Bab 37 ~ Ahruhr Vallanir

312 92 1
                                    

William berusaha melupakan kekesalannya, walaupun kalau dipikir-pikir wajar jika Rogas, Taupin maupun Morrin tak setuju dengan rencananya. Memangnya ia berharap apa? Mereka semua langsung setuju begitu saja?

Sekarang lebih penting baginya untuk menunjukkan bahwa rencananya tak sebodoh dan segila yang mereka kira. Atau paling tidak, jika ternyata nanti rencananya gagal, ia punya jalan keluar untuk meloloskan diri dari bahaya.

Ia membawa si gadis berambut merah, lalu pergi meninggalkan desa. Kelima prajurit yang ikut dengannya adalah Thom, Mullen, Boulder, Spitz dan Alend. Mereka prajurit yang ikut bersama William saat ia ke utara dua hari yang lalu. 

Berlawanan dengan perkiraan Rogas, saat William menawarkan apakah ada yang mau ikut dengannya, ternyata cukup banyak yang bersedia. Mungkin setelah pertempuran kemarin mereka sudah benar-benar percaya padanya, sehingga tak ragu lagi mengikutinya pergi ke mana pun meskipun itu berbahaya.

Pertengkarannya dengan Rogas, Taupin dan Morrin bagaimanapun masih mengganjal di hati William. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah benar tindakannya kali ini? Apakah karena ayahnya orang Hualeg yang membuat ia berniat berdamai dengan orang-orang utara itu? Padahal kemarin ia telah membantai mereka sedemikian rupa. 

Atau justru karena ia ingin bisa menjadi seperti ayahnya, yang bisa berdamai dengan orang-orang selatan?

Seharusnya itu alasan yang cukup bagus. Tetapi bagaimana caranya ia bisa membuat orang-orang Hualeg punya pemikiran yang sama dengannya? Apalagi ia belum bisa berbahasa Hualeg. Apakah ini tidak berlebihan? Apakah sebanding dengan resiko yang bakal dihadapinya nanti? 

Apakah para prajurit yang ikut dengannya harus ikut mengadu nyawa bersamanya?

Saat mereka mendayung William pun berkata, "Dengar, apa yang kita lakukan akan sangat berbahaya, dan sebenarnya kalian tak perlu ikut. Jadi, jika nanti di tengah sungai tiba-tiba kalian takut lalu berubah pikiran, kalian boleh terjun dan berenang kembali ke desa. Kalian bebas pergi."

Para prajuritnya tertawa.

"Itu benar-benar lucu, berenang kembali ke desa" kata Thom. Laki-laki yang mendayung paling depan itu menoleh. "Ya, mungkin saja, kalau kau memaksa. Tapi tolong katakan, jika misalnya tiba-tiba kau yang takut dan berubah pikiran, apakah kau akan ikut terjun bersama kami?"

William menyeringai. "Jika aku ikut terjun, siapa nanti yang menemani dia?" katanya sambil melirik gadis berambut merah yang tangan dan kakinya masih terikat. "Ia tidak bisa mendayung sendirian sampai ke utara."

"Kenapa tidak? Kurasa dia cukup kuat," sahut Thom.

"Hei, Tuck, kau serius mau mengantarkannya ke utara?" tanya Boulder, prajurit yang berkepala plontos. "Kupikir kau cuma akan meninggalkannya di suatu tempat, dan membiarkan dia mencari jalan sendiri ke utara."

"Kalau hanya seperti itu terlalu gampang buat kita." William menyeringai. "Kalian belum pernah ke utara, kan? Kalian tidak penasaran ingin melihat lebih jauh?"

"Tidak," tukas Boulder, "kalau kepalaku jadi taruhannya."

"Kau boleh berenang pulang," jawab William. "Kalian semua."

"Dan membiarkanmu bersenang-senang sendiri dengan gadis ini? Tidak, kawan." Thom tertawa, dan disambut tawa kurang ajar rekan-rekannya. "Tapi, Tuck, kalau misalnya kau mau dengar pendapatku, menurutku dia gadis yang sangat cantik. Dan dia ada di sini untuk kau ambil. Kalau kau tak mau menjadikannya budak, kenapa tidak dijadikan istri saja?" 

Ia terkekeh, untuk menunjukkan kalau ia bercanda.

William mendengus. "Pertama, dia bukan milikku. Kedua, kurasa dia lebih suka menendangku daripada menjadi istriku. Lihat matanya, dia benar-benar benci padaku."

"Benarkah? Kurasa dia justru suka padamu," sahut Thom.

"Ya, betul!" Yang lainnya terkekeh dan ikut memanas-manasi.

"Itu tatapan cinta. Seperti yang diberikan Ante padaku di Orulion."

"Kalau begitu kau salah, Thom," Mullen menyeletuk. "Ante membencimu."

Thom menatapnya sengit. "Dari mana kau tahu?"

"Karena dia memberitahuku."

"Kau? Dia tak akan mau bicara padamu!"

"Oh, dia bicara. Kau tahu kapan? Saat kami berada di kamar tak lama setelah dia bicara padamu." Mullen menyeringai.

Wajah Thom memerah lalu ia memaki-maki, sementara para prajurit lain tertawa terbahak-bahak. 

Sesaat kemudian tawa mereka terhenti, begitu ucapan pendek terdengar dari mulut si gadis berambut merah.

Semua orang tertegun, tak ada yang mengerti. 

Begitu mereka diam, gadis itu kembali berkata-kata, kali ini lebih panjang dengan nada tinggi. Ia menunjuk-nunjuk William, lalu menunjuk juga ke arah utara.

"Kau mau aku menyumpal lagi mulutnya, Tuck?" Thom berkata. "Dia berisik lagi."

"Kurasa dia berkata sesuatu tentang sukunya," kata Spitz, pemuda yang duduk di belakang. "Ahruhr. Dia menyebutkan itu. Itu bahasa Hualeg untuk 'suku'."

William menoleh kaget. "Kau bisa bahasa Hualeg?"

"Hanya tahu beberapa kata saja. Mendiang kakekku yang mengerti. Dia keturunan Hualeg, tapi entah generasi yang keberapa."

William memandangi pemuda berwajah polos itu, dalam hati senang karena tiba-tiba ia mendapatkan teman senasib. "Ada lagi beberapa katanya yang kau mengerti?"

"Tidak. Bicaranya cepat sekali. Tapi di setiap akhir ahruhr, dia selalu menyebut valnir. Ahruhr Valnir. Mungkin ... itu nama sukunya?"

"Valnir?" William menggumam. Rasanya ia pernah mendengar nama itu. Tentunya bukan Vilnar—itu nama ayahnya—tetapi ... "Maksudnya Vallanir?"

Itu nama suku ayahnya di Hualeg, seperti yang diceritakan ibunya pada dua malam sebelum beliau wafat.

Begitu William mengucapkan kata itu, si gadis di sampingnya tersenyum lebar. Matanya yang besar berbinar, dan ia menghentak dada William dengan kedua kepalannya yang terikat untuk menunjukkan kegembiraannya.

"Vallanir!" seru gadis itu. "Vallanir!"

William ikut tersenyum. Walaupun rasanya agak aneh, akhirnya ia bisa melihat gadis itu tersenyum, tidak lagi ketakutan, marah atau sedih.

"Jadi apa maksudnya?" tanya Thom.

"Mungkin dia senang karena bisa pulang," jawab William.

"Kurasa tidak hanya itu." Spitz memandangi gadis itu, seperti curiga.

William tak menjawab. Ia tidak tahu apa sebenarnya yang ingin dikatakan gadis itu. Tetapi ia tahu apa yang ia rasakan. Gelisah, marah, sedih, begitu ia menyadari bahwa gadis ini, dan puluhan orang Hualeg yang dibunuhnya kemarin dan puluhan lagi yang akan ditemuinya nanti, mungkin berasal dari suku ayahnya, Vallanir, dan bukan suku-suku Hualeg yang lain. 

Rasanya itu malah membuat semuanya jadi terasa semakin buruk.

"Jadi, sekarang apa?" tanya Thom.

Para prajurit menunggu tanggapan William, sementara gadis itu masih menatapnya dengan wajah berseri-seri. Cukup aneh, mengingat William hampir membunuhnya dua hari lalu saat di dalam hutan. Seolah semuanya sudah berlalu tanpa dendam.

"Kita jalan terus," kata William. "Dia tampak senang, itu pertanda bagus. Dia tahu kita akan membebaskannya. Semoga nanti dia bisa berkata dengan baik pada teman-temannya, supaya mereka tidak lagi menyerang dan kembali ke utara."

Thom menatapnya tajam. "Terus terang, aku belum yakin dengan rencanamu. Entah apa yang ada di kepalamu. Kau terlalu positif!"

William mengangkat bahu, dan menyuruh para prajurit kembali melihat ke depan. "Kita sudah dekat hutan. Hati-hati."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now