Bab 111 ~ Maaf

199 75 1
                                    

Kenapa Vida?

Kenapa harus Vida yang mati, di antara semua orang?

Kenapa bukan aku?

Aku yang lebih pantas mati.

Hanya aku,

Di tepi Sungai Ordelahr yang sunyi dan kelam menjelang petang William menunduk, tak sanggup lagi melihat jenazah gadis itu, yang kini dibakar hingga asapnya membubung tinggi. Orang-orang bilang, api menyucikan jiwa orang yang mati, dan angin akan mengantarkannya ke langit, tempat dia nanti bisa beristirahat dengan damai. Itu pasti benar. Bagi hampir semua orang di tempat ini, tidak ada yang lebih pantas disucikan jiwanya selain Vida.

Seluruh penduduk desa menangisi kepergiannya. Bagaimana tidak? Vida adalah kesayangan semua orang. Pujaan semua orang. Gadis itu gemar menantang bahaya, maut selalu dekat dengannya, tetapi tak satu pun yang menduga dia akan mati lewat kejadian seperti ini. Kesalahan ada sepenuhnya di William, ia tahu. Ialah penyebab semua kejadian ini. Karenanya ia akan meminta maaf pada gadis itu besok, saat mereka bertemu. Mungkin dia tak akan memaafkannya, tetapi William tetap akan mengatakannya.

Tangan dan kakinya sudah kembali diikat dengan rantai besi, jauh lebih ketat dibanding sebelumnya. Tidak perlu lagi sebetulnya, karena saat ini William sudah menerima keadaannya sepenuhnya. Ia tidak akan melawan, ia tidak akan kabur. Ia siap dengan hukuman matinya besok. Ia malah sudah tidak sabar. Mestinya tidak perlu menunggu sampai besok. Jika ia bisa mati sekarang, dan secepatnya bertemu kembali dengan Vida, itu jauh lebih baik. Tak perlu melewati malam yang akan sangat menyakitkan. Namun, ia harus menjalaninya. Malam ini memang hukuman baginya di dunia ini.

Malam semakin larut. Tepian sungai mulai sepi, menyisakan suara lembut alirannya yang tak pernah berhenti. Jenazah Vida telah sepenuhnya menjadi abu dan abu itu terbang terbawa angin. Seseorang datang mendekat dan duduk di depan William. Beberapa orang berdiri mengitarinya.

Entah ada berapa dan siapa saja, William tidak peduli. Mungkin para prajurit, yang akan membawanya lagi ke tahanan. Sekali lagi, kalau bisa memilih, William ingin dihukum mati saja saat ini, dan selesailah semuanya.

Namun sepertinya tidak akan semudah itu. Mungkin ... orang-orang ini ingin menyiksanya terlebih dulu.

"Vahnar."

William mengangkat wajahnya. Ia melihat Erenar duduk di depannya.

Di belakang laki-laki itu ada Tilda, Meralda, Freya dan juga para tetua. Dan sepertinya ada banyak lagi. Wajah mereka semua sedih, sisa-sisa tangis masih ada. Namun ini tidak biasa. Apa lagi yang hendak mereka katakan padanya? William yakin, sudah tak ada lagi yang perlu ditambahkan.

"Apa?" jawab William, menunduk, tak mampu melihat wajah mereka.

"Ini ... hari yang sangat menyedihkan," kata laki-laki di depannya lirih. "Rasanya sangat berat, dan sulit ... untuk ditanggung bebannya, ... terutama bagi Tilda."

William melihat wajah perempuan berambut kuning itu, yang matanya masih sembab, dan langsung ikut menangis. Mana mungkin ia bisa melihat wajah ibu Vida, setelah semua yang terjadi hari ini?

Ia menunduk semakin dalam.

"Nyonya, aku benar-benar minta maaf ..." Tangisnya semakin deras.

"Vahnar," balas Tilda lirih. "Kenapa kamu memanggilku dengan panggilan itu lagi? Kamu tetap anakku, apa pun yang terjadi. Hari ini aku kehilangan seorang anak, kamu pikir aku mau kehilangan seorang anak lainnya? Apa yang terjadi hari ini ... kumohon, jangan terlalu menyalahkan dirimu. Kami semua, di sini, punya kesalahan yang sama, bahkan mungkin lebih besar, dan kami semua sama menyesalnya seperti dirimu. Sekarang, suamiku ingin berbicara padamu, kumohon agar kamu mau mendengarkannya. Ini hari terburuk di Vallanir, tetapi kita harus bertahan, demi masa depan kita semua, demi masa depan anak cucu kita. Kumohon, Vahnar, dengarkan."

"Ya ..." Akhirnya William mengangguk sopan. "Aku mendengarkan."

"Vahnar, aku sudah bicara pada semuanya," kata Erenar. "Pada istriku, pada anakku, pada para tetua, mengenai apa yang terjadi dulu di antara aku, Tarnar, dan ayahmu. Aku mengakui semuanya. Aku yang menghasut Tarnar, agar dia menyerang ayahmu. Aku melakukannya karena dengki dan ambisi. Seperti yang pernah kukatakan padamu, aku menyesal. Tak pernah sehari pun aku lepas dari rasa bersalah karena melakukan itu. Tapi selama bertahun-tahun aku menyembunyikannya, dari semua orang. Karena aku takut. Takut akan terjadi sesuatu padaku. Takut semua orang akan melupakan semua kerja keras yang telah kulakukan demi Vallanir. Namun akhirnya aku tahu, aku tak bisa lagi bersembunyi. Hari ini, aku meminta maaf pada semua orang, termasuk keluargaku. Aku juga berdoa pada para dewa, agar mereka nanti bisa mengampuni jiwaku. Aku berdoa, agar ayahku, dan seluruh saudaraku, termasuk ayahmu bisa memaafkan aku. Dan sekarang, aku juga ingin meminta maaf padamu. Aku tahu, mungkin berat bagimu untuk memaafkan—"

"Aku memaafkanmu," kata William.

Jawaban cepat darinya membuat semua orang tertegun.

"Kesalahan yang kaulakukan dulu tidak sebesar kesalahan yang kubuat hari ini," lanjut William. "Aku malu, jika tidak bisa memaafkanmu."

Benar. Akan lebih baik jika ia bisa memaafkan semua orang, tak peduli sebesar apa pun kesalahan mereka. Supaya ia bisa mati dengan lebih tenang.

Erenar mengangguk. "Kami semua juga telah memaafkanmu, Vahnar."

Dia mengangkat tangannya. Pengawal yang sejak tadi berdiri di belakang William berjongkok, lalu membuka ikatan rantai di tangan dan kakinya.

William memandang Erenar heran. "Kau ... melepaskan aku?"

"Ya, kamu bebas sekarang."

"Tapi ... buat apa aku bebas?" William menggeleng sedih. "Apa ini bisa membuatku kembali bertemu dengan Vida? Aku tidak mau ..."

"Vahnar! Hentikan!" seru Tilda. "Kamu pikir Vida suka melihatmu seperti ini?"

William menunduk. "Aku mencintainya ..."

"Dan ia juga mencintaimu! Kamu pikir dia mau melihatmu mati sekarang?" Tilda mendekat, dan memeluk kepala William yang kembali menangis, membenamkan di perutnya. "Dia mau kamu tetap hidup."

Ia lalu melepaskan pelukannya dan memandangi William. "Kamu mengenalnya, Vahnar, kamu tahu dia seperti apa. Kamu pasti tahu apa yang dia inginkan. Kamu sudah bebas, dan sekarang bisa melakukan sesuatu untuknya. Ini justru kesempatan bagimu. Kamu mengerti?"

William berusaha mengendalikan emosinya, sambil mengingat-ingat.

Apa yang Vida inginkan? Apa yang masih ingin dilakukan oleh gadis itu?

Kemudian sesuatu melintas di benaknya.

"Tapi, dengan membebaskanku, apa kalian tidak takut padaku?"

"Apa maksudmu, Vahnar?" tanya Tilda.

Beberapa orang saling berpandangan. Yang lainnya memperhatikan.

"Aku bisa membahayakan kalian. Ada sesuatu ... di dalam kepalaku, di tubuhku. Yang telah membuatku melakukan hal-hal buruk, dan tak bisa kukendalikan."

Erenar mengangguk. "Kami menyadari hal itu. Itulah kenapa kami merasa tak seharusnya menghukummu. Tapi kita tak boleh takut. Kita harus menghadapinya. Aku sudah bicara dengan Helga. Ia tahu apa yang terjadi. Besok kau bicaralah dengannya."

William mengangguk. Ia belum yakin dukun itu bisa membantunya, tapi mudah-mudahan bisa.


Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang