Bab 81 ~ Nilai-Nilai Kehidupan

237 84 1
                                    

"Jadi, tidak ada yang aneh dengan kedatangan kita berdua ke rumah ini," kata Vida. "Benar, bukan? Atau kamu masih punya pertanyaan lain?"

"Mmm ... tidak," kata William ragu.

"Bagus. Kalau begitu sekarang waktunya tidur. Perjalanan masih sangat panjang, sementara kita sudah berada di sungai ini terlalu lama."

"Nah. Ini. Berapa lama lagi kita akan sampai di ... dukun yang kamu maksud itu?" tanya William. "Maaf, kalau aku bertanya lagi."

"Dua minggu. Bisa lebih cepat, karena kita mengikuti arus ke utara."

"Setelah itu, aku bisa kembali ke selatan?"

Vida termenung sesaat. "Jika kamu ingin kembali, kamu bisa kembali."

"Begini. Aku tahu kamu ingin aku membantumu lagi, dan mungkin aku akan membantu," kata William, "tapi kuharap aku bisa tetap punya pilihan."

"Aku mengerti."

"Dan jika aku hendak pulang, aku butuh perahu."

"Kami akan mengantarkanmu."

"Walau artinya kamu akan berada di selatan lebih lama?"

"Ya, itu konsekuensinya. Kamu tidak perlu ragu, itu janjiku," kata Vida.

William mengangguk-angguk. "Terima kasih."

Walau dalam hati sebenarnya ia masih agak ragu dengan janji itu. Ia masih belum bisa sepenuhnya percaya pada Vida.

Vida balas mengangguk. "Ada lagi?"

"Aku punya beberapa pertanyaan untuk William," tiba-tiba Freya berkata. Senyuman gadis berambut merah itu mengembang. "Cukup banyak. Bolehkah?"

"Tentang apa?" William nyengir melihatnya. Ia sempat takut, tapi kemudian yakin kalau pertanyaan dari Freya pasti akan ringan-ringan saja.

"Tentang ayah dan ibumu. Apakah mereka orang selatan juga?"

Senyuman di bibir William perlahan-lahan lenyap.

Freya memandanginya. Begitu pula Vida. Menunggu.

"Tentu saja," William menjawab. "Memangnya dari mana lagi?"

"Dari mana tepatnya?"

"Jika aku cerita, berarti kamu juga harus cerita tentang orangtuamu," balas William, coba mengelak. Untuk saat ini, ia belum mau Freya dan yang lainnya tahu kalau ayahnya adalah orang Hualeg, dari suku yang sama dengan mereka. Dari cerita ibunya dulu, ayahnya berselisih dengan saudara-saudaranya dari suku Vallanir, dan William belum tahu apakah hal itu baik atau buruk baginya jika Vida dan rekan-rekannya tahu. Bisa jadi berbahaya.

"Aku tidak masalah cerita tentang orangtuaku," kata Freya. "Ayahku—"

"Menurutku sudah cukup," Vida memotong.

Freya menoleh, menatapnya kesal.

Vida balas menatap dengan sengit. "Soal ini bisa dibicarakan lain waktu."

Diam sejenak, kedua kucing galak itu saling menatap, lalu dengan santai Freya menoleh sambil mengangkat bahu.

"Begitulah, kakakku sudah bertitah, dan artinya itu harus dituruti." Ia tersenyum pada William, dan pura-pura berbisik, "Kita bisa bicara besok, berdua saja, soal ini. Bagaimana? Setuju?"

"Hmm ... boleh ..." William meringis.

"Hei, kubilang sudah," Vida langsung menukas. "Waktunya tidur."

Semua orang patuh padanya. Kadang jika sedang diperintah begitu William jadi teringat pada ibunya, yang perintahnya singkat tetapi selalu terbukti efektif.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now