Bab 64 ~ Rapat Perang

230 77 1
                                    

"Da! Da-da! Da-da!"

"Hmm. Kau memanggilku, Nak?"

Si kecil Vahnar mencakar hidung Vilnar sambil tertawa-tawa, bahkan menarik cambangnya. Kedua kaki mungil bocah itu menendang-nendang leher dan telinganya. Tendangan yang kuat dan mantap. Vilnar membiarkannya.

Ia meletakkan dagunya di tepi tempat tidur, duduk santai di lantai kayu yang berselimut kulit tebal, kemudian memejamkan matanya, seperti yang biasa ia lakukan setiap hari selama lima bulan terakhir setiap kali ia menyambut putranya di pagi hari.

Dari belakang jemari lembut Ailene lalu menyusup datang dan membelai wajahnya. Desah napas istrinya terasa di lehernya. Vilnar membiarkan Ailene memeluk tubuhnya. Ia kemudian teringat, istrinya itu baru saja melewatkan malam dingin pertamanya di Hualeg.

Vilnar membuka matanya dan melirik. "Lebih hangat sekarang?"

"Sedikit." Ailene makin merapat.

"Bisa lebih kuhangatkan, kalau kau mau." Vilnar menciumi jemari istrinya.

Ailene tertawa kecil. "Kau bisa?"

Vilnar berbalik dan merengkuh tubuh istrinya, menciuminya, membiarkan gairah menguasainya. Gejolak yang selalu ia rasakan setiap kali memandang istrinya, merasakan desah napasnya, dan membelai kulit halusnya. Setiap hari, sejak ia pertama kali bertemu dengannya, sampai kini, dan semoga selamanya.

Selamanya? Ya, selamanya.

Namun seringkali, ada rasa takut kehilangan dan tidak bisa bersama selamanya, yang membuat seluruh kesempatan ini terasa begitu berharga dan tak layak dikorbankan untuk apa pun.

Sebuah kesempatan yang hilang, walaupun hanya kesempatan kecil.

Seperti saat ini.

Suara ketukan pelan dari luar pintu kamar.

"Vilnar." Suara Kronar terdengar.

Vilnar mengatur napasnya, berusaha menahan kekesalannya, sebelum menjawab, "Ya?"

"Kalian bertiga sudah sarapan?"

"Belum."

"Sarapan sudah tersedia di ruang makan," kata Kronar. "Setelah sarapan, segeralah kau ikut denganku. Ada pertemuan penting di balai desa. Aku menunggumu di sana."

"Ya, aku akan menyusul." jawab Vilnar lagi.

Ia melirik ke arah Ailene yang wajahnya begitu dekat di sampingnya.

Setelah suara langkah kaki Kronar menjauh, Ailene bertanya, "Ada apa?"

Vilnar mengangkat bahu. "Katanya ada pertemuan penting, tapi aku belum tahu tentang apa."

Itu jawaban untuk istrinya. Namun sebenarnya Vilnar sudah bisa menebak hal penting apa yang akan dibahas. Ayahnya telah menyampaikannya tadi malam, tentang kemungkinan adanya serangan suku Logenir dari barat. Karena itu sesuatu yang kedengarannya berbahaya, lebih baik ia tidak memberitahu istrinya tentang masalah ini, untuk sementara waktu.

Mereka kemudian sarapan di ruang makan yang terletak di lantai bawah. Ruang makan itu besar, dengan meja terbuat dari kayu tebal sepanjang sepuluh langkah di tengah-tengahnya. Dulu sekali, itu adalah meja yang selalu ramai oleh celoteh dan gurauan kanak-kanak Vilnar dan ketiga kakaknya, teguran lembut ibunya, dan tawa lebar membahana ayahnya.

Tempat yang paling indah di rumah ini. Saat paling indah dulu, ketika semua bocah itu belum mengenal pedang atau kapak. Sudah lama sekali. Sekarang keindahan itu nyaris tak bersisa. Sunyi, gelap, dingin, adalah yang terasa ketika Vilnar memasukinya.

Hanya ia beserta istri dan anaknya yang ada sekarang, karena ternyata Radnar sudah pergi ke balai desa. Jadi mereka bertiga pun makan.

"Wa-wa! Wa!" Putranya bersuara lagi ketika berusaha menggapai sendok kayu di depannya.

Vilnar tersenyum. Ia mengambil sendok kayu itu dan memberikannya pada putranya. Sementara di sampingnya Ailene mengaduk bubur di mangkuk, yang nanti akan disuapi ke putranya.

Kehangatan itu sebenarnya masih bisa datang, jika ia mau.

Selesai mereka makan, Vilnar meminta Ailene dan putranya kembali ke kamar, sedangkan ia lalu pergi ke tempat pertemuan.

Dan sepanjang perjalanan ke sana ternyata ia menemukan sejumlah hal yang mampu menghilangkan kekhawatirannya. Ayahnya kemarin berkata bahwa rakyatnya tidak pernah melupakan Vilnar bahkan setelah ia pergi bertahun-tahun. Ternyata benar. Setiap laki-laki dan perempuan, tua dan muda, pemburu, pencari kayu bakar, peramal atau pandai besi, yang bertemu Vilnar menyapanya dengan hangat, bahkan memeluknya.

Vilnar gembira karena mendapat sambutan yang lebih hangat dibanding saat kedatangannya kemarin. Sayangnya ia tak bisa berbincang terlalu lama dengan mereka. Ada urusan penting saat ini. Ia berjalan semakin dalam ke tengah desa, menuju ke sebuah bangunan yang paling besar di sana.

Kegembiraannya memupus, ketika ia melihat wajah tegang para prajurit yang berjaga di depan. Ia pun masuk ke dalam balai pertemuan.

Di balai desa itu sudah berkumpul sekitar dua puluh orang. Mereka semuanya duduk membentuk lingkaran. Radnar dan Kronar ada di sana, begitu pula Tarnar dan Erenar. Vilnar memberi salam singkat lalu duduk di pojok ruangan, sedikit di belakang.

Sesuai perkiraannya, baru saja ada kabar penting. Malagar dan pasukannya dari suku Logenir telah menduduki daerah perburuan suku Vallanir di utara. Kini suku-suku dari barat itu bisa melanjutkan serangannya ke mana saja. Orang bilang, yang terdekat adalah ke wilayah Drakknir, atau jika mereka nekat, bisa saja langsung ke Vallanir.

Radnar bersandar di kursinya, tampak khawatir dan juga sedikit kesal. "Malagar sudah mengangkat kapak perangnya. Ia memang pemberani. Sekarang, kita akan melihat apakah ia juga seorang yang pandai, atau justru sebaliknya, yang paling bodoh di negeri ini."

Kronar yang duduk di sampingnya menambahkan, "Malagar membawa lima ratus orang prajurit dari berbagai sekutu mereka di barat, dari suku Logenir sendiri dan beberapa suku kecil di sana. Tapi kita sudah siap dengan tiga ratus prajurit, ditambah seratus dari sekutu kita, suku Brahanir, yang sebentar lagi akan datang dari timur. Jumlah kita lebih sedikit, tapi prajurit kita lebih terampil, jadi kurasa tidak akan ada masalah. Kita bisa melawannya."

"Tentu saja! Kita pasti akan menang!" seru Tarnar menyahut. "Menurutku si Malagar ini lebih bodoh dibanding kakaknya, jika mengira bisa menang melawan kita."

"Mungkin tak sebodoh itu," gumam Erenar yang duduk di sebelahnya. "Kita tetap harus hati-hati."

Tarnar menatap adiknya tajam. "Hei, Erenar, kita pasti menang mudah kalau orang Drakknir juga bisa membantu. Bagaimana kabar mereka?"

"Mereka bilang akan menyusul di medan pertempuran." Erenar hanya melirik sebentar ke arah Tarnar. "Jumlahnya sekitar seratus orang."

"Hah! Kenapa tidak bilang dari tadi?" tukas Tarnar.

"Aku baru mau menjelaskan," balas Erenar tenang, "tapi seperti biasa, kau selalu ingin berbicara terlebih dulu sebelum mendengarkan."

Wajah Tarnar memerah.

Radnar menengahi keduanya lewat pertanyaan untuk anak sulungnya, "Kronar, bagaimana dengan suku Andranir? Sudah ada kabar?"

"Belum." Kronar menggeleng. "Tapi mereka sekutu kita, jadi seharusnya mereka datang. Dengan tambahan seratus lima puluh orang dari mereka, itu perkiraanku, berarti pasukan kita sudah lebih dari cukup."

"Ya, sudah cukup juga kita bicara soal jumlah menjumlah," kata Tarnar yang semakin tidak sabar. "Kapan kita berangkat?"

Northmen SagaWhere stories live. Discover now