Bab 33 ~ Sepuluh Perahu Panjang

292 90 3
                                    

William mengikat pergelangan tangan dan kaki si gadis berambut merah, lalu membopong tubuh gadis itu ke bahunya. Ia sudah mendapatkan satu orang untuk dijadikan sumber informasi, jadi mestinya ia tak perlu mencari-cari lagi. 

Ia berlari menembus hutan. Langit mulai gelap ketika ia sampai di aliran sungai kecil tempat pertarungannya yang pertama. Dilihatnya sudah tak ada lagi mayat rekan-rekannya di sana, yang pasti sudah dibawa ke perahu. 

Wajah Thom yang khawatir kemudian muncul dari balik pohon.

"Siapa yang kau bawa?" tanya laki-laki itu heran.

"Belum tahu," jawab William. "Mana yang lain?"

"Sudah pergi duluan. Ayo!"

Hutan sudah semakin gelap. Saat mereka tiba di tepi sungai, matahari sudah terbenam, dan di sana tinggal ada satu perahu berisi tiga prajurit.

"Yang lain pulang duluan bersama mayat rekan kita," kata Thom. "Jangan khawatir. Kusuruh mereka agar tidak terpancing kalau melihat sesuatu."

"Kau tidak khawatir pada kita sendiri?" tukas William.

Thom menyeringai. "Ada kau, bukan? Aku tidak perlu khawatir. Atau malah harus?"

"Mungkin harus." William menyeringai. "Dan aku pikir, mungkin aku sudah tahu apa yang membuat rekan-rekan kita kemarin terpancing. Gadis ini. Rekan-rekan kita melihatnya di tepi sungai. Dia lari, rekan-rekan kita lalu turun dan mengejarnya. Tapi di tengah hutan malah terkepung, dan mati."

"Menurutmu begitu?"

"Mungkin. Tidak penting lagi sekarang," jawab William pelan.

Ia dan para prajuritnya mendayung secepatnya. Mereka tidak menyalakan obor supaya bisa lebih aman saat melakukan perjalanan. William telah membunuh enam prajurit Hualeg, tetapi ia yakin masih banyak yang lainnya. Ini baru sebagian kecil. 

Mereka mendayung sepanjang malam. William yang sejak kemarin hanya tidur sebentar menggunakan kesempatan itu untuk melepas kantuk, dan membiarkan prajuritnya mendayung.

Ia bangun saat fajar dan hampir sampai di Thaluk. Gadis berambut merah di sampingnya juga sudah membuka mata. Gadis itu menatapnya dengan sorot mata ngeri, tapi tak mampu bersuara karena mulutnya sudah disumpal dengan kain.

"Aku terpaksa menyumpalnya begitu dia bangun," kata Thom. "Daripada nanti teriak-teriak."

Tindakan yang bijak. Mereka sudah cukup jauh dari sungai di utara, dan jika gadis itu berteriak, teriakan itu tak akan mungkin terdengar oleh rekan-rekannya. Tetapi tetap lebih baik dia dibuat diam saja sampai tiba di markas, supaya tak memancing perhatian orang-orang di desa.

Begitu sampai di desa William membopong tubuh gadis itu dan membawanya ke markas, ke depan Rogas, Taupin dan Morrin yang sudah berkumpul. Pada mereka ia menceritakan secara singkat pengalamannya, dan alasan kenapa ia membawa gadis itu.

"Ia bisa memberitahu kita berapa banyak orang Hualeg yang datang, dan ada di mana mereka sekarang," jelas William.

"Menurutmu begitu?" tanya Rogas tak yakin.

Taupin menukas, "Kita harus mencari orang yang bisa berbahasa Hualeg untuk menanyainya."

"Ada satu orang yang bisa," kata Morrin. "Dorin, ia tinggal di barat desa. Akan kupanggil sekarang."

"Ya, panggil saja." Rogas mendengus. "Tampaknya gadis ini memang harus bicara. Kalau tidak terpaksa aku berbuat sesuatu padanya."

William melirik kesal dan mendamprat, "Jangan macam-macam! Aku yang menangkap gadis ini, jadi aku yang bertanggung jawab. Kita akan menanyainya dengan baik-baik. Jika aku melihatmu berbuat kurang ajar, kupatahkan lagi hidungmu."

Rogas tersenyum masam. "Kau benar-benar berpikir perempuan Hualeg ini bisa membantumu? Gadis ini bicara atau tidak, mati atau tidak, orang Hualeg tetap akan datang, dan kita akan tetap bertempur melawan mereka. Lebih baik kau bawa langsung saja dia ke kamarmu. Itu akan lebih menyenangkan."

William naik pitam, dan hampir saja mendaratkan tinjunya ke hidung Rogas, jika saja ia tidak mendengar teriakan seseorang dari luar markas. 

Taupin dan Morrin bergegas keluar, disusul oleh Rogas. William melihat sebentar ke arah si gadis yang kedua tangannya kini diikat ke tiang, lalu menyusul keluar.

Thom tampak berlari menyeberangi desa, mendekati mereka sambil berteriak, "Orang-orang Hualeg sudah kelihatan! Ada sepuluh perahu!"

William bergegas lari, disusul yang lainnya, menuju ke puncak tebing untuk melihat sendiri. Thom benar, jauh di utara, sepuluh perahu panjang muncul beriringan dari balik hutan dan bergerak dengan kecepatan tinggi ke selatan. Tidak jelas berapa jumlah orang di tiap perahu, tapi mungkin sepuluh orang.

Morrin langsung lari turun ke desa untuk memberitahu para penduduk. Mereka harus segera mengungsi ke bukit. Sementara Taupin menyuruh Rogas menyiapkan para prajurit.

"Ayo!" seru Rogas pada William. "Apa lagi yang kau tunggu?"

"Kau turun dulu! Aku menyusul!"

William kembali ke markas, dan menarik keluar gadis tawanannya dari ruang tamu utama. William membopong gadis itu, membawanya ke kamarnya yang terletak di halaman belakang. Di dalam kamar ia mengikat kedua tangan si gadis Hualeg ke dipan kayu. 

"Dengar, aku tidak akan berbuat sesuatu yang buruk padamu. Tapi kau juga sebaiknya tidak macam-macam. Aku akan kembali, jika teman-temanmu tidak membunuhku terlebih dulu."

Dengan mulut yang masih tersumpal gadis itu hanya bisa mengerang. Kakinya menendang-nendang, matanya melotot. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu. Percuma. William takkan mengerti apa yang akan dia katakan, maka ia mengabaikannya.

Seluruh prajurit sudah berkumpul. Rogas membagi mereka sesuai rencana. Sepertiga pasukan berjaga di bibir tebing untuk menyerang dari atas, sepertiga bersembunyi di balik batu-batu besar di sisi sungai sebagai baris pertahanan pertama, dan sisanya bertahan di jalan setapak mendaki menuju ke desa.

William, yang dianggap paling kuat dan pandai menggunakan pedang, harus berada di sisi sungai. Ia mengerti sepenuhnya, apa yang dilakukannya dalam pertempuran nanti akan sangat berpengaruh pada seluruh pasukan. 

Jika ia mampu bertarung dengan baik, moral rekan-rekannya akan terangkat. Sebaliknya, jika ia gagal, dan bahkan terbunuh, mereka akan kehilangan keberanian. 

Ia tidak boleh kalah, tak peduli bahwa sebenarnya pengalamannya masih sangat minim, dan bahwa ini adalah pertempuran besarnya yang pertama.

Teriakan orang-orang Hualeg mulai terdengar. William mendongak, memperhatikan puncak tebing. Taupin dan Morrin seharusnya sudah siap di sana. Kemudian ia menoleh ke kiri, ke arah Thom dan para prajurit yang menunggu dengan gelisah bersamanya di balik batu-batu besar.

"Nanti kalian ikuti aku saja," katanya. "Kita baru akan keluar jika orang-orang itu lolos dari serangan awal dan naik ke daratan. Jangan takut."

William mengintip dari balik batu. Perahu pertama yang berisi kurang lebih lima belas orang semakin dekat. Mereka kini berada di bawah tebing. Itulah waktunya serangan awal. 

Para prajurit desa pimpinan Taupin dan Morrin menggulirkan batu-batu besar dari atas tebing. Suara gemuruhnya mengejutkan setiap orang. 

Orang-orang Hualeg tak sempat menghindar. Batu-batu besar menghantam kepala dan tubuh mereka, bahkan menghancurkan perahu. Perahu pertama dan kedua hancur. Prajuritnya tercerai berai ke sungai. Yang pingsan tenggelam atau terbawa arus, yang tidak terluka lalu berenang ke tepian.

Perahu-perahu Hualeg berikutnya berhasil menghindar. Mereka menjauh dari sisi kiri yang dekat dengan tebing dan merapat ke sisi kanan sungai, baru kemudian menyeberang ke tepian yang mengarah ke desa. 

Orang-orang Hualeg yang berada di perahu ketiga dan keempat itu siap mendarat.

William menggenggam pedangnya erat-erat. Inilah saatnya. 

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang