Bab 107 ~ Bicara Saat Mabuk

204 76 7
                                    

"Mengenai ayahmu, setelah mendengar apa yang dikatakan Mornir, apa yang kamu pikirkan?" Vida bertanya lagi pada William, saat mereka hampir sampai di desa Vallanir.

William mengangkat bahu. "Menurutmu? Apa semua itu benar?"

Ia tahu ia harus hati-hati dalam berbicara. Walaupun ia cukup percaya dengan kebenaran cerita itu, ia tetap tak boleh menunjukkannya begitu saja. Terhadap Vida sekalipun. William yakin gadis itu seorang yang adil dan jujur, tetapi di sisi lain dia juga seorang yang tampaknya sangat menghormati Erenar, dan mungkin tak akan ragu membela ayah tirinya itu jika diserang.

"Aku sempat terkejut," jawab gadis itu, "dan berpikir, mungkin saja itu benar. Tapi aku lalu ingat, Mornir sendiri dulu membunuh kakaknya demi mendapatkan kekuasaan. Ia suka merampok dan menipu. Aku tidak akan mempercayai kata-katanya sedikit pun. Ia mengatakan itu untuk membuat kita resah, tak saling percaya, dan akhirnya bermusuhan sendiri. Ia ingin menghancurkan Vallanir dengan cara itu. Lagi pula ayahku tidak seperti itu. Aku mengenalnya. Ia baik, dan telah melindungi kami selama ini."

"Ia bukan ayah kandungmu, kan?"

"Ia tetap ayahku."

"Jadi, sebaiknya aku mengabaikan hal ini?"

"Aku ... ingin kamu berhati-hati. Jangan biarkan emosi menguasaimu."

"Itu tidak menjawab pertanyaanku."

Vida termangu. "Jangan percayai cerita itu."

"Baik," William menjawab singkat.

"Jangan pikirkan itu lagi," lanjut Vida. "Begitu sampai di desa, kamu ikut aku saja."

"Ke mana?"

"Ke daratan es. Mencari Grokhark. Hanya denganmu aku ingin pergi."

"Baik. Tapi setelah itu?"

"Maksudmu?"

"Setelah urusanmu beres, dan aku pulang ke selatan. Apakah kamu mau mengikuti aku ke sana? Atau mau tetap di utara?"

Vida mendesah. "William, kenapa kita membahas ini lagi? Kita tak bisa."

"Ya sudah, berarti kamu nanti tinggal bilang, akan tetap di utara! Bilang nanti, kita berpisah di sini, dan selamat tinggal. Begitu. Gampang, kan?"

"Kenapa kamu jadi marah?" tanya gadis itu lirih.

"Kenapa tidak boleh?" Emosi William tiba-tiba lepas tak tertahan. "Aku tidak boleh kesal dengan semua yang kualami? Aku hanya perlu mengabaikan semuanya, dan melupakan semuanya? Baiklah, jangan khawatir. Selama aku di sini kamu tetap nomor satu bagiku. Aku pasti akan membantumu. Bahkan mengorbankan nyawaku demi kamu saja aku bersedia, apalagi cuma pulang sendirian ke selatan nanti, jika memang maumu begitu. Oke, kita tidak akan membahas itu lagi. Bilang saja nanti mau berangkat kapan ke utara, aku siap."

Mereka melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata. Untungnya, tak lama kemudian mereka sampai di Vallanir, jadinya suasana yang tidak enak itu bisa segera tergantikan oleh yang lain. Sayangnya, penggantinya juga bukan suasana yang bagus. Kesedihan melanda, begitu keluarga yang ditinggalkan oleh prajurit-prajurit yang mati menangis, walaupun tetap ada kegembiraan karena lebih banyak prajurit yang berhasil pulang dengan selamat.

Menara-menara pembakaran jenazah segera disiapkan di sisi sungai. Saat menjelang petang seluruh jenazah itu dibakar. Abunya terbawa angin, dan seluruh jiwanya dikirimkan ke langit.

Setelah itu mereka makan malam bersama di lapangan di depan balai desa. Ratusan orang hadir, termasuk seluruh prajurit dan keluarga mereka. Sekarang saatnya merayakan kemenangan sekaligus mengucap rasa syukur kepada para dewa. Api unggun dan obor-obor dinyalakan, daging rusa bakar disajikan, minuman hangat bertong-tong dibagikan.

Lagu-lagu dinyanyikan, dan kisah-kisah laga dituturkan. Seperti yang sebelumnya diwanti-wanti oleh Svenar, dengan cepat cerita tentang William diketahui setiap orang. Tentang bagaimana ia membunuh ratusan orang, kemudian mengampuni ratusan yang lainnya.

Bagi William, semakin lama kisah-kisah itu rasanya semakin berlebihan dan menjauh dari kenyataan. Namun tampaknya semua orang tak peduli. Mereka terus memuji, memujanya, menganggapnya pahlawan, bahkan titisan Anthor. Jika diingat-ingat, ini mirip seperti yang dulu dialaminya di desa Thaluk, setelah ia memimpin orang-orang desa mengalahkan ratusan orang Hualeg. Bedanya, kali ini skalanya lebih besar. Apalagi ini di Hualeg, tempat di mana kekuatan dihargai sangat tinggi.

William tak ingin terpengaruh, tetapi jika sudah mabuk, kadang pikiran maupun omongan tak mampu dikendalikan. Lagi pula, jika dipikirkan lebih jauh, memangnya kenapa? Ia sudah bertarung dengan gagah berani, bersedia mengorbankan nyawa, kenapa sekarang tidak coba menikmati hasilnya, dan melepaskan segala masalah yang menggayuti pikirannya selama ini?

"Sebenarnya aku sempat bingung," kata Krennar.

Ia berkata pada orang-orang di sekitarnya. Selain William, ada Erenar, Drinar, dan banyak lagi lainnya. Vida juga ada. Hampir semuanya mulai mabuk, termasuk Vida. Entah sudah berapa botol yang diminum gadis itu.

"Kenapa Vahnar tidak membunuh saja Mornir dan semua orang Logenir di bukit itu?" lanjut Krennar. "Kalau dia mau, sendirian juga pasti bisa."

"Karena ada Vida di sana!" seru yang lainnya. "Vahnar harus hati-hati!"

"Bukan! Bukan itu jawabannya," jawab Krennar sambil menyeringai. "Tapi karena Mornir tidak boleh mati segampang itu. Dia harusnya mati di depan istri-istrinya, yang suami-suaminya dulu dia bunuh. Dia harus kalah, dan menangis di depan mereka, sebelum kemudian tubuhnya dipotong-potong! Kurasa Vahnar juga sudah berpikir begitu? Benar? Kau sudah punya rencana menyerang ke Logenir, bukan? Dan memberi mereka semua pelajaran?"

"Kenapa tidak?" jawab William asal-asalan, berhubung ia sudah setengah mabuk. "Kenapa tidak kita potong saja semuanya? Kita potong tangan dan kaki orang-orang itu, lalu gantung tubuhnya! Baru biarkan mereka mati."

"Astaga." Krennar tertawa. "Demi Anthor, ternyata kau mengerikan!"

"Lalu kita pulang!" seru William. "Menunggu di sini, sampai dua puluh tahun kemudian, saat anak cucu mereka datang untuk membalas dendam dan ganti memotong-motong tubuh kita! Setelah itu, dua puluh tahun berikutnya, cucu cicit kita yang akan ke sana, dan memotong-motong mereka. Ha!"

"Hei!" seruan Svenar terdengar. "Kau sudah terlalu mabuk!"

"Oh ya?" William meraih lagi botolnya, lalu menenggak isinya.

"Tapi tadi itu benar!" seru seseorang. "Saat itu ada Vida di sana, di atas bukit. Kalau kita nekat naik, Mornir pasti akan mencelakai Vida!"

"Memangnya siapa yang menyuruhmu naik?" balas yang lainnya. "Yang mau naik itu Vahnar. Dia yang akan membunuh Mornir. Kalau kamu yang naik sih cuma cari mati!"

"Aku tidak butuh bantuan!" Vida tiba-tiba berteriak. "Kalian semua tidak perlu naik! Aku juga bisa membunuh Mornir sendiri. Bangsat. Siapa yang meragukanku? Siapa?"

"Tidak ada yang meragukanmu ..." kata beberapa orang.

"Tapi, Vida, kau memang kelihatan agak berbeda saat bertempur melawan Mornir," orang yang lainnya ngotot. "Aku melihatmu. Kau terlihat lebih lemah, dan lebih lambat daripada biasanya. Makanya Mornir sampai bisa mengalahkanmu."

"Heh! Jadi kau menganggapku lemah? Sini! Lawan aku! Buktikan!"

"Siapa? Siapa yang mau mencelakai Vida?!" William membanting botolnya ke meja sampai benda itu terpental. Matanya menatap nyalang. "Kurang ajar! Kalau ada yang mau mengganggunya, kubunuh kaliaaan!"

"Hei, hei, Vahnar, sabar! Ampun!" yang lain buru-buru menahannya. "Ini bercanda. Tidak ada yang akan mencelakai Vida. Tidak ada yang berani!"

"Sepertinya kita semua sudah terlalu banyak minum," Erenar berkata.

"Oh, kepala suku! Seharusnya kau juga ada di sana saat itu, bersamaku," kata William yang sudah kehilangan separuh kesadarannya. "Mornir punya banyak hal penting yang ingin ia sampaikan saat itu. Tentang masa lalu. Tentang ayahku. Tentang bagaimana ayahku dulu dibunuh! Dia bilang, kau tahu banyak. Dia bilang, kau penyebabnya! Benar begitu?"

Northmen SagaOnde histórias criam vida. Descubra agora