Bab 34 ~ Raungan di Atas Tebing

289 104 2
                                    

William menguatkan dirinya. Begitu satu prajurit musuh muncul dari balik batu, pedangnya menebas leher orang itu. 

Pekikan perang bersahut-sahutan dari belakang, juga dari pasukan Hualeg. Pertempuran brutal terjadi di tepi sungai. William menghantam dan menebas setiap tubuh, pedang dan kapak musuh yang mendekat. Rekan-rekannya menyerang dengan tusukan tombak. 

Jerit kematian bercampur dengan bunyi besi beradu dan tubuh terbelah.

William dan rekan-rekannya berhasil membunuh lebih banyak di awal pertempuran. Mereka menahan musuh tetap berada di dalam ceruk sempit di tepi sungai, sehingga musuh tak leluasa bergerak. Namun keadaan berbalik begitu semakin banyak perahu yang merapat. 

Satu demi satu perisai-perisai kayu yang dibawa prajurit desa hancur, tak kuasa menahan ayunan kapak orang-orang Hualeg, Satu per satu pula prajurit desa terbunuh. Dari semula tiga puluh orang yang bertahan di tepi sungai, mungkin kini hanya tinggal dua puluh lima orang yang tersisa. 

Sementara orang-orang Hualeg itu terus berdatangan.

"Mundur!" William berseru. "Semuanya! Mundur ke desa!"

William membiarkan prajuritnya berlari lebih dulu mendaki jalan setapak menuju desa. Ia dan Thom bertahan paling akhir. 

Ia masih sempat membunuh beberapa kali. Menangkis setiap pedang dan kapak yang mendekat. Memotong apa pun yang ada di depannya. Ia sudah berada pada tahap di mana keganasannya mulai membuat gentar orang-orang Hualeg, sehingga mereka tak lagi berani menyerangnya seorang diri. Ia punya waktu untuk lari.

Ia bergegas melewati undak-undakan panjang, lalu menyusuri jalanan setapak di antara semak dan dinding batu. Di belakangnya puluhan prajurit Hualeg mengejar. 

William menjaga jarak, kemudian menoleh. Sudah ada sekitar dua puluh musuh yang hampir sampai ke dataran tinggi.

"Sekarang!" serunya.

Rogas dan para prajuritnya muncul dari balik semak dan dinding batu, langsung menyerang barisan orang-orang Hualeg yang terkejut. 

William menghentikan larinya, kemudian berbalik ikut menyerang. Pertempuran tahap kedua dimulai, dan kembali orang-orang desa berada di atas angin.

William dan Rogas memimpin rekan-rekannya membantai musuh yang terjepit dari dua arah. Tombak-tombak meluncur. Orang-orang Hualeg tumbang dan jatuh bertumpuk-tumpuk di undakan. 

Namun gelombang serangan pasukan mereka tidak berhenti. Jeritan perang mereka yang menakutkan malah semakin keras, dan mereka juga tak lagi ceroboh dengan berusaha menyerang William seorang diri. Jalan setapak menuju gerbang desa lebarnya dua kali bentangan tangan orang dewasa, dan orang-orang Hualeg bisa maju sekaligus dengan tiga orang, tentunya setelah melompati mayat rekan-rekan mereka sendiri.

Orang-orang dari utara itu menghancurkan tombak-tombak dan perisai prajurit desa. William, Rogas dan setiap prajurit berusaha keras menahan agar musuh tetap tertahan di jalan setapak yang sempit dan tidak sampai ke dataran tinggi tempat gerbang desa berada.

Namun teriakan lain kemudian terdengar dari belakang. "Tiga perahu Hualeg mendarat di selatan!"

William terhenyak dan mundur sejenak. "Mana pasukan Taupin dan Morrin?"

"Mereka baru turun dari tebing!" jawab entah siapa.

"Suruh mereka ke sini! Cepaaat! Kalian!" William menunjuk Thom dan beberapa prajurit yang bertahan di belakang, kebanyakan adalah yang tadi bertarung bersamanya di tepi sungai. "Dua puluh orang, ikut aku!" 

"Rogas!" Ia memanggil rekannya yang tengah bertarung di depan, lupa kalau mestinya ia memanggil dengan nama samaran. "Kalian bisa bertahan?"

Rogas mengangkat perisainya untuk menahan kapak, lalu menghunjamkan ujung pedang ke perut seorang musuhnya. "Tidak masalah!"

Walaupun awalnya ragu, William akhirnya mempercayakan pertahanan di jalan utama pada Rogas dan para prajuritnya. Mereka pasti bisa bertahan, jika prajurit Taupin dan Morrin dari atas tebing cepat datang. Sekarang ia punya tugas lain. 

Ia berlari ke selatan diikuti oleh dua puluh orang. Mereka menyeberangi desa yang kini sepi karena penduduknya sudah bersembunyi di hutan, lalu terus menuruni lereng bukit yang berumput-rumput tinggi. Di kejauhan tampak tiga perahu panjang yang telah merapat di tepi sungai. Jumlah prajurit Hualeg di dalamnya mungkin mencapai empat puluh orang.

Begitu turun dari perahu orang-orang Hualeg itu berlari, berusaha melewati tanah lapang yang berlumpur tebal. Sementara dari atas bukit William tak mau kehilangan kesempatan. Ia harus secepatnya sampai ke bawah dan menahan musuh agar tidak sempat keluar dari tanah berlumpur itu. 

William berlari lebih kencang. Di tepi tanah berlumpur ia berteriak garang, mengayunkan pedangnya menyapu barisan pertama orang Hualeg yang mendekat. Di belakangnya, Thom dan yang lainnya maju membuat barisan tombak dan perisai. 

William melepaskan seluruh emosinya, mengamuk dengan kekuatan, kecepatan, serta keberanian dan kenekatan yang ia sendiri tak pernah bisa membayangkan sebelumnya. Bahkan orang-orang Hualeg yang terkenal ganas mulai ngeri melihatnya.

Semangat prajurit desa ikut terpompa dan mereka bersama-sama maju mendesak, menahan orang-orang Hualeg agar terus terperangkap di tanah berlumpur, yang membuat kaki-kaki mereka tak mampu melangkah. 

Di tempat itu pasukan musuh menjadi santapan empuk, terbantai satu demi satu. Tanah berlumpur jadi ladang pembantaian bagi orang-orang dari utara.

Suara lengkingan panjang terdengar. Dari desa.

William tertegun, memikirkan tanda apa itu gerangan. Ia merinding, membayangkan bahwa itu mungkin adalah tanda kemenangan orang-orang Hualeg. 

Belasan prajurit Hualeg yang masih tersisa di hadapannya berbalik, kemudian lari menuju perahu mereka. 

William diam sesaat, masih bingung, lalu coba mengejar. Ia membunuh dua musuh yang larinya paling lambat. Namun satu perahu berhasil lolos, dengan sekitar sepuluh orang di dalamnya. 

Ngos-ngosan, William menoleh pada para prajurit di sampingnya.

"Kembali ke desa! Kita harus membantu yang lain! Cepaaat"

Ia mendaki lereng berumput bersama belasan prajuritnya yang tersisa. Tubuhnya sudah lelah, napasnya menderu-deru, tapi ia terus memaksa dirinya. 

Berbagai pikiran buruk menghampiri. Bagaimana jika ternyata ia terlambat dan tak mampu menyelamatkan siapa-siapa di desa? Bagaimana jika rekan-rekannya ternyata sudah kalah dan tewas di sana? William hampir menangis.

Ia sampai di atas dan terus berlari menyeberangi desa. Bagian tengah desa masih sepi. Belum tampak kehadiran orang-orang Hualeg. Maka ia terus berlari. Masih ada harapan! Mungkin ia masih bisa ikut bertarung!

Ia heran ketika akhirnya sampai di depan gerbang desa. Seluruh rekannya yang ada di sana tengah bersorak, melompat-lompat dan saling memeluk, sebagian menangis.

"Kita menang!" seru mereka. "Kita menang!"

William bengong, tak percaya. Ia tak mempedulikan semua orang yang menyambut kedatangannya dan melanjutkan larinya hingga ke puncak bukit. 

Di sanalah, di tempat yang paling tinggi di desa ini, akhirnya ia bisa melihat semuanya. Orang-orang Hualeg yang kalah telah mendayung lima perahu mereka kembali ke utara.

Menggigil, tak kuasa menahan luapan emosi, William pun mengacungkan pedang dan tinjunya ke langit, meraung keras sekuat-kuatnya.

Raungannya menggelegar hingga ke seluruh penjuru lembah. Bahkan mungkin terdengar hingga ke telinga orang-orang Hualeg.

Seluruh emosinya terlepas. Rasanya lega luar biasa. 

William memejamkan mata dengan kedua tangan terentang, membiarkan sinar matahari menerpa wajahnya, lalu ia membuka mata dan menoleh ke bawah dengan wajah berseri-seri.

Puluhan prajurit desa tengah memandanginya, terpukau, lalu mereka semua ikut mengacungkan tinju dan senjata ke udara, meraung bersamanya.

Northmen SagaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora