Epilog 4 ~ Terus Menunggu

188 56 2
                                    

Hujan kembali turun sore itu, hampir selalu di waktu yang sama seperti beberapa hari terakhir. Musim dingin sebenarnya telah lama berlalu, tetapi hawa masih tetap terasa menggigit, terutama saat malam tiba. Muriel menyalakan perapian di tengah ruangan, lalu duduk dan mengambil buku yang ada atas meja di sampingnya, meneruskan bacaannya.

Baru satu halaman ia membaca, terdengar suara ketukan di pintu. Muriel mendongak, dan tercenung sejenak. Pasti bukan ayahnya yang datang. Dia biasanya akan langsung masuk, membuka pintu, baru memberi salam.

Tapi siapa yang datang sore-sore begini?

Pelanggan dari jauh, atau malah tetangga?

Biasanya tetangga jarang berkunjung, kecuali jika mereka membawa berita buruk. Apakah ada berita buruk? Atau jangan-jangan ...

Muriel menggeleng, berusaha menghilangkan pikiran buruk dari kepalanya. Ayahnya hanya sedang pergi ke desa sebelah, jadi mestinya tidak terjadi sesuatu yang buruk padanya. Ia berjalan mendekati pintu dan mengintip lewat celah jendela. Seorang laki-laki berjas hujan berdiri di beranda. Wajahnya tidak jelas, karena dia mengenakan tudung kepala.

Muriel lalu melihat lebih jauh ke seberang jalan. Max, laki-laki bertubuh besar yang selama ini ditugaskan oleh Tuan Horsling untuk menjaga rumahnya masih terlihat duduk santai di depan gubuknya, walau tatapannya tertuju ke rumah Muriel. Max tahu soal laki-laki yang datang ini, jadi berarti dia ini sepertinya tidak berbahaya. Bukan bagian dari kelompok bandit yang dulu dihadapi William di tepi sungai. Muriel tidak perlu takut.

Tetap saja, perasaan tidak nyaman tiba-tiba datang.

Ia membuka pintu, sedikit saja, sambil berjaga-jaga.

Laki-laki di depannya mengangkat wajah. Walaupun dia masih memakai tudung, Muriel bisa mengenalinya.

"Hai, Muriel. Apa kabar?" Laki-laki itu menyeringai.

Muriel masih ingat, betapa menyebalkannya seringai itu dulu.

Kadang membuatnya takut juga.

"Rogas." Muriel menarik napas sambil menyebut nama orang itu. "Apa yang kau lakukan di sini?" Tangannya pelan-pelan meraih gagang martil yang tersembunyi pada dinding di balik pintu. "Mana William?"

"Aku datang tidak berniat buruk, jangan takut," kata Rogas, seolah tahu apa yang sedang dilakukan Muriel di balik pintu. "Temanmu itu juga tahu." Ia menunjuk ke arah Max yang berada di seberang jalan.

"Mana William?"

"Dia baik-baik saja."

"Di mana?" tanya Muriel lebih keras.

"Di utara! Di salah satu desa. Dia baik-baik saja."

"Kenapa kau meninggalkannya?"

Rogas tampak ragu, lalu menyeringai lagi. "Dia dibutuhkan di sana. Sedangkan aku tidak terlalu."

"Dibutuhkan buat apa?"

"Kami harus membantu orang-orang desa dari serangan orang Hualeg. Sejauh ini kami berhasil." Rogas terkekeh. "Kami cukup bagus."

Muriel ternganga. "Orang Hualeg? Bukankah itu berbahaya?"

Emosinya tersulut. Ia membuka pintu lebih lebar dan mengacungkan martilnya. "Kau membawanya ke utara untuk berlindung, dan sekarang meninggalkannya, untuk melawan orang-orang mengerikan?"

"Hei, tenang dulu." Rogas mundur sambil mengangkat kedua tangannya. "Muriel, William sangat mampu melindungi dirinya sendiri. Ia tidak seperti orang yang kau kenal selama ini. Maksudku, ya, dia masih tetap anak baik, hanya saja saat ini sudah sedikit berbeda. Aku berani taruhan, orang-orang Hualeg sekarang lebih takut pada William daripada sebaliknya."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now