Bab 7 ~ Kisah Masa Lalu

544 160 2
                                    

Sang Ibu menjawab ucapan William dengan suara bergetar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sang Ibu menjawab ucapan William dengan suara bergetar. 

"William, kau telah mengatakannya sendiri, alasan kenapa Ibu tidak ingin memberitahukannya padamu. Hari itu, saat Ibu terakhir bertemu dengannya, ayahmu sendirilah yang menginginkan kita untuk pergi dan tidak lagi menoleh ke belakang. Ia tidak ingin kau tahu apa yang terjadi. Ia mengerti, jika kau sampai tahu, saat dewasa kau akan berusaha membalas dendam. Ia tidak ingin hal itu terjadi."

"Ia tak ingin aku membalas kematiannya?" William berkata lirih. "Kalau begitu, apakah aku bisa disebut anak yang berbakti?"

"Kau pikir baktimu diukur dari pembalasan dendam?"

William memandangi wajah ibunya, bingung.

"Baktimu diukur dari cintamu kepada kami," lanjut ibunya. "Jika kau mencintai ayahmu, dan juga ibumu, maka lakukan permintaan kami: jangan menoleh ke belakang."

"Tapi ... memangnya ada apa?"

"Ayahmu tak ingin kau tahu."

William menggeleng-geleng, tidak puas. 

"Ibu adalah orang paling bijaksana di dunia, dan aku percaya begitu pula ayahku. Tapi bagaimana aku bisa belajar kebijaksanaan dari Ibu dan juga dari Ayah, jika aku tidak diberi kesempatan mengetahui pengalaman hidup kalian? Atau mengetahui kebahagiaan dan penderitaan kalian? Ibu menyuruhku untuk tidak menoleh ke belakang, tapi ... mengapa aku harus melakukannya kalau aku tak tahu kebijaksanaan apa yang ada di dalamnya? Bagaimana aku bisa percaya terhadap larangan ini dan larangan itu, kalau aku tidak tahu masalah apa yang mungkin terjadi padaku nanti?"

Ibunya memejamkan mata lagi, kali ini lebih lama. Air matanya mengalir. 

"Sepertinya Ibu memang tak mungkin menahan ini darimu. Suatu hari nanti kau pasti akan tahu juga, dan Ibu tak ingin kau tahu dari orang lain. Ibu akan ceritakan semuanya, asalkan kau berjanji tidak melanggar perintah ayahmu, untuk tidak kembali ke negerinya, untuk alasan apa pun. Jangan pergi ke sana. Cukup ambil hikmah dari cerita ini, dan lupakan sisanya. Hidupmu masih terbentang luas di depanmu. Apakah kau bisa berjanji?"

William langsung berlutut. "Ibu, aku benar-benar anak tak berbakti jika sampai membuat Ibu menangis seperti ini! Aku berjanji akan mengikuti nasihat Ibu dan juga perintah Ayah. Jangan khawatir."

"Kalau begitu, akan kumulai dengan cerita hidup Ibu sebelum bertemu ayahmu. Ibu tak pernah menceritakan ini kepadanya. Kalaupun pernah, hanya sedikit. Ibu dulu sudah memutuskan, pada saat menikah dengannya maka semua masa lalu Ibu tidak penting lagi. Yang penting adalah kehidupan Ibu selanjutnya bersama ayahmu. Pilihan yang sama juga Ibu ambil saat berpisah dengan ayahmu. Yang paling penting bagi kami saat itu adalah kehidupanmu. Kau harus mengerti ini, William."

"Ya, Ibu."

"Nama Ibu yang sebenarnya adalah Ailene, dan aku berasal dari negeri Tavarin, jauh di selatan."

Dia bercerita. 

Di kota Tavar, ibukota negeri Tavarin, dia adalah putri seorang saudagar kaya. Hidupnya mudah dan masa depannya terjamin, apalagi jika dia jadi menikah dengan putra raja Tavarin. Sayangnya, ayahnya memiliki musuh, seorang saudagar lain yang kemudian menghasut keluarga kerajaan untuk menghancurkan dirinya. 

Saat itu Ailene berharap pada calon suaminya untuk melindungi keluarganya. Namun ternyata sang pangeran berkhianat. Pangeran itu mengirim prajurit untuk menangkap mereka dan menyita seluruh kekayaan mereka. Ailene dan ayahnya berhasil kabur, tetapi seluruh sanak saudara mereka terbunuh.

Mereka menyeberangi hutan dan lari ke negeri Alton di utara. Mereka bersembunyi, lalu memulai hidup sebagai pedagang kecil. Mereka berkeliling menjual dan membeli barang dagangan ke kota dan desa di sekitar Alton. 

Mereka tak berani bergerak terlalu jauh mendekati negeri Tavarin di selatan atau daerah kekuasaan Elniri di timur, maka mereka lalu menjelajah ke kota-kota yang lebih jauh di utara. 

Malang tak dapat ditolak, saat mereka berada di utara, orang-orang Hualeg datang menyerang dan sang ayah terbunuh bersama penduduk desa.

"Saat itulah ayahmu datang menolong Ibu. Ia seorang Hualeg, tetapi ia berbeda. Ia membebaskan Ibu dari tangan orang-orang itu. Ayahmu bernama Vilnar, dan ia lelaki paling sempurna yang pernah kulihat sepanjang hidup Ibu. Kuat, berani, terhormat. Tak ada seorang pun yang sebanding dengannya." Sang ibu tersenyum saat mengucap setiap kata-kata itu. 

Dia bercerita bagaimana ia menikah dengan Vilnar, lalu hidup bahagia di tepi sungai Ordelahr, jauh dari tanah kelahiran suaminya di utara. Di rumah itu pula Ailene melahirkan William.

"Vahnar adalah nama yang diberikan ayahmu saat kau lahir, tetapi Ibu menggantinya menjadi William begitu kita berdua tinggal di Ortleg saat kau berusia dua tahun, sebagaimana Ibu pun mengubah nama Ibu ketika itu. Sama sekali Ibu tak bermaksud mengabaikan nama pemberian ayahmu. Itu semata-mata Ibu lakukan untuk melindungi kita dari kejaran musuh-musuh ayahmu. Nama William Ibu pilih, karena itu adalah nama yang umum di selatan, dan Ibu menyukainya."

Vahnar? 

Nama itu membuat William dipenuhi rasa ingin tahu. Ia ingin bertanya apa arti nama itu, tapi lalu mengurungkan niat dan membiarkan ibunya meneruskan cerita. 

Entah perasaannya atau bukan, begian cerita selanjutnya disampaikan oleh sang ibu dengan nada yang lebih menyedihkan.

Ibunya bercerita bagaimana mereka bertiga pergi ke Hualeg, ke kampung halaman ayahnya, beberapa bulan setelah William lahir. Di sana mereka mengalami serangkaian kejadian menyedihkan. Kakek dan paman William yang tertua meninggal, dan ayahnya terlibat perselisihan dengan dua saudaranya yang lain. 

Karena tak ingin memperpanjang permusuhan, sang ayah memilih membawa William dan ibunya pergi lagi dari Hualeg. Namun saat berperahu di sungai musuh ayahnya berhasil mengejar. Sang ayah menyuruh keduanya agar pergi sendiri ke selatan, sementara ia menghadapi orang-orang itu. 

Mereka berpisah. Semenjak itu ibunya tak pernah lagi melihat ayahnya.

"Itu saja? Jadi Ibu hanya tahu sampai di sana? Ibu tidak melihat apa yang terjadi setelah kalian berpisah?" tanya William penasaran. "Ibu, bisa jadi Ayah belum meninggal!"

Ibunya menggeleng. "Ayahmu sudah meninggal. Jika tidak, ia pasti sudah menyusul kita. Itulah janjinya kepada Ibu, dan Ibu selalu percaya pada setiap ucapannya. Ibu mendayung selama berhari-hari ke selatan sampai akhirnya tiba di rumah kita yang lama di tepi sungai. Di sana Ibu menunggu. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan. Sampai akhirnya Ibu harus menerima kenyataan, bahwa ia memang sudah tidak ada, dan kita berdua harus memulai hidup kita yang baru. Ibu lalu membawamu pergi, dan sampai di Ortleg."

William mencoba memahaminya. Namun matanya menatap tajam. "Menurut Ibu, siapa orang-orang yang menyerang Ayah? Pamanku?"

Ibunya balik memandanginya. Dengan hati-hati dia menjawab, "Dengar, Nak, itu semua sudah tidak penting lagi."

"Bagaimana mungkin tidak penting?" William bertanya lirih. "Tentu saja itu sangat penting ..."

"Berarti kau belum mengerti kenapa aku bercerita!" Ibunya membuang muka, seluruh kesedihannya bercampur dengan kekesalan.

Melihatnya, napas William tertahan. Cepat-cepat ia berlutut.

"Maafkan aku, Ibu. Aku tak akan menanyakannya lagi." Ia menggenggam jemari ibunya erat-erat. "Percayalah, Ibu tidak perlu khawatir. Aku paham ada hal-hal yang lebih penting selain mengungkit-ungkit masa lalu. Hanya saja ... kurasa aku masih butuh waktu untuk mengakui, bahwa mengetahui pembunuh ayahku bukanlah sesuatu yang penting."

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang