunuh Hinnar, mengambil batu hitam milik Godnar, dan kembali ke pegunungan asalnya di timur. Perang usai, menyisakan kehancuran bagi bangsa Hualeg.

"Masa berlalu, bangsa Hualeg terpecah menjadi banyak suku. Vallanir, yang posisinya berada di tengah-tengah dan dipimpin oleh keturunan Hinnar, adalah yang paling besar. Beberapa masa selanjutnya ada masa Signar, seperti yang sudah kamu dengar dari Freya. Juga ada cerita mengenai Ethrak, yang konon menyimpan senjata sakti yang mampu memberikan pemiliknya kekuatan berkali-kali lipat. Jika senjata itu adalah martil, maka bisa menghancurkan tubuh manusia menjadi seperti bubur, dan jika pedang, maka bisa memotong tubuh manusia seperti memotong daun.

"Yang sebenarnya, itu bukanlah pedang, melainkan batu hitam yang dulu dimiliki Godnar. Batu, yang jika berada dekat dengan pasangannya akan mampu menyatukan semua orang, tetapi akan menghancurkan semuanya begitu dipisah dari pasangannya. Batu hitam tersebut mampu memberikan kekuatan, tapi tak boleh disentuh oleh sembarang manusia, kecuali dia keturunan Ardnar, putra Madnar dan Fyrsta."

"Jadi gara-gara itu ya, aku pingsan sampai tujuh hari," sela William.

"Ya, orang biasa yang menyentuhnya bisa pingsan, atau bahkan mati. Untungnya, tubuhmu kuat, lebih kuat dibanding manusia biasa. Tapi, saat itu aku benar-benar panik dan merasa bersalah. Seharusnya sebelum aku menyuruhmu membunuh makhluk itu, aku juga bilang, agar kamu tak memegang batu yang mungkin muncul di dekat Ethrak.

"Ternyata kamu lebih dulu menyentuhnya. Kukira kamu mati ... tapi setelah kuraba denyut nadimu, ternyata masih ada. Kamu hanya pingsan. Namun aku tetap khawatir ada sesuatu yang terjadi padamu. Itulah kenapa aku membawamu ke tempat Helga. Agar dia bisa memeriksamu."

"Kalau soal itu kamu sudah pernah cerita. Tidak masalah bagiku, dukunmu itu boleh memeriksaku. Tidak akan ada apa-apa, tenang saja. Aku sehat walafiat!"

"Sampai Helga benar-benar bilang tidak ada apa-apa, aku belum lega."

"Kalau aku benar sakit, mana bisa dari kemarin aku membuatmu—hei, hei, jangan main pukul!" seru William begitu tangan kiri Vida tiba-tiba terangkat.

"Kamu susah diajak serius!"

"Ini serius!" William mempererat pelukannya pada gadis itu. "Baik. Jadi, setelah urusanku dengan dukunmu selesai, semuanya beres, kan?"

"Ada satu lagi. Saat dulu aku mendatangi Helga, ia mengenaliku sebagai keturunan Ardnar, dan kemudian berkata, jika aku memang hendak melakukan yang terbaik pada seluruh orang Hualeg—tak hanya suku Vallanir, tetapi juga suku-suku lainnya—maka aku harus menyatukan kedua batu hitam yang hilang. Ia bilang itu tanggung jawabku. Tanggung jawab yang seharusnya diambil oleh orang-orang sebelum aku.

"Awalnya aku ragu, tetapi kemudian aku menerimanya. Itulah kenapa aku pergi mencari batu yang dibawa oleh Ethrak. Setelah kudapatkan, aku nanti harus pergi ke daratan es di utara, untuk mencari batu lainnya, yang telah dijadikan pedang dan dibawa oleh Rokhan si harimau es."

"Sebentar. Kamu keturunan Ardnar. Kamu anak kepala suku Vallanir?"

"Hmm ... ya, semacam itu. Kupikir kamu sudah sudah bisa memperkirakannya."

William tertegun, lalu mengangguk. Tentu saja, itu menjelaskan kenapa semua prajurit itu menurut kepada Vida.

Namun dalam hati ia terpikir hal lain. Sebagai anak kepala suku Vida pasti kenal banyak orang. Apakah mungkin dia mengenal nama Vilnar, ayahnya? Apakah hal ini perlu ditanyakan, atau sebaiknya tidak? Mengingat cerita ibunya dulu, ayahnya pernah berselisih dengan saudaranya di utara, akan lebih aman jika William memahami lebih dulu perselisihan seperti apa yang terjadi, baru kemudian mencari tahu soal ayahnya.

Akhirnya William memilih untuk bertanya tentang hal lain saja. "Apa yang terjadi, saat kamu menyentuh batu itu? Kamu merasakan sesuatu?"

Vida memperhatikan batu hitam yang sebagian masih tertutup kain di tangannya. "Aku tidak merasakan apa-apa," suaranya terdengar ragu.

"Padahal kamu keturunan Ardnar. Ini ... benar batunya, kan?"

"Mestinya."

"Mungkin harus disatukan dulu dengan batu lainnya, supaya terasa."

"Sepertinya begitu." Vida menutup batu itu, dan memasukkannya ke tas.

William menarik Vida dan memeluknya lagi. "Berarti setelah ini, dari sini nanti kamu mau melanjutkan perjalanan ke daratan es? Menurutku, dari namanya saja kedengaran kalau tempat itu lebih menyusahkan dibanding pegunungan yang kita datangi kemarin. Rokhan ini juga sepertinya jauh lebih mengerikan dibanding Ethrak. Kamu yakin mau pergi?"

"Legenda bilang Rokhan sudah mati. Aku tinggal mencari pedangnya."

"Legenda bisa saja salah! Yang jelas perjalananmu akan lebih sulit."

"Aku sudah berjanji pada Helga, akan melaksanakan tugas itu."

"Oh. Ya sudah, aku pasti akan menemanimu," tukas William.

"Aku sudah pernah berjanji padamu, untuk membolehkanmu pulang."

"Hei, situasinya sudah berubah! Mana bisa aku meninggalkanmu?"

Hembusan napas Vida terasa lebih panjang di dada William. "Mungkin sebaiknya ..."

William menggeleng-geleng. "Vida, sudah kubilang, aku mencintaimu! Aku akan datang ke desamu, dan bicara pada ayahmu. Aku akan menjadikanmu istriku. Kenapa masih ragu, atau takut? Takut sama siapa? Freya? Kamu takut akan menyakiti perasaannya? Kamu memilih menyakiti perasaanmu sendiri?"

"Kenapa kamu menyalahkanku jika aku memang takut? Itu perasaanku, bukan perasaanmu. Aku tidak ingin menyangkalnya. Hentikan, William," kata Vida begitu tahu William hendak bicara lagi. "Biarkan aku berpikir sebentar."

"Baik."

Keduanya terdiam beberapa lama, sebelum Vida akhirnya bicara lagi.

"Aku berpikir, bagaimana kalau ... untuk sementara waktu nanti, kita berpisah dulu."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now