Bab 41 ~ Tebing Curam

275 95 1
                                    

William mengencangkan ikatan pedang di punggungnya sambil mendongak memperhatikan tebing, memilih jalur yang akan ia lewati. Ia membayangkan bagaimana tubuhnya bergerak, ke mana tangannya harus meraih dan kakinya harus menginjak. 

Setelah yakin, ia pun mulai memanjat. Dengan hati-hati ia menyelipkan jari tangan dan ujung kakinya di antara celah-celah batu, lalu mendorong pijakannya hingga tubuhnya terangkat.

Selama memanjat tebing William sama sekali tidak melirik ke bawah. Ia hanya mendongak ke atas atau beristirahat melemaskan otot-otot di lehernya supaya tidak tegang. Rekan-rekannya ikut memanjat di bawahnya.

William terus naik. Ia tak tahu sudah seberapa tinggi, tapi mestinya sudah cukup jauh dari dasar tebing. Ia mulai lelah, tangan dan kakinya terasa sakit, tetapi di saat bersamaan semangatnya semakin terpacu begitu melihat bibir tebing di atasnya. Sepertinya jaraknya tinggal lima tombak lagi.

Rintihan seseorang sampai di telinganya. "Tuck ... Tuck ..."

Dari prajurit di bawahnya. William memberanikan diri melirik ke bawah, tetapi dari posisinya ia sulit melihat siapa yang ada di bawahnya.

"Tuck ... aku tidak kuat lagi ..."

"Spitz!" William mengenali suaranya. Ia mencari kata-kata yang bisa menumbuhkan semangat. "Ayo!" serunya. "Kau bisa! Sebentar lagi!"

William terus berusaha menyemangati setiap prajuritnya dan memanjat. Sedikit lagi! Perlahan tubuhnya bergerak naik semakin tinggi, semakin tinggi, dan akhirnya ia berhasil mencapai bibir tebing. Ia mencengkeram rerumputan tebal di atas tebing, lalu mengangkat kakinya dan berguling. 

Dengan napas tersengal ia tersenyum lebar memandang langit. Matahari yang sudah sampai di puncak langit menerangi wajahnya, dan ia pun memejamkan mata.

Kemudian cepat-cepat ia menoleh ke sekelilingnya, memastikan dirinya benar-benar berada di tempat sepi. Untunglah, hanya ada deret pepohonan di sana-sini. Ia lalu menggeser tubuhnya, melihat ke bawah tebing.

"Ayo!" serunya pada seluruh kawannya yang masih merayap. "Sedikit lagi! Setelah itu kalian bisa beristirahat."

Thom menyusul naik tak lama kemudian, lalu Mullen. Spitz yang muncul berikutnya tampak benar-benar lelah, seluruh tubuhnya bergetar, tapi akhirnya ia berhasil. Pemuda itu tertawa setengah menangis. 

Dua prajurit berikutnya, Boulder dan Alend, juga selamat sampai di atas tebing. Mereka semua tertawa gembira dan saling menepuk bahu masing-masing.

"Ayo," kata William setelah merasa tenaganya pulih. "Kita lihat apa yang terjadi di desa."

William dan para prajuritnya melingkari lereng bukit ke arah timur, lalu melewati jalan setapak yang diapit dinding batu setinggi lima tombak. 

Mereka tiba di ujung celah tebing. Jauh di sebelah kanan tampak beberapa rumah kecil milik penduduk desa. Para penghuninya sudah mengungsi jauh. Rumah itu kosong, atau mungkin sudah diisi orang-orang Hualeg.

"Kau punya rencana?" tanya Thom pada William.

William mengangguk. "Pertama, kita periksa keadaan desa dan penduduknya. Setelah itu, bunuh orang-orang Logenir, atau usir mereka."

"Logenir?"

"Orang-orang Hualeg itu."

"Kau yakin bisa melakukannya?"

William memandangi rekan-rekannya. "Ya."

Thom sepertinya tak mau percaya begitu saja. "Begini, maksudku, para penduduk mestinya sudah mengungsi ke perbukitan di timur." Ia menunjuk ke hutan di sebelah kiri. "Kenapa kita tidak ke sana lebih dulu?"

"Aku, Mullen dan Spitz akan memeriksa keadaan di desa," jawab William. "Mungkin ada teman kita yang terjebak, dan kita harus menyelamatkannya. Kau, Boulder dan Alend pergilah ke bukit, cari penduduk yang selamat."

"Tidak," tukas Thom. "Aku ikut denganmu."

Prajurit yang lain setuju. Boulder dan Alend pergi ke perbukitan, sementara William dan ketiga prajurit lainnya mengamati desa. 

Mereka maju sedikit demi sedikit, menyusup di antara semak dan rerumputan tebal. Setelah yakin tak ada orang-orang Hualeg di sekitar rumah yang mereka tuju, mereka berlari ke sana. Mereka bersembunyi di dinding belakang rumah, lalu pelan-pelan bergerak ke depan. 

Terdengar suara beberapa orang sedang berbicara.

Hati-hati, William mengintip dari balik dinding. Di halaman ada empat prajurit Hualeg yang tengah duduk sambil minum-minum.

"Arak tak baik di siang hari," bisik Thom sambil menyeringai.

"Ya." William menggenggam erat pedangnya, lalu melompat keluar dan langsung menebas leher seorang prajurit musuh. 

Ketiga laki-laki Hualeg lainnya terkejut. Sebelum mereka mampu berteriak minta tolong maut datang menjemput lebih cepat. William membantai satu lagi dengan tusukan ke arah perut, dan dua lainnya yang tersisa diselesaikan oleh Thom dan Mullen.

Mereka bergerak bagai pembunuh berpengalaman, tetapi William tetap merasa itu keberuntungan, karena tindakan ini tidak sampai diketahui prajurit Hualeg yang berkumpul di tengah desa. 

Ia dan rekan-rekannya menarik tubuh-tubuh tak bernyawa itu, menyembunyikannya di balik belukar. Mereka lalu mendekat ke desa, ke rumah yang terletak di dataran tinggi, di dekat tebing. Hanya ada dua prajurit Hualeg yang berjaga, dan keduanya juga berhasil dibereskan tanpa menimbulkan kegaduhan. Dari sana William bisa melihat keseluruhan desa. 

Pemandangan yang membuat napasnya tertahan.

Orang Hualeg ada di mana-mana. Di tanah lapang di tengah desa, di sekitar bangunan tua di atas tebing, juga di sekitar jalanan utama menuju ke sungai. Yang paling banyak ada di tanah luas di sebelah kiri. 

Orang-orang itu sedang mengumpulkan berpuluh-puluh mayat. Semua bercampur menjadi satu, mayat orang-orang Hualeg maupun mayat para prajurit desa.

Sesaat William dan ketiga rekannya terdiam. Kesedihan bercampur dengan dendam. Mereka sudah membayangkan akan melihat hal mengerikan semacam ini, tetapi begitu benar-benar melihatnya, mereka tetap tak mampu mempercayainya. 

Membayangkan teman-teman yang mereka kenal ternyata sudah mati dan diperlakukan seperti itu, rasanya tak bisa digambarkan dengan kata-kata.

"Banyak sekali ..." Spitz berkata lirih.

"Mayatnya? Atau orang-orang keparat itu?" tanya Thom.

Spitz hanya menggeleng sedih.

"Kuhitung ada sekitar empat puluh prajurit Hualeg," kata Mullen, yang berusaha menahan emosi. "Sementara tumpukan mayat itu ... mungkin dua kali lipatnya."

"Berarti belum semuanya ..." gumam William.

"Maksudmu?" Thom bertanya.

"Sebagian rekan kita belum tewas, dan sebagian prajurit Hualeg juga tidak ada di sini." William menoleh ke perbukitan jauh di sebelah kiri.

"Menurutmu, prajurit kita yang selamat lari ke sana?" tanya Thom. "Dan prajurit Hualeg sedang mengejar mereka?"

William mengangguk. "Atau, rekan-rekan kita lari dengan perahu ke selatan, dan musuh mengejar dengan perahu pula."

"Apa rencanamu?"

William termenung sesaat, sebelum menjawab, "Aku tidak suka melihat orang-orang Hualeg itu lebih lama di sini."

"Heh? Siapa yang suka?" tukas Thom.

"Aku akan membunuh mereka."

Rekan-rekannya saling menatap.

"Hei, Tuck, mari berpikir jernih, oke?" kata Thom. "Kau tidak bisa pergi begitu saja ke sana dan membunuh semuanya. Kecuali kau gila. Lebih baik kita berkumpul dulu dengan rekan yang lain, baru membuat rencana."

"Kau tadi bertanya soal rencanaku. Itu rencanaku. Aku akan membunuh mereka. Atau paling tidak ... mengusir mereka kembali ke utara."

"Bagaimana caranya?"

"Bunuh pemimpinnya."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now