Bab 72 ~ Tantangan

206 79 1
                                    

Mendengar penjelasan panjang lebar dari Pradiar, Vilnar naik pitam.

Ia menggeram garang. "Apa yang kalian semua katakan ini, hah? Hukuman para dewa? Ketidakberuntungan? Mungkin maksud kalian itu kesialan? Itu maksud kalian? Kalau begitu coba jelaskan, apakah yang terjadi padaku kemarin adalah hukuman para dewa atau kesialan. Sepulang dari Andranir, saat aku tidur di sungai, aku diserang oleh sekelompok orang bersenjata yang ingin membunuhku. Kesialan, hah? Menurutku kesialan itu buat mereka, karena akulah yang akhirnya membunuh mereka!

"Lalu ketidakberuntungan, kalian bilang? Ya, mungkin aku memang tidak beruntung karena tidak berhasil mengetahui nama orang yang menyuruh mereka membunuhku. Tapi dengar ini, kalau memang benar para dewalah yang ingin menghukumku dengan cara membunuhku di tepi sungai melalui tangan orang-orang seperti itu, berarti mereka hanya dewa-dewa yang bodoh. Kalian pikir dewa-dewa akan sebodoh itu? Tentu saja tidak! Musuh-musuhkulah yang ingin membunuhku, bukan para dewa! Dan musuh-musuhku itu cuma para pengecut yang hanya berani menyerangku dari belakang!"

Vilnar menatap berkeliling. Tak satu pun kini berani menatapnya balik, semua orang hanya berani melihat lantai.

Ia pun melanjutkan, "Dari semua itu, satu hal yang menggangguku adalah, pada akhirnya aku tak percaya kalau orang-orang Andranir yang berniat membunuhku, demikian pula orang Logenir. Aku tidak percaya. Mereka berada terlalu jauh di utara, dan terlalu jauh di barat. Kemungkinan selanjutnya hanyalah Brahanir atau Drakknir. Aku masih terus berpikir siapa yang telah berkhianat kepadaku dan memberitahu mereka mengenai kepergianku. Aku bersumpah, aku tidak akan melepaskan mereka!"

Semua orang terhenyak. Masalah menjadi rumit sekarang, tidak lagi menyangkut kematian Kronar atau Radnar, tapi lebih dari itu adalah adanya sebuah kemungkinan pengkhianatan. Vilnar mencurigai kedua kakaknya.

Vilnar, Tarnar dan Erenar saling menatap tajam. Penuh kecurigaan dan kebencian. Vilnar baru saja menganggap seluruh serangan dan tuduhan kepada ia dan istrinya sebagai sebuah tantangan pada dirinya, dan untuk itu ia melemparkan tantangan balasan kepada kedua kakaknya.

"Vilnar, ini tuduhan yang sangat berat," kata Erenar tajam.

"Kau menuduh kami, Vilnar?" Tarnar menutupi ketakutannya.

"Kau tidak perlu takut jika itu tidak benar," kata Vilnar.

"Mungkin kau yang harus takut," balas Tarnar.

"Menurutmu begitu? Baik, akan kuingat baik-baik ancamanmu," jawab Vilnar. "Mungkin kau bisa mengingat bagaimana nasib orang-orang yang telah berani mengancamku sebelum ini."

Pradiar si dukun tua menggeleng-gelengkan kepalanya sedih. Tampaknya ia mulai merasakan bencana yang lebih besar akan terjadi, yang sama sekali tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Dukun itu menangis dan seperti berkata pada dirinya sendiri, "Oh, Radnar sahabatku, kita bersama dalam suka dan duka, selalu saling membantu selama berpuluh-puluh tahun. Kini kau meninggalkan aku terlalu cepat untuk bergabung dengan para dewa. Abu jenazahmu belum lagi dikirimkan ke langit, tetapi kami sudah saling bertengkar di sini! Suku kita membutuhkan pemimpin yang baru, untuk menyelesaikan permasalahan pelik ini. Andai saja kau bisa memberikan petunjuk kepada kami sebelum kau pergi ke langit, maka tidak ada lagi yang perlu kita resahkan."

Begitulah, pergantian kepemimpinan, tentang siapa yang akan menjadi kepala suku berikutnya, menjadi masalah yang pelik sekarang, begitu Vilnar melemparkan tuduhan pengkhianatan kepada Tarnar atau Erenar. Pemimpin yang baru tentunya akan berkuasa untuk menyelesaikan seluruh masalah, melakukan penyelidikan dan sebagainya, yang bisa jadi mungkin akan membahayakan nyawa salah seorang dari mereka bertiga.

Pradiar melanjutkan kata-katanya, kalian ini sambil menatap berkeliling, "Tuan-tuan, sesuai dengan adat istiadat di suku kita, jika kepala suku yang lama belum menyampaikan wasiatnya, maka kepala suku yang baru akan dipilih dari putranya yang paling tua, yang masih hidup—"

Yang mana itu berarti Tarnar.

Vilnar langsung memotong ucapannya. "Ayah sudah mengatakan wasiatnya kepadaku sebelum aku pergi ke Andranir."

Semua orang kembali terpana.

Hening beberapa lama.

"Begitukah?" Pradiar termangu bingung. "Dan ... siapa yang dipilih oleh ayahmu untuk menjadi penggantinya?"

"Aku," jawab Vilnar tanpa ragu.

Sebenarnya, sebelumnya ia tak ingin mengungkapkan ucapan ayahnya ini di depan semua orang, karena menurutnya soal kepala suku tersebut tidaklah terlalu penting baginya. Ia juga tidak betul-betul menginginkan hal itu. Tetapi kini situasinya sudah berubah. Begitu melihat semua orang sepertinya mengambil posisi berseberangan dengannya, ia menjadi kesal. Sudah kepalang basah, sekalian saja ia melempar semua masalah sebanyak mungkin.

Semua orang memang menjadi ribut begitu mendengarnya.

Tarnar berteriak, "Kami tidak percaya! Tidak ada bukti!"

"Vilnar, apa kau punya bukti?" tanya Erenar hati-hati.

"Sayangnya, aku tidak punya," jawab Vilnar tetap tenang.

"Kalau kau tidak punya bukti, berarti tidak ada orang lain yang bisa membenarkan ucapanmu, sehingga itu akan dianggap tidak ada," kata Pradiar sambil menggelengkan kepala.

"Silakan kalau kalian mau berpikir begitu. Tapi itu benar ucapan ayahku. Jadi kusarankan," Vilnar memandang berkeliling, "kalian pikirkan ini baik-baik sebelum membuat pilihan."

"Vilnar, aku telah menjelaskan tadi," kata Pradiar. "Jika tidak ada bukti wasiat dari ayahmu, maka putra tertua yang akan menggantikannya."

"Kalau begitu ... kita semua harus siap menanggung akibatnya," kata Vilnar dengan nada mengancam. "Apa pun keputusan kalian nanti, siapa pun yang terpilih, aku akan tetap mencari orang-orang yang telah berniat membunuhku, sampai kapan pun. Aku akan mencari dan membunuhnya jika perlu. Dan tak akan ada satu pun orang yang bisa menghalangiku."

Semua orang saling berpandangan lagi. Resah, bingung dan panik.

Hanya Tarnar yang terus menatap Vilnar dengan penuh kebencian.

Sementara Erenar masih tetap mampu menjaga emosinya dan berkata, "Saudara-saudaraku, ini masalah yang sangat pelik. Aku usulkan kita putuskan hal ini besok saja. Biarlah malam ini kita lepaskan dulu abu jenazah ayah kita ke langit, dan mari kita beristirahat dengan pikiran yang lebih tenang."

Beristirahat dengan lebih tenang? Malam ini?

Vilnar menatap Erenar, juga Tarnar. Ia tidak yakin semuanya akan bisa kembali tenang setelah kejadian ini.

Mungkin tidak akan ada yang bisa tidur malam ini.

Bagaimanapun, semua orang akhirnya setuju. Hari sudah semakin gelap, sudah waktunya untuk mengantarkan abu jenazah Radnar.

Mereka keluar menuju lapangan di tepi sungai. Di sana para penduduk sudah hadir untuk melepas kepergian sang kepala suku. Pradiar memimpin doa, kemudian ketiga putra Radnar melemparkan obor ke menara.

Api menjilati jenazah Radnar, perlahan-lahan mengirim abunya terbang bersama angin.

Setelah itu Vilnar bergegas pulang. Di sana sudah tidak ada lagi para prajurit yang berjaga. Sepertinya sudah tidak ada yang berani mendekat; semua orang takut pada Vilnar. Jadi rumah itu kelihatan sepi sekarang.

Ia cepat-cepat naik menemui istrinya. Vilnar lalu menceritakan semua pembicaraan yang tadi berlangsung di balai desa, dan meminta istrinya tetap tenang. Namun Ailene tak bisa menutupi rasa khawatirnya.

"Menurutmu apa yang akan terjadi?" ia bertanya.

"Semua tergantung besok," jawab Vilnar. "Kalau aku terpilih menjadi kepala suku, tidak ada masalah. Akan kuselesaikan semuanya dan kau tak perlu khawatir. Tapi jika tidak, mungkin aku terpaksa akan merebutnya secara paksa dan menyingkirkan semua musuh-musuhku. Aku tidak punya pilihan. Ini keinginan ayahku, dan juga demi keselamatan kalian."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now