Bab 71 ~ Demi Keamanan

215 82 1
                                    

Angin dingin bertiup. Sebentar lagi matahari terbenam. Tak banyak lagi orang yang masih berada di tepi sungai. Di samping menara kayu kini hanya ada sebuah meja tempat jenazah Radnar dibaringkan.

Vilnar bergegas mendekatinya. Ia memandangi wajah tua ayahnya yang tampak tenang, dan perlahan membelai pipi ayahnya itu. Tak terasa air matanya mengalir. Jemarinya turun, meraba leher dan tengkuk ayahnya.

Kelihatannya memang ada yang patah. Sepertinya dia memang jatuh dari tangga, yang berakibat fatal padanya. Tapi mengapa dia bisa terjatuh? Apakah benar mengalami kecelakaan?

Vilnar mendengar langkah kaki beberapa orang mendekatinya. Ia mendongak, dan melihat dua orang prajurit yang berdiri di dekatnya.

"Tuan, kami senang melihat Anda sudah kembali ke desa," kata seorang prajurit. "Tuan Tarnar dan pemuka desa lainnya sedang mengadakan pertemuan penting di balai desa. Ia mengundang Anda ke sana."

Mendengar hal itu, Vilnar malah merasakan kekhawatiran yang lain.

Ia berdiri. Suaranya mengancam. "Di mana istri dan anakku?"

"Ada di rumah besar, Tuan. Tapi menurut Tuan Tarnar, sebaiknya Anda pergi dulu ke balai desa karena pertemuan ini sangat penting."

Itu penting? Baginya ada sesuatu yang lebih penting.

Vilnar mendorong kedua prajurit itu ke samping, menyuruh mereka minggir. Ia berjalan cepat ke rumah besar ayahnya. Tidak ada seorang pun yang berani menghalangi.

Di sana dua orang prajurit tengah berjaga di depan pintu rumah, dan wajah keduanya langsung pucat begitu Vilnar mendekat.

"Di mana istri dan anakku?" tanya Vilnar.

"Ada di dalam, Tuan," jawab mereka, takut-takut.

Vilnar menatap curiga. "Lalu apa yang kalian lakukan di sini?"

Kedua prajurit berpandangan, sebelum menjawab, "Tuan Tarnar bilang untuk sementara tak boleh ada yang masuk untuk menemui istri Anda."

"Maksudmu, istri dan anakku tidak boleh keluar masuk dari rumah dan bicara dengan orang lain? Termasuk aku?!" Vilnar membentak.

"Bu—bukan begitu, Tuan." Kedua prajurit mengkeret ketakutan.

"Kurang ajar!" Tak mampu menahan emosi, Vilnar menempeleng kedua orang itu hingga tubuh mereka terpelanting. "Keparat! Apa maksud kalian?!"

Namun kedua prajurit itu memang tidak akan bisa memberikan jawaban, Vilnar paham. Ia pun segera memasuki rumah. Ketika menaiki tangga ia sempat berhenti sejenak dan berpikir, di sinikah ayahnya jatuh tadi malam?

Ia cepat-cepat mengetuk pintu kamarnya, dan tanpa menunggu jawaban ia segera masuk. Di dalam ruangan Ailene meringkuk ketakutan di atas tempat tidur, sambil menggendong si kecil Vahnar yang tertidur pulas. Vilnar langsung memeluk keduanya, dan Ailene pun menangis di dadanya.

Vilnar menunggu istrinya lebih tenang, sebelum bertanya, "Apa yang terjadi? Jangan takut, bilang padaku. Biar kubereskan semuanya."

Ailene menceritakan semua yang ia ketahui. Tadi malam ketika ia tengah menidurkan putranya ia mendengar suara jeritan yang disusul dengan suara benda berat terjatuh dari luar kamar. Ia keluar untuk memeriksanya dengan membawa sebatang lilin. Di bawah anak tangga ia menemukan ayah mertuanya sudah terbaring tak bernyawa. Ailene pun menjerit.

Para pelayan kemudian berdatangan, disusul para penduduk lainnya, termasuk kedua kakak Vilnar yang datang dari rumah mereka tak lama setelah itu. Semuanya menangis, dan marah. Ailene tak mengerti apa yang dibicarakan oleh mereka. Yang ia tahu kemudian, mereka lalu menyuruh Ailene masuk ke kamarnya dan melarangnya keluar rumah sampai sekarang.

"Apa mereka menganggapku bersalah atas kematian ayahmu?" Ailene terisak. "Aku bersumpah, aku tidak berbuat apa-apa! Aku tidak tahu apa-apa!"

"Ailene, tentu saja aku percaya padamu!" Vilnar memeluknya semakin erat.

Ailene tetap pucat. "Apa mereka hendak mencelakai aku? Dan putraku?"

Vilnar menggeleng sambil menggenggam erat-erat bahu istrinya, menenangkannya. "Ini cuma salah paham, kau tidak usah takut. Aku akan bicara pada Tarnar dan semua orang. Kau tunggulah aku di sini. Kunci pintu kamar, jangan biarkan orang lain masuk."

"Aku mengerti." Ailene memeluk putranya erat-erat.

"Aku pergi dulu." Vilnar mencium kening istri dan anaknya, kemudian berdiri meninggalkan mereka, dan bergegas menuju ke balai desa.

Ia berjalan kencang seperti sedang menuju medan tempur. Kapak perang tergenggam di tangan kanannya. Mantel bulunya dilepaskan, menunjukkan luka-luka yang sudah mulai mengering di sekujur tubuhnya yang berotot.

Ia tak mempedulikan para penduduk yang ketakutan dan berlarian menjauh ketika berpapasan dengannya. Ia tidak suka, bahkan membenci orang-orang itu jika benar mereka telah menganggap istrinya bersalah atas kematian ayahnya.

Para prajurit yang berjaga di depan balai desa menyingkir ketakutan begitu melihat ia datang. Mereka memegang pedang untuk berjaga-jaga, tetapi tak ada yang berani menegur atau menghalangi dan memilih menjauh.

Vilnar tak mempedulikan mereka dan terus berjalan masuk. Sesampainya di dalam ruangan ia berdiri tegak dan menghentakkan gagang kapaknya ke lantai sehingga menimbulkan bunyi berdentam yang sangat keras.

Dua puluh orang yang berada di sana langsung terdiam.

Vilnar melotot pada Tarnar yang duduk di tengah ruangan.

Ia berseru dengan suaranya yang menggelegar, "Tarnar! Apakah kau menuduh istriku bertanggung jawab atas kematian Ayah?"

Wajah Tarnar memucat seputih-putihnya. Vilnar teringat, saat kecil dulu Tarnar adalah orang yang paling sering mengolok-oloknya. Tapi Vilnar yang sekarang jelas berbeda. Dengan tubuh yang sudah jauh lebih besar, ditambah dengan kapak perang di tangannya, lengkap dengan gelegak amarah, sudah cukup untuk membuat lidah siapa pun menjadi kelu tak mampu bicara.

Untunglah bagi Tarnar, ada Erenar yang mampu berkata dengan tenang, "Vilnar, sama sekali tidak ada yang menuduh istrimu seperti itu. Ini cuma salah paham. Kami senang kau sudah kembali. Silakan duduk. Kami akan jelaskan semuanya."

Vilnar masih kesal. Ia mengambil kursi, lalu menariknya dan duduk di depan semua orang dengan masih menatap tajam ke arah Tarnar.

"Vilnar, kita mengalami banyak sekali kemalangan belakangan ini," lanjut Erenar. "Walaupun kita memenangkan perang, tapi kita kehilangan Kronar, dan juga ayah kita. Rakyat mulai berpikir para dewa memang tengah menimpakan hukumannya kepada kita semua. Tolong jangan marah dan dengarkan kami sebentar. Kau harus mengerti bahwa rakyat kita tidak memiliki dendam pada istrimu. Ia seorang wanita yang baik. Hanya saja, mereka melihatnya ada di dekat Ayah saat dia meninggal, dan juga ..."

Melihat bahwa Erenar agak sulit melanjutkan kata-katanya, Pradiar sang dukun tua, yang duduk di samping melanjutkan, "Istrimu adalah orang asing, Vilnar. Walaupun ia seorang yang baik, sebagian rakyat kita percaya bahwa kehadiran orang asing terus-menerus di dekat kepala suku adalah sebuah ketidakberuntungan yang seharusnya tidak boleh dibiarkan terjadi."

"Vilnar, aku teman lama ayahmu," Pradiar terus berkata. "Kami selalu bersama dalam setiap masa, senang maupun sulit. Atas apa yang terjadi pada Kronar suami Tilda, anakku, aku bisa menerimanya, karena kematiannya terjadi di saat perang. Tetapi kematian Radnar, ayahmu, terus terang itu sangat mengejutkan. Kami tidakmencurigai istrimu, hanya saja kita harus lebih berhati-hati. Itulah mengapaTarnar kemudian menjaga agar istrimu tidak boleh berhubungan dulu dengan semua orang, sampai suasana menjadi lebih tenang. Ini ... percayalah, adalah untuk kepentingan kita semua."

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang