Bab 44 ~ Tentang Keberuntungan

266 98 1
                                    

Sang Penakluk.

Penakluk apanya?

Dan lagi, kenapa Rogas membuka nama aslinya?

Sialan. Menggerutu, William menyandarkan punggungnya ke dinding perahu. Kedua kakinya diselonjorkan. Kepalanya tengadah ke langit malam yang sedikit berawan. Ia membiarkan angin lembut membelai wajahnya. 

Perahu bergoyang perlahan, membuat penat di tubuhnya terobati pelan-pelan. Sebentar lagi ia akan berhasil tidur, dan bisa melupakan hari mengerikan ini, untuk sesaat.

Namun Rogas tampaknya tak mau membiarkannya. Laki-laki itu datang ke tepi sungai sambil tertawa-tawa. Bau arak tercium dari tempat minumnya, atau mungkin malah dari napasnya. Ia terhuyung naik ke perahu lalu duduk di seberang William. 

Mau tak mau William terpaksa memandanginya, kesal.

"Kalau mau ikut tidur di sungai, cari perahu lain," tukas William.

"Tidur?" Rogas menyeringai. "Aku mau mengajakmu minum. Ayolah, bergembira sedikit bersama yang lainnya di desa. Kita patut merayakannya. Kau, Kawan, patut merayakannya. Atau kau mau minum di sini saja?"

"Merayakan apa? Oke, kita menang, tapi kita juga kehilangan begitu banyak teman hari ini. Empat puluh tujuh orang, mati, kau ingat? Rasanya aku tak ingin minum dulu. Tapi silakan, jika kalian ingin merayakannya."

"Ini hari yang berat, William. Hari yang sangat berat. Ya, kita kehilangan banyak, tapi lihat sisi baiknya. Pasukan Hualeg hancur dan takkan bisa lagi menyerang desa-desa di selatan. Bayangkan ratusan atau mungkin ribuan orang yang kini selamat. Kenapa tidak mencoba beberapa teguk untuk menghargai dirimu sendiri?"

Termenung, William memandangi rekannya yang tersenyum lebar sambil terus menyodorkan minuman. Akhirnya ia mau menerima arak itu, meminumnya beberapa teguk, sebelum menyerahkan botolnya lagi. "Kurasa cukup," ujarnya. "Harus tetap ada satu orang yang waras dan waspada di tempat ini."

Rogas tertawa. "Orang-orang utara itu takut padamu. Kau tidak melihatnya di mata mereka? Mereka takkan berani datang sampai musim dingin berikutnya."

"Seseorang harus berjaga untuk sesuatu yang tak terduga, bukan yang sudah bisa diduga," tukas William.

"Lagi-lagi kau betul." Rogas menggeleng-geleng. "Kau, bocah, benar-benar bangsat kecil istimewa. Aku sudah pergi ke banyak tempat, dan seumur hidup aku tak pernah melihat orang sepertimu. Kau melakukan sesuatu yang bahkan orang terberani pun tak berani melakukannya. Sesuatu yang orang paling hebat baru bisa mencapainya di puncak hidup mereka. Dan kau masih ingin melakukan yang semacam itu lebih banyak lagi? Kau tahu, kau mirip orang di cerita-cerita legenda. Maaf, kau tidak keberatan 'kan aku bicara bombastis seperti ini?"

"Aku sudah terbiasa mendengar omong kosongmu. Selalu ada udang di balik batu. Apa yang ingin kau katakan? Bahwa yang berlebihan biasanya mematikan? Itu yang selalu terjadi pada orang-orang di legenda?"

Rogas mengangguk. "Jadi kau tahu, bukan? Bahwa di dalam cerita-cerita legenda itu, biasanya orang-orang hebat mati lebih cepat."

"Menurutmu aku akan mati lebih cepat? Lebih cepat darimu?"

"Kalau lebih cepat dariku itu sudah pasti. Karena aku akan hidup sampai beratus tahun! Tapi, William, maksudku adalah, orang-orang hebat dan berani seperti itu, seharusnya lebih hati-hati. Pertama, karena merasa dirinya hebat, biasanya mereka gampang meremehkan sesuatu. Kedua, orang-orang hebat dicintai banyak orang, tetapi mereka pun punya banyak musuh. Mereka yang iri, yang takut, yang marah. Musuh-musuh semacam itu ..."

"Bukankah aku yang tadi bilang bahwa 'aku tak ingin minum-minum'? Bahwa harus ada orang yang tetap waras dan waspada di tempat ini? Mestinya jelas, untuk saat ini, aku sudah lebih berhati-hati dibanding dirimu."

"Itulah kenapa aku tadi bilang kau bangsat kecil istimewa. Kau masih bisa waspada. Masih berusaha jadi lebih baik. Tapi, dengar ini," Rogas menyeringai, tampaknya benar-benar menikmati omongannya sendiri, "selalu ada satu hal yang membuat orang-orang itu hebat, tetapi selalu tidak dianggap serius oleh orang lain. Padahal inilah yang sebenarnya penting. Kau tahu apa?"

"Apa?"

"Keberuntungan!"

"Oh! Keberuntungan!" William berlagak kaget. "Tentu saja!"

Rogas cemberut. "Kau tidak percaya? Kau sudah lihat pengaruh cincinmu, kan?"

William memandangi cincin di jarinya. "Mungkin ... aku mulai percaya."

"Kau harus percaya! Itu yang membuatmu selamat selama ini!"

"Hei, apa sebenarnya yang ingin kau katakan? Katakan saja maksudmu."

"Aku cuma mau bilang, melihat aksimu sejauh ini, cepat atau lambat kau akan mendapat masalah lagi nanti. Yang lebih besar. Yang bisa membuatmu mati lebih cepat, tak peduli kau sehebat apa. Itu yang ingin kukatakan!"

"Oke ..."

"Tetapi aku bisa membantumu, sekali lagi." Rogas menggenggam kalung hitam berhiaskan kuku beruang di depan lehernya. "Kalung ini, kalung keberuntunganku, akan kuberikan kepadamu."

Alis William terangkat. "Kau serius?"

Rogas melepaskan kalung di lehernya. Ia menarik telapak tangan William lalu memberikannya. "Ini! Ambil. Dengan gayamu yang nekat dan gila-gilaan, kau lebih membutuhkan benda ini daripada aku. Kau pikir aku main-main?"

William memandanginya. "Maksudku tadi, kau benar-benar percaya benda ini mendatangkan keberuntungan bagimu?"

"Wah, ucapanmu benar-benar menghina. Menghina diriku, juga dirimu sendiri. Kenapa? Karena aku yakin sebenarnya kau sudah percaya bahwa dirimu selalu dibantu keberuntungan, berkat cincin itu!"

William termangu. "Kalau begitu, terima kasih. Tetapi ... bukannya ini jadi aneh? Sekarang kau tak lagi punya benda keberuntungan."

"Aku tak membutuhkan hal semacam itu lagi." Rogas meringis. "Tak lama lagi aku akan menjauh dari segala hal yang berbau perang, kematian, atau semacamnya. Ini terlalu berat buat jiwaku. Biar soal ini jadi urusanmu saja. Aku tak ingin berurusan dengan itu lagi."

"Hm ... kau serius? Kau ini prajurit bayaran. Itu pekerjaanmu."

"Menjadi prajurit bayaran bukan berarti harus berperang terus. Cukup jadi penjaga kota kecil atau melawan perampok biasa juga bisa. Tinggal pintar-pintarnya kita memilih pekerjaan yang aman-aman saja."

"Lalu ... menjauh dari judi juga?"

Cengiran di wajah Rogas menghilang. "Hmm ... betul juga. Aku tetap masih butuh uang." Ia tersenyum masam. "Ternyata ... aku masih perlu benda ini, ya?"

"Jadi, ini mau kau ambil lagi?"

"Tidak. Kau lebih pantas. Aku ambil yang kecil saja. Cincin itu. Kita bertukar."

William tertawa. "Ya sudah, terserah kau."

Mereka pun bertukar kedua benda yang dianggap sebagai benda keberuntungan itu. William tak tahu, semua mungkin sebenarnya hanya benda biasa dan tak punya pengaruh macam-macam, tapi jadi istimewa karena terus-menerus dianggap istimewa oleh Rogas.

"Sekarang ... aku akan kembali ke atas." Rogas coba meneguk arak dari tempat minumnya, yang ternyata sudah habis dan tinggal setetes. "Kau, silakan jika ingin tidur atau berjaga, apa pun yang kau suka ..." Ia menggeleng-geleng. "Hah, kalau mau tidur, kenapa tidak di kamarmu saja? Apa karena sudah tak ada lagi gadis berambut merah itu? Hahahah."

William tertawa kering. "Selamat malam, bangsat."

"Selamat malam, bangsat kecil." Rogas berdiri, sambil berusaha menjaga keseimbangan di atas perahu yang bergoyang-goyang. Selama beberapa saat ia memandangi William. "Selalulah hati-hati, jangan cepat mati."

"Pergilah. Aku baik-baik saja di sini."

Rogas melompat ke tepi sungai. "Aku akan menyuruh dua prajurit berjaga bersamamu. Kau tahu, untuk berjaga-jaga, dari hal-hal yang tak terduga, betul?"

Northmen SagaWhere stories live. Discover now